Jakarta, CNBC Indonesia - Angkat topi! Pasar keuangan domestik kemarin kompak ditutup di zona hijau. Baik rupiah, surat berharga negara (SBN) maupun indeks harga saham gabungan (IHSG) semuanya menguat walau tipis.
Di pasar saham, indeks utama bursa lokal ditutup naik 0,29%. Investor asing pun mulai masuk ke bursa saham Tanah Air. Data perdagangan mencatat investor asing membeli bersih aset-aset ekuitas RI senilai Rp 505 miliar.
Sebanyak 234 saham tercatat mengalami kenaikan nilai kapitalisasi pasar, 248 saham turun dan sisanya 154 saham yang diperdagangkan bergerak flat alias stagnan. Kapitalisasi pasar IHSG menyentuh angka Rp 7.418,42 triliun.
Kendati Wall Street tak bergairah, mayoritas bursa saham kawasan Benua Kuning ditutup dengan happy. Ada tiga indeks saham Asia yang mengalami koreksi yaitu KLCI (Malaysia) yang turun 0,13%, Shang Hai Composite (China) drop 0,17% dan Kospi (Korea Selatan) yang ambles 0,31%.
Sementara itu bursa saham Jepang hari ini libur karena memperingati hari ulang tahun sang Kaisar Negeri Sakura yaitu Naruhito.
Berbeda dengan saham, mata uang kawasan Asia Pasifik cenderung bergerak variatif (mixed). Di Asia rupiah menjadi juara. Namun masih kalah dengan dolar Australia yang menguat 0,21% terhadap greenback.
Di arena pasar spot nilai tukar rupiah berhasil mencatatkan apresiasi sebesar 0,14% di hadapan 'Sang Maha Dolar'. Kini untuk US$ 1 dibanderol di Rp 14.090. Dolar AS sejatinya cenderung menguat di sepanjang awal tahun 2021.
Secara year to date (ytd) indeks dolar mengalami apresiasi sebesar 0,25%. Harapan akan perekonomian AS yang lebih baik membuat greenback yang sudah lama tertekan akhirnya bangkit.
Yield obligasi pemerintah AS pun ikut terkerek naik. Hanya dalam waktu singkat, imbal hasil nominal obligasi surat utang AS bertenor 10 tahun sudah tembus 1,36%. Sejak awal tahun, yield mengalami kenaikan hampir 50% mengingat yield masih di bawah 1% pada akhir Desember 2020.
Setelah menguat signifikan, yield aset safe haven tersebut tampak mulai melandai. Hal ini berakibat pada penurunan imbal hasil nominal SBN tenor 10 tahun. Penurunan yield mencerminkan kenaikan harga instrumen investasi pendapatan tetap tersebut.
Imbal hasil nominal SBN 10 tahun pemerintah RI berada di 6,6%. Apabila inflasi di bulan Januari 1,55% maka imbal hasil riilnya masih 5%. Jauh lebih menggiurkan dibanding imbal hasil riil surat utang AS yang mendekati nol persen cenderung negatif.
Selisih (spread) imbal hasil riil kedua aset berupa surat utang tersebut masih terpaut 500 basis poin (bps). Imbal hasil yang menarik masih mendorong adanya inflow ke pasar obligasi negara.
Per akhir Januari lalu kepemilikan asing di SBN mencapai Rp 985 triliun. Porsinya naik dari posisi Desember yang hanya sebesar Rp 974 triliun.
Kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS menyita perhatian kalangan pelaku pasar. Bahkan bursa saham Wall Street sempat goyang. Pada perdagangan sebelumnya Wall Street cenderung lesu. Namun testimoni bos The Fed Jerome Powell di depan Komite Perbankan Senat menjadi penyelamat perdagangan pagi ini.
Indeks S&P 500 dan Dow Jones Industrial Average (DJIA) yang tadinya drop berakhir di zona hijau dengan apresiasi sebesar 0,1%. Namun indeks Nasdaq Compsite yang berisi saham-saham teknologi tetap tertekan 0,5%.
Kenaikan suku bunga akan menjadi ancaman bagi pasar saham. Pasalnya reli panjang harga saham selama ini ditopang oleh rendahnya imbal hasil di pasar obligasi. Kenaikan suku bunga juga akan membuat biaya pinjaman (borrowing cost) meningkat sehingga valuasi saham menjadi kurang atraktif lagi.
Prospek pemulihan ekonomi serta ekspektasi inflasi yang tinggi adalah biang kerok utamanya. Sektor manufaktur dan jasa di AS sudah berada dalam kondisi ekspansif. Hal ini tercermin dari angka indeks manajer pembelian (PMI) yang berada di atas 50.
Di saat yang sama, pasokan uang beredar (M2) di AS juga meningkat pesat. Di bulan ini saja, nilai M2 di AS tercatat mencapai US$ 19,41 triliun di bulan ini atau naik 25,71% (yoy) dari periode yang sama tahun 2020. Per Februari 2020 nilai M2 di AS hanya tercatat sebesar US$ 15,45 triliun.
Likuiditas yang berlimpah dan geliat ekonomi yang semakin terasa membuat banyak pihak mulai mengantisipasi kenaikan inflasi yang tinggi. Wajar saja jika investor juga berharap mendapat kompensasi kenaikan imbal hasil dari obligasi.
Kenaikan harga yang sangat tinggi ditakutkan akan membuat The Fed mau tak mau menaikkan suku bunga jangka pendeknya. Kalau ini sampai terjadi maka pasar keuangan akan kembali goyang.
Namun investor, analis dan pelaku ekonomi lainnya menyambut positif testimoni bos The Fed Jerome Powell di hadapan Komite Perbankan Senat AS yang akan dihelat dalam dua hari ini.
Banyak yang mencari sinyal terkait apa yang bakal dikatakan oleh orang nomor wahid di dunia kebanksentralan Paman Sam itu. Dalam kesempatan kali ini, Powell kembali menegaskan bahwa stance kebijakan moneter yang longgar akan tetap dipertahankan.
Menurut Powell inflasi di AS masih terbilang lunak. Kenaikan harga rata-rata dalam 12 bulan terakhir masih di bawah sasaran target otoritas moneter Adikuasa tersebut yang dipatok di angka 2%.
"Perekonomian masih jauh dari tujuan kami untuk mencapai sasaran ketenagakerjaan [maximum employment] serta target inflasi dan kemungkinan akan membutuhkan waktu untuk kemajuan substansial lebih lanjut untuk dicapai," kata bos Fed dalam sambutan yang disiapkan untuk Komite Perbankan Senat.
Ungkapan tersebut seolah mencoba memberikan sinyal di pasar bahwa jangan terlalu antusias dalam menyambut prospek ekonomi yang sangat cerah dibarengi dengan inflasi tinggi.
Sebenarnya yang ditakutkan pasar adalah perubahan yang mendadak pada kebijakan moneter. Namun The Fed sadar betul membuat manuver tajam pada stance kebijakan moneter hanyalah tindakan yang gegabah yang tidak hanya memicu shock di pasar keuangan tetapi juga ekonomi riil
Atas pernyataan bos The Fed tersebut, pasar menjadi lebih kalem. Di saat pasar saham mulai kalem, aset berisiko lain yang juga jadi primadona belakangan ini yakni Bitcoin drop signifikan.
Dalam waktu singkat nilai kapitalisasi pasar mata uang kripto terpopuler itu drop lebih dari 10% setelah Menteri Keuangan AS memperingatkan risiko inefisiensi ketika bertransaksi dengan Bitcoin.
Wall Street yang berhasil memangkas koreksi dan berubah menjadi positif mengisyaratkan sinyal baik bagi bursa saham Asia yang akan buka pagi hari ini, Rabu (24/2/2021). Namun yang perlu diingat adalah saham-saham kawasan Asia sudah sering hijau belakangan ini. Sehingga potensi koreksi itu memang terbuka.
Sejak The Fed memompa likuiditas ke sistem keuangan yang membuat neraca (balance sheet) bank sentral mengembang, investor yang tadinya cari aman cenderung berubah menjadi agresif dalam memburu aset berisiko. Saham, komoditas bahkan aset digital seperti mata uang kripto tak luput dari incaran.
Ekonomi riil memang belum bergerak kencang. Masih jauh bahkan dari kata pulih. Hanya saja pasar sudah berjalan mendahului ekonomi riil yang masih jalan di tempat. Saham-saham teknologi menjadi primadona karena dinilai minim terdampak krisis kesehatan dan justru menunjukkan prospek yang cerah di masa mendatang.
Banjir likuiditas, kemajuan pengembangan dan penyuntikan vaksin Covid-19 yang terjadi secepat kilat membuat investor menjadi kalap dan tak jarang mengambil tindakan-tindakan spekulatif.
Mulai dari trader Robinhood di AS sampai investor angkatan Corona di RI pernah merasakan gejolak atau volatilitas pasar yang tinggi. Banyak dari kalangan investor terutama ritel Tanah Air yang nyangkut di saham-saham farmasi karena terlalu bertaruh pada vaksin.
Akhir Januari menjadi saksi ketika aksi spekulasi tersebut harus diganjar dengan pembalikan tren bullish IHSG sejak kuartal terakhir tahun lalu. Setelah saham farmasi, kini saham primadona pelaku pasar Tanah Air adalah bank mini yang diisukan bakal dipermak jadi bank digital.
Pelaku pasar mulai melihat potensi bahwa bank-bank mini akan disulap menjadi bank digital yang jauh lebih cost efficient sehingga memberikan imbal hasil lebih besar dari bank konvensional. Appetite investor yang tinggi terhadap sektor ini membuat harga saham bank-bank bermodal cekak beterbangan.
Beberapa bank mini tersebut bahkan sampai diawasi ketat oleh otoritas bursa. Ada yang terkena suspend perdagangan. PT Bank Bumi Artha Tbk (BNBA) misalnya. Namun ada pula yang terus meroket seperti PT Bank Net Syariah Indonesia Tbk (BANK) yang baru IPO bulan ini tapi kapitalisasi pasarnya sudah meroket 1.250%.
Selain saham-saham bank digital saham komoditas terutama nikel ikut terimbas euforia. Kenaikan harga nikel didukung dengan peningkatan volume penjualan mobil listrik global membuat saham-saham emiten tambang nikel tak luput dari buruan.
Namun pada perdagangan kemarin saham perusahaan tambang nikel banyak yang diterpa aksi ambil untung terutama oleh asing sehingga harganya terjerembab. Beberapa saham emiten nikel yang sudah melesat tinggi dalam enam bulan terakhir bahkan ada yang dilepas oleh investor asing secara besar-besaran sebulan terakhir.
Dua saham emiten nikel yang paling banyak dilepas asing di pasar reguler satu bulan terakhir adalah saham PT Timah Tbk (TINS) dengan net sell Rp 63 miliar dan saham PT Harum Energy Tbk (HRUM) dengan net sell mencapai Rp 124,31 miliar.
Euforia saham bank digital dan nikel cukup menarik dicermati karena akan menjadi tren investasi saham di tahun ini seiring dengan tema global yang bertajuk dunia yang terdigitalisasi dan commodity supercycle sebagai konsekuensi dari pandemi Covid-19.
Namun yang namanya euforia selalu ditumpangi dengan tindakan yang irasional. Kenaikan harga yang sudah gila-gilaan tak bisa terus menerus naik. Ada periode di mana harga akan turun. Tren sektoral ini patut untuk diwaspadai!
Untuk sekarang pasar saham Indonesia boleh sedikit bernafas lega dengan pernyataan bos The Fed. Setidaknya sinyal pengetatan moneter masih jauh dari pandangan sehingga aliran dana asing yang masuk tak langsung 'pulang kampung'.
Baik rupiah, harga obligasi serta saham masih berpeluang melanjutkan penguatan yang juga ditopang oleh sentimen membaiknya prospek ekonomi di tahun Kerbau Logam ini serta imbal hasil aset keuangan yang sangat menarik di mata investor global.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Rilis data Indeks Keyakinan Bisnis Korea Selatan Februari 2021 (04.00 WIB)
- Rilis data Wage Price Index Kuartal IV-2020 Australia (07.30 WIB)
- Rilis data PDB Kuartal IV-2020 Final Jerman (14.00 WIB)
- Rilis data Indeks Keyakinan Bisnis Prancis Februari 2021 (14.45 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIM RISET CNBC INDONESIA