Jakarta, CNBC Indonesia - Data neraca dagang Indonesia bulan April sudah dirilis kemarin. Hasilnya RI empat bulan berturut-turut sukses mencatatkan surplus dari berdagang. Harapan ekonomi ngegas terutama di kuartal kedua semakin tinggi. Namun sayang belum mampu menjadi katalis positif untuk kinerja aset keuangan RI.
Saham-saham di bursa domestik melejit, tetapi rupiah dan obligasi pemerintah masih kena tekanan. Kemarin (20/5/2021), indeks harga saham gabungan (IHSG) ditutup menguat 0,64% setelah di perdagangan sebelumnya ambles lebih dari 1%.
IHSG sukses memimpin kenaikan jika dibandingkan dengan indeks acuan saham bursa utama Asia. Ketika IHSG terapresiasi, aset ekuitas di Benua Kuning ditutup variatif. Bersama dengan IHSG, indeks Nikkei Jepang dan Straits Times Singapura berhasil melenggang ke zona hijau dengan kenaikan masing-masing 0,19% dan 0,18%,
Bursa Hong Kong yang baru buka pasca libur langsung ditutup dengan koreksi. Indeks Hang Seng turun 0,5%. Sementara itu indeks Shang Hai Composite dan Kospi masing-masing turun 0,11% dan 0,34%.
Berbeda nasib dengan IHSG, obligasi pemerintah ditutup variatif. Mayoritas SBN berdenominasi rupiah mengalami penurunan harga yang tercermin dari kenaikan imbal hasilnya (yield).
Namun yield SBN dengan tenor 1, 10 dan 30 tahun cenderung turun yang berarti harga naik. Untuk surat utang pemerintah AS dengan tenor 10 tahun yang juga menjadi benchmark, yield-nya juga mengalami penurunan.
Hanya saja penurunan yield untuk SBN tenor 10 tahun cenderung tipis karena hanya terpangkas 0,6 basis poin (bps) saja. Yield SBN 10 tahun saat ini berada di 6,49% atau nyaris mendekati coupon rate-nya di 6,5%.
Nilai tukar rupiah justru terdepresiasi cukup dalam terhadap greenback. Di pasar spot US$ 1 dibanderol sebesar Rp 14.370 atau mengalami penurunan sebesar 0,48% dibanding perdagangan sebelumnya di Rp 14.275/US$.
Rupiah justru melemah saat surplus neraca dagang bulan April mencapai posisi tertingginya di sepanjang tahun. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor naik 52% (yoy) dan impor naik 29% (yoy).
Nilai dan kenaikan ekspor yang lebih tinggi ketimbang impor membuat RI berhasil mencatatkan surplus sebesar US$ 2,2 miliar atau setara dengan Rp 31,46 triliun dengan asumsi kurs Rp 14.300/US$.
Sejak Januari RI cuan terus dari pos perdagangan internasionalnya. Suatu kondisi yang sangat jarang dijumpai kecuali saat pandemi seperti sekarang ini. Secara keseluruhan Indonesia berhasil membukukan surplus neraca dagang sebesar US$ 7,7 miliar atau setara dengan Rp 110,1 triliun.
Halaman 2>>
Setelah tiga hari secara beruntun tak bergairah, Wall Street akhirnya menunjukkan epic comeback. Tiga indeks acuan saham bursa New York kompak ditutup menguat dini hari tadi.
Saham-saham teknologi AS yang sempat terkena tekanan jual pun mulai bangkit membuat indeks Nasdaq Composite naik 1,8%. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) juga menguat 0,96%. Sementara indeks saham yang lebih luas yaitu S&P 500 melesat 1,24%.
Data pengangguran AS yang 'ok' mampu menjadi booster untuk aset-aset berisiko seperti ekuitas. Data klaim tunjangan pengangguran di AS mencapai angka 444.000, atau jauh lebih baik dari polling Dow Jones yang semula memperkirakan angka 452.000 setelah sepekan sebelumnya mencapai 473.000.
Angka pengangguran yang terus turun menjadi indikator positif bahwa perekonomian terbesar di dunia semakin membaik seiring dengan masifnya vaksinasi dan pembukaan ekonomi secara gradual.
Namun pelaku pasar juga masih mencerna risalah rapat komite pengambil kebijakan The Fed yang mulai mensinyalkan perlunya tapering jika kondisi perekonomian semakin membaik.
Meskipun begitu, bos The Fed Jerome Powell masih memperingatkan bahwa perekonomian belum pulih benar kembali ke level sebelum pandemi. Pemulihan pun masih belum terjadi secara merata.
Ini menjadi tantangan utama bank sentral Negeri Adidaya untuk merubah stance kebijakan moneternya dari dovish menjadi hawkish. Apabila mengacu pada laporan kebijakan moneter The Fed, kebanyakan anggota komite pengambil kebijakan cenderung berpikir untuk menaikkan suku bunga acuan tahun 2023 mendatang.
Hanya saja perlu diingat bahwa ini bukan masalah waktu kapan suku bunga harus dinaikkan, tetapi lebih ke perkembangan perekonomian. Dual mandate yang dibebankan kepada The Fed mengharuskan bank sentral untuk bisa menjaga stabilitas harga dan mewujudkan kondisi maximum employment.
Inilah tantangan yang dihadapi The Fed saat ini. Pasalnya inflasi di AS sudah menunjukkan adanya kenaikan sementara tingkat pengangguran walau sudah menurun tetapi belum kembali ke level pra-pandemi.
Bulan lalu inflasi tercatat naik 4,2% secara tahunan. Ini menjadi kenaikan tertinggi dalam lebih dari satu dekade terakhir.
Untuk jangka pendek penguatan Wall Street menjadi sentimen positif untuk pasar keuangan Asia yang bakal buka pada hari ini, Jumat (21/5/2021). Namun investor juga perlu mencermati isu lain yang kemungkinan akan menggerakkan pasar hari ini terutama mereka yang memegang aset digital cryptocurrency dalam portfolionya.
Di Amerika Serikat (AS) Departemen Keuangannya berupaya untuk memperketat aturan penggunaan aset kripto. Departemen Keuangan pada hari Kamis mengumumkan bahwa mereka mengambil langkah-langkah untuk meregulasi pasar dan transaksi cryptocurrency.
Dalam rilisnya Departemen Kueangan mengatakan setiap transfer menggunakan aset kripto senilai US$ 10.000 atau lebih perlu dilaporkan ke Internal Revenue Service.
"Cryptocurrency sudah menimbulkan masalah deteksi yang signifikan dengan memfasilitasi aktivitas ilegal secara luas termasuk penggelapan pajak," kata Departemen Keuangan dalam rilisnya sebagaimana dilaporkan oleh CNBC International.
Harga Bitcoin yang sempat crash ke bawah US$ 40.000 kini mulai menguat dan tembus level tersebut lagi. Namun jika dihitung secara bulanan aset kripto dengan nilai kapitalisasi pasar terbesar ini masih kehilangan hampir 30% dari nilai awalnya.
Untuk pertama kalinya dalam 14 pekan terakhir Bitcoin ambles dari level US$ 63.000 ke US$ 40.000. Faktor yang memicunya banyak mulai dari pemangku kebijakan yang semakin berupaya untuk mengatur transaksinya hingga Elon Musk yang memilih untuk mengambil keputusan tak menerima Bitcoin sebagai alat pembayaran Tesla.
Di saat harga Bitcoin tertekan, harga emas justru mengalami kenaikan. Di arena pasar spot harga emas sudah tembus ke atas US$ 1.875/troy ons. Harga emas semakin menjauhi rata-rata pergerakan harga jangka panjangnya (MA200).
Analis meyakini bahwa penurunan harga aset kripto akan menguntungkan emas. Apalagi di tengah ancaman kenaikan inflasi yang tinggi. Emas diramal bisa tembus lagi ke US$ 2.000/troy ons jika reli terus berlanjut.
Dari sisi data makro, investor juga perlu mencermati rilis data PMI manufaktur di berbagai negara mulai dari Asia seperti Jepang hingga Eropa yang dirilis hari ini. Data PMI manufaktur untuk pembacaan awal bulan Mei diperkirakan bakal lebih rendah dari bulan sebelumnya.
Apabila angka riilnya lebih baik, maka hal ini akan menjadi katalis positif untuk aset-aset berisiko seperti saham.
Bagaimanapun juga pergerakan pasar tetap sangat sulit untuk diprediksi. Berbagai risiko ketidakpastian yang masih ada seputar perkembangan pademi Covid-19 global, pemulihan ekonomi dan risk sentimen yang cepat berubah-ubah membuat harga berbagai aset terutama yang berisiko seperti saham dan komoditas bergerak dengan volatilitas tajam.
Untuk itu investor harus mulai terbiasa dengan kata 'ketidakpastian' dan 'volatilitas tinggi'. Bahkan untuk perdagangan hari ini sekalipun.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Rilis pembacaan awal PMI Manufaktur Australia bulan Mei (06.00 WIB)
- Rilis pembacaan awal PMI Manufaktur Jepang bulan Mei (07.30 WIB)
- Rilis pembacaan awal PMI Manufaktur Prancis bulan Mei (14.15 WIB)
- Rilis pembacaan awal PMI Manufaktur Jerman bulan Mei (14.30 WIB)
- Rilis pembacaan awal PMI Manufaktur Euro Area bulan Mei (15.00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional: