
Inflation is Coming, Awas IHSG, Rupiah & SBN Masih Jet Lag

Beralih ke kiblat kapitalisame global yakni Wall Street, aset ekuitasnya juga terjatuh ke zona koreksi. Tiga indeks saham acuannya kompak minus. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) melemah 1,14%, S&P 500 merosot 1,39%, dan Nasdaq Composite terkoreksi 2,34%.
Terjatuhnya harga saham dunia ini dipicu Indeks oleh kekhawatiran investor bahwa inflasi yang tinggi akan segera datang. Tanda-tandanya sudah tampak. Vaksinasi yang masif di banyak negara terutama Amerika Serikat (AS) membuat mobilitas mulai terpantau pulih.
Meskipun recovery-nya gradual , tetapi konsumen sudah mulai mau berbelanja. Ketika masyarakat mulai membeli barang jasa maka permintaan naik dan uang yang tadinya 'nganggur' kini mulai berpindah tangan.
Korporasi mulai berusaha meningkatkan produksi dan berekspansi. Roda perekonomian kembali 'muter'. Likuiditas yang berlebih akan terserap. Kenaikan harga komoditas yang menjadi input bagi aktivitas ekonomi seperti minyak mentah, batu bara, harga pangan hingga kayu selanjutnya akan diteruskan ke konsumen.
Kenaikan berbagai barang dan jasa secara luas inilah yang disebut sebagai inflasi. Peningkatan inflasi menjadi fokus para investor. Pasalnya ketika inflasi terjadi apalagi kenaikannya tinggi maka daya beli (purchasing power) suatu mata uang menjadi turun. Imbal hasil dari investasi juga tergerus.
Di sisi lain ketika inflasi naik tinggi, maka ada peluang bank sentral akan menarik likuiditas di pasaran atau yang lebih dikenal dengan tapering dan menaikkan suku bunga yang membuat borrowing cost menjadi lebih mahal.
Begi emiten saham, kenaikan suku bunga tentu saja sangat sensiitif bagi kondisi keuangan apalagi yang utangnya sudah banyak. Bagi mereka yang menerbitkan obligasi juga harus menawarkan kupon yang lebih tinggi sehingga biaya meminjamnya juga menjadi mahal.
Bagaimanapun juga bank sentral akan menaikkan harga atas uang. Itu past! Karena kalau dibiarkan ekonomi akan overheat. Well, tetap saja pasar akan tetap mengalami guncangan.
Selain karena adanya low base effect, indeks harga konsumen yang tercermin pada Personal Consumption Expenditure (PCE) naik 4,2% (yoy). Rilis tersebut bahkan jauh lebih tinggi dibandingkan ekspektasi analis di angka 3,6%.
Seumur-umur ini menjadi kenaikan inflasi terbesar sejak 2008 jika dihitung berdasarkan periode tahunan dan tertinggi dalam 40 tahun jika dihitung secara bulanan.
The Fed sendiri saat sudah pernah menyampaikan bahwa inflation is coming. Bank sentral paling digdaya di muka bumi itu akan membiarkan suhu tubuh perekonomian sedikit panas. Namun yang dikhawatirkan adalah ekspektasi inflasi yang tinggi akan menjadi semakin viral dan mendorong inflasi itu sendiri.
Perubahan kebijakan moneter yang sangat tiba-tiba jelas menjadi risiko besar bagi investor. Terutama mereka yang bermain di aset-aset yang cenderung berisiko.
(twg/twg)