Newsletter

Semoga Hilal Kebangkitan Ekonomi Makin Keliatan Ya

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
08 April 2021 06:02
[DALAM] Rupiah Sentuh 30.000

Jakarta, CNBC Indonesia - Saham, obligasi dan nilai tukar rupiah kompak ditutup menguat pada perdagangan kemarin (7/4/2021). Tren pelemahan dolar AS dan yield surat utang pemerintah AS tenor panjang cenderung menguntungkan aset-aset keuangan di negara lain termasuk Indonesia. 

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil finish dengan heroik. Sempat jatuh ke zona merah di sesi pertama perdagangan, IHSG sukses melenggang ke zona hijau dengan apresiasi 0,56%. 

Saat indeks mengalami kenaikan, investor asing malah melepas kepemilikan sahamnya di dalam negeri. Di pasar reguler, asing tercatat membukukan aksi jual bersih senilai Rp 570 miliar. 

Kenaikan yield membuat banyak investor menarik dananya dari bursa saham Asia. Berdasarkan data Refinitiv, negara-negara seperti Korea Selatan, Taiwan, Filipina, Thailand, Filipina, Vietnam, Indonesia dan India secara kumulatif mencatatkan net outflow sebesar US$ 3,18 miliar di saat yield naik.

Taiwan dan Korea Selatan, yang menampung banyak saham teknologi dengan harga tinggi menghadapi aliran modal keluar terbesar di Asia. Investor asing tercatat melakukan penjualan bersih masing-masing US$ 3,2 miliar dan US$ 1,3 miliar di bursa saham kedua negara tersebut.

Beralih ke pasar obligasi, mayoritas harga surat berharga negara (SBN) menguat yang tercermin dari penurunan imbal hasilnya. Harga SBN untuk tenor lebih dari 3 tahun semuanya mengalami penguatan kemarin. 

Sekarang saatnya beralih ke rupiah. Meski naiknya tipis, nilai tukar rupiah sudah menguat di hadapan dolar AS dalam tiga hari terakhir. Di pasar spot rupiah sudah turun ke bawah Rp 14.500/US$. 

Penguatan tipis rupiah terjadi saat cadangan devisa RI tercatat mengalami penurunan US$ 1,7 miliar. Bank Indonesia (BI) hari ini melaporkan cadev per akhir Maret sebesar US$ 137,1 miliar

Aset-aset berisiko seperti saham dan valas negara-negara berkembang cenderung diuntungkan setelah Dana Moneter Internasional (IMF) meningkatkan proyeksi ekonomi untuk tahun ini.

Dalam konferensi pers di sela-sela Pertemuan Musim Semi (Spring Meeting), Kepala Ekonom IMF Gita Gopinath menyebut proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini adalah 6%, naik dibandingkan perkiraan sebelumnya yaitu 5,5%.

Jika Produk Domestik Bruto (PDB) dunia benar-benar tumbuh 6%, maka akan menjadi catatan terbaik sejak 1973.

Beralih ke AS, indeks saham Bursa New York yang mengalami kenaikan adalah indeks Dow Jones yang naik 0,05% dan S&P 500 yang menguat 0,15%. Sementara itu indeks Nasdaq Composite tertinggal dengan pelemahan 0,07%. 

Wall Street yang berhasil lepas dari zona koreksi tak terlepas dari pernyataan salah satu pejabat The Fed yang menegaskan bahwa program pembelian aset masih akan terus dijalankan.

Tapering dan segala bentuk pengetatan moneter lain dinilai sebagai suatu hal yang prematur atau terlalu dini untuk dilakukan saat ini. Jerome Powell sang ketua The Fed sudah berkali-kali menegaskan hal ini ke publik. 

Para pembuat kebijakan The Fed memperkirakan ekonomi akan pulih secara substansial pada 2021 di tengah pembukaan kembali ekonomi dan mereka percaya pertumbuhan yang lebih kuat dari rata-rata di tahun-tahun berikutnya akan terus memfasilitasi pemulihan pasar tenaga kerja.

"Pertumbuhan PDB riil diproyeksikan menjadi substansial tahun ini dan tingkat pengangguran diperkirakan menurun secara signifikan," tulis risalah The Fed. 

Risalah pertemuan The Fed menunjukkan bahwa sementara para pejabat melihat ekonomi meningkat secara substansial, mereka melihat lebih banyak kemajuan yang dibutuhkan sebelum perubahan kebijakan yang sangat mudah.

Salah satu anggota mengatakan butuh US$ 120 miliar sebulan dalam pembelian obligasi dan memberikan dukungan substansial bagi perekonomian.

"Pertumbuhan PDB riil diperkirakan akan turun pada tahun 2022 dan 2023 tetapi masih melebihi potensinya selama periode ini, yang mengarah pada penurunan tingkat pengangguran ke tingkat yang secara historis rendah, karena kebijakan moneter diasumsikan tetap sangat akomodatif." CEO JPMorgan Chase Jamie Dimon.

Dimon optimis tentang kembalinya ekonomi AS dari pandemi dalam surat tahunannya yang banyak dibaca yang dirilis pada hari Rabu. Ketika ekonomi bersemi maka risk appetite pun kembali. Momentum inilah yang nantinya akan membuat masuknya aliran modal asing ke saham sebagai salah satu aset yang produktif.

Wall Street memang tidak kompak karena hanya dua indeks yang menguat. Namun sejatinya proyeksi IMF membuat risk appetite juga semakin membaik. Harga minyak pun terangkat. 

Minyak merupakan salah satu komoditas energi yang menjadi indikator kondisi perekonomian. Pergerakan harga minyak ke atas menjadi katalis positif untuk harga saham. Topik yang sedang disorot oleh investor dan para pelaku pasar memang pemulihan ekonomi. 

Untuk itu investor juga perlu mencermati rilis data perekonomian global. Hari ini setidaknya ada beberapa negara yang bakal merilis data ekonominya. Pertama adalah Jepang yang bakal merilis data transaksi berjalan dan indeks keyakinan konsumen.

Selain Jepang, bergeser ke Barat ada Prancis yang bakal merilis data perdagangannya dan Jerman yang bakal merilis data ekonomi di sektor manufaktur. 

Sementara itu dari dalam negeri sentimen juga datang dari rilis data ekonomi berupa penjualan ritel. Trading Economics memperkirakan penjualan ritel bulan Februari masih akan tertekan tetapi akan lebih baik dari bulan Januari yang minus 16% sendiri. 

Selain soal rilis data ekonomi, investor juga perlu mencermati perkembangan vaksinasi di Eropa yang sempat tersendat.

Setelah menuai kontroversi karena menyebabkan orang meninggal akibat pembekuan darah, Italia dan Inggris memutuskan untuk menetapkan batasan umur dan masih akan merekomendasikan vaksin Covid-19 buatan AstraZeneca.

Masih dari Inggris, Negeri Ratu Elizabeth tersebut juga memulai vaksinasi menggunakan produk buatan Moderna. Program tersebut dimulai di Wales. 

Di luar itu semua pasar juga harus mewaspadai akan adanya kenaikan dolar AS. Reuters mengadakan polling terhadap ahli strategi valuta asing (valas), dari 56 yang disurvei sebanyak 48 orang atau 85% memperkirakan dolar AS masih akan kuat setidaknya 1 bulan lagi.

Dari 48 orang tersebut, sebanyak 11 orang memprediksi penguatan dolar AS akan berlangsung dalam 3 hingga 6 bulan ke depan, sementara 16 orang mengatakan akan berlangsung lebih dari 6 bulan lagi.

Rupiah memang layak waspada, sebab survei tersebut juga menunjukkan sebanyak 58% ahli strategi valas memprediksi mata uang emerging market akan tertekan melawan dolar AS dalam tiga bulan ke depan.

Kenaikan dolar AS bisa dibilang mengkhawatirkan karena bisa memicu terjadinya outflow. Apalagi Indonesia termasuk negara yang rentan akibat aliran keluar modal asing.

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  • Rilis data transaksi berjalan Jepang bulan Februari (06.50 WIB)
  • Rilis data indeks keyakinan konsumen Jepang bulan Maret (12.00 WIB)
  • Rilis data penjualan ritel Indonesia bulan Februari (10.00 WIB)
  • Rilis data perdagangan Prancis bulan Februari (13.45 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

TIM RISET CNBC INDONESIA


(twg/twg) Next Article Arigatou Mr. Powell! Pasar Saham Jadi Kalem Karenamu

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular