Newsletter

Banyak Doa ya, Semoga Ada Aksi Heroik IHSG & Rupiah Lagi!

Tirta, CNBC Indonesia
19 May 2021 05:57
Layar Pergerakan Saham

Jakarta, CNBC Indonesia - Pelaku pasar menyaksikan pergerakan harga saham domestik dan nilai tukar rupiah yang heroik pada perdagangan kemarin, Selasa (18/5/2021). Sementara itu, nasib berbeda justru menimpa instrumen investasi pendapatan tetap yakni obligasi pemerintah. 

Setelah seharian terjerembab di zona merah, indeks harga saham gabungan (IHSG) akhirnya mampu balik arah dan ditutup di zona hijau. Penguatannya sangat tipis 0,01% dan bisa dibilang stagnan. 

Indeks saham acuan domestik itu masih tertekan di sepanjang bulan Mei. IHSG tercatat melemah 2% secara month to date (mtd). Setelah pasar kembali dibuka pasca libur panjang lebaran 2021, IHSG harus jatuh ke bawah level 5.900. 

Penurunan harga aset ekuitas dalam negeri mulai terjadi sejak pertengahan bulan Maret. Sejak awal Mei IHSG belum pernah lagi mencicipi level psikologis 6.000 karena terus menerus tertekan.

Rupiah yang sebelumnya sempat stabil di Rp 14.000/US$ awal tahun dan bahkan menguat karena sempat mencicipi level Rp 13.900/US$ harus kembali tertekan sejak pertengahan bulan Februari lalu.

Pada medio April lalu rupiah bahkan sempat melemah di hadapan greenback hingga dipatok di Rp 14.600/US$. Setelah itu rupiah cenderung mengalami tren penguatan mendekati Rp 14.200/US$. 

Hanya saja rupiah juga mengalami tekanan setelah kembali dari libur panjangnya. Di awal pekan ini rupiah anjlok 0,6% dan membuatnya kembali mendekati level Rp 14.300/US$. 

Pada perdagangan kemarin rupiah juga menunjukkan aksi heroiknya. Setelah tertekan di sepanjang perdagangan, rupiah baru menunjukkan taji pada satu jam terakhir jelang perdagangan berakhir. 

Namun penguatan rupiah juga termasuk tipis. Mata uang RI tersebut hanya mampu naik 0,07% dan ditutup di Rp 14.270/US$ di arena pasar spot. 

Beda nasib dengan rupiah dan saham, mayoritas surat utang pemerintah ditutup mengalami koreksi harga. Hal ini tercermin dari kenaikan imbal hasilnya (yield). Seri acuan FR0087 dengan tenor 10 tahun dengan kupon tetap 6,5% per annum juga mengalami pelemahan harga. 

Yield SBN tenor 10 tahun ditutup naik 3,2 basis poin (bps) menjadi 6,473% kemarin. Yield SBN saat ini hampir mendekati coupon rate-nya. Kenaikan imbal hasil surat utang pemerintah AS (US Treasury) dengan tenor yang sama menjadi salah satu pemicunya. Yield US Treasury kini semakin mendekati 1,65%.

Fokus pasar kemarin adalah rilis data pertumbuhan ekonomi Jepang untuk kuartal pertama tahun ini. Negeri Matahari Terbit masih belum bisa keluar dari resesi karena output perekonomiannya masih terkontraksi.

Secara kuartalan yang disetahunkan (annualized), Produk Domestik Bruto (PDB) Jepang tumbuh -5,1%. Jauh memburuk ketimbang kuartal pamungkas 2020 yang tumbuh 12,7%, juga lebih parah dibandingkan konsensus Reuters yang memperkirakan di -4,6%. Ini adalah kontraksi pertama sejak kuartal II-2020.

Namun melihat kondisi tersebut pasar tak terlalu menanggapinya secara berlebihan. Malahan bursa saham utama kawasan Asia ditutup dengan semarak. Indeks Nikkei malah naik 2,09%. Hang Seng melompat 1,42%. Shang Hai Composite terapresiasi 0,32%. Strait Times loncat 2,09%. Hanya IHSG yang tumbuh sangat minimalis. 

 

Kini saatnya menyeberang ke belahan bumi bagian barat. Dini hari tadi tiga indeks saham acuan Wall Street kompak melemah. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ambles 0,78%. Indeks yang lebih luas yakni S&P 500 turun 0,85% dan Nasdaq Composite terkoreksi 0,56%. 

Sebenarnya Nasdaq yang konstituennya adalah saham-saham teknologi sempat menguat pada perdagangan intraday sebelum akhirnya ambles. Data penjualan rumah yang buruk turut memperberat kinerja harga saham di bursa New York. 

Menurut data Departemen Perdagangan, penjualan rumah di AS anjlok 9,5% (secara tahunan) menjadi 1,569 juta unit pada April. Angka itu jauh di bawah ekspektasi ekonom dalam polling Dow Jones yang mengestimasikan angka 1,7 juta unit.

"Meski pasar mengantisipasi perubahan data terkait pembukaan kembali ekonomi, besar kejutan itu sudah melebihi perkiraan, sehingga mendorong volatilitas bursa dan menekan indeks saham menjauhi level tertingginya," tulis Kepala Investasi Morgan Stanley Wealth Management Lisa Shalett sebagaimana dikutip CNBC International.

Kenaikan inflasi yang melampaui proyeksi bank sentral (Federal Reserve/The Fed) memicu kekhawatiran bahwa kebijakan moneter akan diperketat lebih cepat dari perkiraan sebelumnya. Pelaku pasar bakal mencari celah peluang perubahan kebijakan The Fed dari nota rapat terakhir yang akan dirilis pada Rabu nanti.

Inflasi sudah tampak mengalami kenaikan. Di AS saja, untuk pertama kalinya inflasi berada di level tertinggi sejak krisis keuangan global 2008.

Inflasi layaknya suhu tubuh manusia. Harus dijaga stabil di kisaran optimal. Inflasi yang terlalu tinggi (inflasi) maupun terlalu rendah (deflasi) buruk bagi perekonomian. Seperti halnya ketika kepanasan ataupun menggigil kedinginan.

Inflasi adalah fenomena ekonomi yang dijumpai sehari-hari yang berarti penurunan nilai dari suatu mata uang. Inflasi juga menggerus imbal hasil dari investasi di suatu aset.

Kelas aset yang berisiko cenderung tak diuntungkan ketika inflasi meningkat tajam yang memicu bank sentral untuk ambil langkah pengetatan melalui pengaturan likuiditas dan suku bunga.

Untuk perdagangan hari ini, investor dan trader perlu mencermati sejumlah sentimen yang bakal menjadi penggerak pasar. Pertama, pelemahan harga saham di Wall Street bukanlah kabar baik untuk bursa saham Asia yang bakal buka pagi ini. 

Apalagi pada perdagangan kemarin, mayoritas bursa saham utama Benua Kuning ditutup dengan apresiasi yang lumayan. Setidaknya tekanan yang dihadapi Wall Street akan meningkatkan gejolak pergerakan harga saham Asia tak terkecuali saham domestik yang tercermin dari IHSG. 

Sentimen yang patut terus dipantau adalah perkembangan pandemi Covid-19 secara global. Belum lama ini Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan bahwa pandemi Covid-19 belum akan berakhir walaupun tingkat vaksinasi sudah digenjot semaksimal mungkin. 

Di beberapa negara Asia seperti India, Malaysia, Singapura dan Taiwan terus melaporkan terjadinya lonjakan kasus infeksi. Hal tersebut membuat pembatasan aktivitas ekonomi mulai diterapkan kembali. 

Mulai Minggu (16/5/2021) kemarin, Singapura kembali mengetatkan pembatasan kegiatan publik dan akan berlangsung dalam satu bulan ke depan.

Malaysia juga kembali menerapkan pembatasan wilayah (lockdown) secara nasional mulai 12 Mei lalu hingga 7 Juni. Lockdown ini merupakan ketiga kalinya, setelah Maret 2020 dan Januari 2021. Malaysia kini berada di tengah gelombang ketiga kebangkitan Covid-19.

Sementara itu di dalam negeri, kasus infeksi Covid-19 memang menurun. Namun dengan adanya banyak pemudik meski dilarang dan masuknya arus balik lebaran patut diwaspadai. 

Apabila berdasarkan hasil tes yang terus digalakkan terjadi peningkatan kasus maka hal ini menjadi downside risk untuk pemulihan ekonomi. Berkaca dari pengalaman sebelumnya, peningkatan kasus mulai tampak dua pekan setelah fenomena kenaikan mobilitas publik secara masif.

Apabila lockdown semakin marak terutama di kawasan Asia, maka prospek pemulihan ekonomi menjadi buram. Resesi bisa terjadi berulang kali. Ini hanya akan menyebabkan volatilitas yang tinggi bagi pasar keuangan. 

So far banyak sentimen yang cukup memberatkan. Perdagangan hari ini kemungkinan tak akan mudah seperti biasanya. Volatilitas yang tinggi masih akan dijumpai. Potensi kenaikan yield obligasi pemerintah dan penurunan harga saham masih terbuka.

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:


  • Rilis data keyakinan konsumen Australia bulan Mei versi Westpac (07.30 WIB)
  • Rilis data produksi industri Jepang bulan Maret (11.30 WIB)
  • Rilis data inflasi Inggris bulan April (13.00 WIB)
  • Rilis data inflasi Afrika Selatan bulan April (15.00 WIB)
  • Rilis data inflasi Zona Euro bulan April (16.00 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular