Newsletter

Maaf! Wall Street Kurang Bersahabat, Saatnya Lirik Jepang

Tirta, CNBC Indonesia
18 May 2021 06:30
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia

Jakarta, CNBC Indonesia - Bak kapal yang lama tak berlayar, sekalinya melaut terkena badai akhirnya oleng dan karam. Begitulah kiranya kondisi pasar keuangan domestik kemarin, Senin (17/5/2021). 

Baik saham, obligasi hingga nilai tukar kompak berakhir di zona koreksi. Pasar saham harus mengalami sakitnya terjatuh ke zona merah. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ambles 1,76%. 

Mayoritas harga Surat Berharga Negara (SBN) untuk berbagai tenor juga melemah. Hal ini tercermin dari kenaikan imbal hasilnya (yield). Untuk surat utang pemerintah berdenominasi rupiah dengan tenor 10 tahun, yield-nya naik 3,6 basis poin (bps) ke 6,44%. 

Setali tiga uang, nasib nilai tukar rupiah juga sama. Di arena pasar spot, rupiah sudah dibanderol Rp 14.280/US$ atau melemah 0,6% dibanding posisi penutupan minggu lalu. 

Sementara itu di kurs tengah Bank Indonesia atau yang lebih dikenal dengan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor, rupiah berada di Rp 14.284/US$ atau terdepresiasi 0,57% jika dibandingkan dengan posisi sebelum libur lebaran. 

Minggu lalu perdagangan hanya berlangsung singkat karena hanya dua hari saja mengingat hari Rabu pekan lalu sudah masuk periode libur yang setelahnya diikuti dengan Idul Fitri. 

Saat bursa saham RI libur panjang, beberapa bursa Asia dan global masih buka. Masalahnya, kinerja bursa saham dunia juga sangat jauh dari kata apik. Boro-bora bagus, selamat dari koreksi saja sudah syukur. 

Setelah libur panjang dan ketinggalan beberapa hari pasar keuangan RI seolah mengalami guncangan. Namun jika berkaca pada negara-negara tetangga lain, kinerja bursa sahamnya juga tak bagus-bagus amat. 

Bursa Asia justru ditutup beragam kemarin. Tercatat indeks Hang Seng Hong Kong ditutup menguat 0,59%. Shanghai Composite China melesat 0,78% dan Straits Times Singapura melesat 0,76%. 

Bersama dengan IHSG yang jatuh di zona merah ada indeks Nikkei Jepang yang berakhir merosot 0,92%. Indeks Kospi Negeri Ginseng melemah 0,6%. Artinya jika dibandingkan dengan indeks utama tersebut, kinerja IHSG menjadi yang paling buruk. 

Kekhawatiran bahwa inflasi yang tinggi akan membuat kebijakan bank sentral berubah dari dovish menjadi hawkish. Inflasi sudah tampak mengalami kenaikan. Di AS saja, untuk pertama kalinya inflasi berada di level tertinggi sejak krisis keuangan global 2008. 

Inflasi layaknya suhu tubuh manusia. Harus dijaga stabil di kisaran optimal. Inflasi yang terlalu tinggi (inflasi) maupun terlalu rendah (deflasi) buruk bagi perekonomian. Seperti halnya ketika kepanasan ataupun menggigil kedinginan. 

Inflasi adalah fenomena ekonomi yang dijumpai sehari-hari yang berarti penurunan nilai dari suatu mata uang. Inflasi juga menggerus imbal hasil dari investasi di suatu aset. 

Kelas aset yang berisiko cenderung tak diuntungkan ketika inflasi meningkat tajam yang memicu bank sentral untuk ambil langkah pengetatan melalui pengaturan likuiditas dan suku bunga. 

Kecemasan akan inflasi yang tinggi dan juga anjloknya harga saham-saham teknologi membuat Wall Street ditutup melemah. Indeks Dow Jolnes turun 0,2%. Indeks S&P 500 turun 0,3% sementara Nasdaq yang tergolong heavy tech stock ambles lebih dalam hingga 0,4%. 

Di tengah ancaman inflasi yang tinggi, valuasi harga saham di AS yang sudah tergolong mahal juga menjadi risiko besar ketika ingin berinvestasi di jalur tersebut. Hal ini juga diperingatkan oleh managing director bank investasi global yakni Nikolaos Panigirtzoglou.

"Peristiwa minggu lalu tidak hanya merupakan tanda peringatan tentang bagaimana angka inflasi yang tinggi, tetapi juga tanda peringatan tentang bagaimana pasar ekuitas yang overbought telah menjadi," kata Nikolaos.

Kalau dilihat dari tren harga yang terus mencetak rekor, Wall Street memang sudah berada di area jenuh beli. Banyak yang mengatakan reli pasar saham tak akan terjadi dalam jangka panjang karena banyak aksi spekulasi yang menyebabkan bubble.

Harga yang sudah ketinggian tentu menurunkan minat beli. Lagipula 'pasar' yang terus bergerak menjauhi realita kodisi ekonomi riil semakin mendukung gagasan bahwa pasar sudah bercerai dari ekonomi riil. Sekilas tampak benar dan make sense. Namun sebenarnya tak sesederhana itu. 

Well, setidaknya ada dua hal yang bisa ditarik garis lurusnya yaitu valuasi saham-saham AS terutama teknologi yang sudah sebegitu tinggi dibarengi dengan prospek kenaikan inflasi tentu saja menjadi risiko yang harus dikalkulasi dengan cermat.

Untuk perdagangan hari ini, Selasa (18/5/2021) setidaknya ada tiga isu atau sentimen yang patut dicermati benar oleh para pelaku pasar. Pertama adalah kinerja saham-saham di Wall Street. 

Kinerja Wall Street yang buruk jelas bukan kabar baik bagi bursa saham kawasan Asia yang bakal buka pada pagi hari ini. Bagi IHSG, penurunan indeks saham di Wall Street seolah semakin menegaskan bahwa indeks saham acuan domestik berpeluang juga ikut terseret ke zona merah. 

Sentimen kedua yang patut dicermati adalah perkembangan pandemi baik di dalam maupun luar negeri. Semakin banyaknya varian virus penyebab Covid-19 yang masuk ke Indonesia jelas menjadi ancaman nyata. 

Apalagi tahun ini meski mudik lebaran dilarang tetap saja ada yang nekad mudik. Hal yang dikhawatirkan adalah mudik yang seharusnya menjadi ajang memperkuat tali silaturahmi berubah menjadi memilukan karena penyebaran dan infeksi Covid-19 semakin meluas dan tak terkendali. 

Jika berkaca pada kasus India, adanya mobilitas publik yang mengalami kenaikan menjadi pemicu utama ledakan Covid-19 gelombang kedua yang 4x lebih mengerikan dibandingkan dengan kasus infeksi pada gelombang pertama.

Beralih ke negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura, kenaikan kasus infeksi juga memaksa keduanya untuk kembali mengunci perekonomiannya. Mulai Minggu kemarin, Singapura kembali mengetatkan pembatasan kegiatan publik dan akan berlangsung dalam satu bulan ke depan.

Malaysia juga kembali menerapkan lockdown secara nasional mulai 12 Mei lalu hingga 7 Juni. Lockdown ini merupakan ketiga kalinya, setelah Maret 2020 dan Januari 2021. Malaysia kini berada di tengah gelombang ketiga kebangkitan corona.

Apabila lockdown semakin marak terutama di kawasan Asia, maka prospek pemulihan ekonomi menjadi tersendat.

Sentimen terakhir yang juga berpeluang menggerakkan pasar adalah rilis data ekonomi. Besok angka keramat pertumbuhan ekonomi Jepang akan diumumkan. Angka tersebut akan menjadi cerminan apakah negara yang masuk ke dalam 5 perekonomian terbesar di dunia itu sudah keluar dari resesi atau belum. 

Pasalnya stimulus fiskal yang digelontorkan oleh Negeri Matahari Terbit ini juga tak main-main atau melebihi 50% dari total Produk Domestik Bruto. Apabila angkanya baik dan sesuai ekspektasi ini akan menjadi salah satu katalis bagi bursa Jepang. 

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:


  • Rilis data pertumbuhan PDB Jepang Q1 20201 (06.50 WIB)
  • Rilis risalah rapat Reserves Bank of Australia (08.30 WIB)
  • Rilis data pengangguran Inggris bulan Maret (13.00 WIB)
  • Rilis data neraca dagang Italia bulan Maret (15.00 WIB)
  • Rilis data pembacaan kedua pertumbuhan PDB (16.00 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular