Jakarta, CNBC Indonesia - Minggu lalu pasar keuangan domestik hanya buka dua hari. Pekan ini pasar finansial dalam negeri juga hanya akan buka full lima hari. Untuk itu, investor maupun trader perlu mencermati perkembangan sentimen yang bakal menggerakkan pasar.
Namun sebelum membahas tentang sentimen alangkah lebih baik flashback sejenak. Saat perdagangan berlangsung singkat trio aset keuangan lokal yaitu saham, obligasi dan nilai tukar kompak menguat.
Aset ekuitas RI mengalami apresiasi yang tercermin dari penguatan indeks harga saham gabungan (IHSG) sebesar 0,17%. Tahu bahwa perdagangan bakal singkat, para trader juga terlihat kurang bergairah memainkan instrumen investasi yang berisiko ini.
Nilai transaksi di pasar reguler hanya Rp 16,5 triliun. Artinya secara rata-rata transaksi di bursa hanya Rp 8,25 triliun. Lebih rendah dari periode sebelum-sebelumnya yang selalu tembus Rp 9 triliun per hari.
Beralih ke pasar obligasi, harga Surat Berharga Negara (SBN) untuk berbagai tenor acuan mengalami penguatan. Saat harga naik artinya imbal hasil (yield) sedang turun.
Seri acuan SBN rupiah 10 tahun yield-nya turun 3,8 basis poin (bps) sementara penurunan paling tajam terjadi pada tenor acuan lebih pendek yaitu tiga tahun yang turun 10 bps.
Bank Indonesia (BI) mencatat berdasarkan transaksi pada 3-6 Mei 2021, asing masih melakukan beli bersih saham dan instrumen pendapatan tetap Tanah Air masing-masing sebesar Rp 0,88 triliun dan Rp 1,09 triliun. Secara total ada inflow sebesar hampir Rp 2 triliun pada kedua instrumen tersebut.
Tak mau ketinggalan nilai tukar rupiah juga ikut menguat di hadapan dolar AS. Rupiah berhasil menguat 0,6% di hadapan greenback. Kini di pasar spot rupiah sudah berhasil turun ke bawah Rp 14.200/US$.
Cuti bersama dan hari raya Idul Fitri membuat perdagangan menjadi lebih singkat. Setelah hari Selasa, perdagangan bablas libur hingga akhir pekan. Dalam waktu yang singkat apresiasi yang terjadi sekilas terlihat menarik.
Namun seharusnya libur yang panjang harus diwaspadai. Apalagi jika dilihat sepekan terakhir aset-aset keuangan dan berisiko global juga kurang bergairah.
Di kawasan Asia, mayoritas bursa saham melemah. Indeks Nikkei Jepang merosot 4,34%, Hang Seng Hong Kong melemah 2,04%, Straits Times Index (STI) Singapura terkoreksi 3,72%, dan KOSPI Korea Selatan terdepresiasi 1,37%.
Hanya bursa saham China yang 'tahan banting'. Indeks Shang Hai Composite berhasil melesat 2,09% sepanjang pekan lalu.
Beralih ke kiblat kapitalisame global yakni Wall Street, aset ekuitasnya juga terjatuh ke zona koreksi. Tiga indeks saham acuannya kompak minus. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) melemah 1,14%, S&P 500 merosot 1,39%, dan Nasdaq Composite terkoreksi 2,34%.
Terjatuhnya harga saham dunia ini dipicu Indeks oleh kekhawatiran investor bahwa inflasi yang tinggi akan segera datang. Tanda-tandanya sudah tampak. Vaksinasi yang masif di banyak negara terutama Amerika Serikat (AS) membuat mobilitas mulai terpantau pulih.
Meskipun recovery-nya gradual , tetapi konsumen sudah mulai mau berbelanja. Ketika masyarakat mulai membeli barang jasa maka permintaan naik dan uang yang tadinya 'nganggur' kini mulai berpindah tangan.
Korporasi mulai berusaha meningkatkan produksi dan berekspansi. Roda perekonomian kembali 'muter'. Likuiditas yang berlebih akan terserap. Kenaikan harga komoditas yang menjadi input bagi aktivitas ekonomi seperti minyak mentah, batu bara, harga pangan hingga kayu selanjutnya akan diteruskan ke konsumen.
Kenaikan berbagai barang dan jasa secara luas inilah yang disebut sebagai inflasi. Peningkatan inflasi menjadi fokus para investor. Pasalnya ketika inflasi terjadi apalagi kenaikannya tinggi maka daya beli (purchasing power) suatu mata uang menjadi turun. Imbal hasil dari investasi juga tergerus.
Di sisi lain ketika inflasi naik tinggi, maka ada peluang bank sentral akan menarik likuiditas di pasaran atau yang lebih dikenal dengan tapering dan menaikkan suku bunga yang membuat borrowing cost menjadi lebih mahal.
Begi emiten saham, kenaikan suku bunga tentu saja sangat sensiitif bagi kondisi keuangan apalagi yang utangnya sudah banyak. Bagi mereka yang menerbitkan obligasi juga harus menawarkan kupon yang lebih tinggi sehingga biaya meminjamnya juga menjadi mahal.
Bagaimanapun juga bank sentral akan menaikkan harga atas uang. Itu past! Karena kalau dibiarkan ekonomi akan overheat. Well, tetap saja pasar akan tetap mengalami guncangan.
Selain karena adanya low base effect, indeks harga konsumen yang tercermin pada Personal Consumption Expenditure (PCE) naik 4,2% (yoy). Rilis tersebut bahkan jauh lebih tinggi dibandingkan ekspektasi analis di angka 3,6%.
Seumur-umur ini menjadi kenaikan inflasi terbesar sejak 2008 jika dihitung berdasarkan periode tahunan dan tertinggi dalam 40 tahun jika dihitung secara bulanan.
The Fed sendiri saat sudah pernah menyampaikan bahwa inflation is coming. Bank sentral paling digdaya di muka bumi itu akan membiarkan suhu tubuh perekonomian sedikit panas. Namun yang dikhawatirkan adalah ekspektasi inflasi yang tinggi akan menjadi semakin viral dan mendorong inflasi itu sendiri.
Perubahan kebijakan moneter yang sangat tiba-tiba jelas menjadi risiko besar bagi investor. Terutama mereka yang bermain di aset-aset yang cenderung berisiko.
IHSG, SBN dan rupiah boleh saja menguat minggu lalu. Namun jika berkaca pada pasar Asia dan Wall Street yang merah serta periode libur panjang lebaran dikhawatirkan akan membuat trio aset keuangan dalam negeri jet lag.
Peluang koreksi bagi ketiga aset tersebut terbuka lebar. Jika semakin banyak yang menganut paham inflasi bakal naik tinggi ke depan dan The Fed siap ambil ancang-ancang untuk hawkish maka dana asing yang singgah di pasar-pasar emerging market seperti Indonesia bisa ditarik berjamaah.
Aksi jual aset finansial yang masif hanya akan membuat pasar tertekan. Inilah yang dikhawatirkan terjadi seperti hampir tujuh tahun silam saat fenomena Taper Tantrum terjadi. Tingginya inflasi terutama di AS menjadi risiko bagi pasar negara berkembang.
Risiko lain yang patut dikalkulasi oleh investor adalah perkembangan kasus Covid-19 di dalam negeri. Memang secara angka kasus melandai. Namun masuknya berbagai varian mutan dan adanya fenomena mudik meski dilarang jelas patut untuk diwaspadai.
Minggu ini ada gelombang arus balik. Banyak yang khawatir jika masyarakat yang nekad mudik hanya akan menjadi superspreader. Ini bahaya! Jika berkaca pada India keteledoran harus dibayar dengan mahal.
Terlalu dini melonggarkan pengetatan berakibat fatal. Serangan kedua wabah Covid-19 empat kali lebih mengerikan dibandingkan dengan gelombang pertama. Arus mudik dan arus balik ini menjadi momok bagi perekonomian maupun pasar.
Bayangkan saja lebih dari 1,5 juta orang tercatat mudik. Dari random sampling kepolisian, sebanyak 60% pemudik teridentifikasi Covid-19. Bagi pasar kenaikan kasus infeksi Covid-19 menunjukkan adanya risiko. Dua hal inilah yang membuat asing bisa terus-menerus melego aset keuangan dalam negeri.
Setidaknya dua faktor inilah yang menjadi urgensi dan patut dipantau oleh para investor maupun trader untuk perdagangan minggu ini.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Rilis angka Indeks Harga Rumah China bulan April 2021 (08.00 WIB)
- Rilis data produksi industri, pengangguran dan penjualan barang ritel China bulan April 2021 (09.00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIM RISET CNBC INDONESIA