Newsletter

Wall Street Terus Cetak Rekor, IHSG Kapan Gak Tekor?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
06 April 2021 06:50
Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Investor saham domestik harus lebih bersabar melihat kondisi pasar yang sedang bergejolak. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali menjadi korban dari aksi brutal penjualan saham.

Indeks saham acuan Tanah Air itu ditutup dengan koreksi cukup dalam. Di akhir perdagangan, IHSG terkapar di zona merah dengan pelemahan 0,68%. Asing tercatat melepas kepemilikan sahamnya senilai Rp 593,7 miliar di pasar reguler. 

Sebanyak 190 saham naik, 301 drop dan sisanya 153 stagnan. Saham-saham emiten pelat merah mendominasi jajaran top losers, terutama saham konstruksi yang mendapat sentilan dari mantan menteri BUMN Dahlan Iskan. 

Kuartet saham konstruksi yaitu PT Waskita Karya Tbk (WSKT), PT Adhi Karya Tbk (ADHI), PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) dan PT PP Tbk (PTPP) kompak terkena auto reject bawah (arb). 

Berbeda dengan saham, mayoritas obligasi pemerintah justru mengalami kenaikan harga. Apresiasi tercermin dari adanya penurunan imbal hasil (yield) yang menurun.

Yield surat berharga negara (SBN) tenor 3 dan 10 tahun mengalami penurunan yang tajam masing-masing drop 51,3 basis poin (bps) dan 15,6 bps. Imbal hasil nominal untuk SBN rupiah tenor pendek berada di 4,66% sementara untuk SBN tenor panjang yang jadi acuan yaitu 10 tahun kini berada di 6,62%.

Meskipun terapresiasi, nasib SBN setali tiga uang dengan saham karena dilegoleh investor asing. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, terjadi aliran modal keluar (capital outflow) dari pasar surat utang negara sebesar Rp 20 triliun. 

Adanya fenomena aliran modal keluar membuat kinerja rupiah juga tertekan. Maklum selama ini rupiah kurang kuat fundamentalnya dan lebih banyak ditopang oleh hot money yang sifatnya aliran modal temporer dan bisa keluar kapan saja. 

Tren pelemahan rupiah terjadi sejak pertengahan bulan Februari lalu. Rupiah yang sebelumnya dibanderol di bawah Rp 14.000/US$ kini sudah tembus Rp 14.500/US$. Rupiah memang menguat kemarin. Namun sangatlah tipis karena hanya naik 0,07% di hadapan greenback.

Beralih ke barat, Wall Street yang sebelumnya dilanda koreksi pagi tadi nasibnya mujur. Tiga indeks acuan utama bursa New York kompak ditutup di zona hijau. Penguatannya pun signifikan,

Indeks Nasdaq Composite yang berisikan saham-saham teknologi memimpin penguatan dengan apresiasi sebesar 1,67%. Sementara itu indeks S&P 500 dan Dow Jones masing-masing melompat 1,44% dan 1,13%. Dow Jones bahkan tembus rekor tertinggi barunya (all time high).

Saham-saham AS diuntungkan dengan data ketenagakerjaan yang apik. Data Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan terjadi kenaikan angka penciptaan lapangan kerja (non-farm payroll) sebanyak 916 ribu di bulan Maret. 

Angka yang dirilis hari Jumat pekan lalu itu jauh lebih baik dari ekspektasi ekonom sebanyak 675.000 slip gaji. Angka pengangguran turun menjadi 6% dari bulan sebelumnya 6,2%.

Katalis positif lain dari kenaikan saham-saham Wall Street karena membaiknya sektor jasa di AS. Indeks aktivitas non-manufaktur Institute for Supply Management melonjak ke pembacaan 63,7 bulan lalu. Ini merupakan level tertinggi dalam sejarah survei.

Penguatan pasar ekuitas Paman Sam juga didukung dengan mulai kalemnya pasar obligasi AS. Yield US Treasury mulai melandai kendati masih di angka 1,7%. Sebelumnya yield sempat menyentuh level 1,75% dan lebih tinggi dari imbal hasil dari dividen S&P 500 yang hanya 1,5%. 

Kenaikan yield aset minim risiko dan membuat imbal hasilnya yang lebih tinggi dari saham yang relatif lebih berisiko membuat opportunity cost memegang aset berupa saham naik dan menjadi kurang menarik. 

Kenaikan yield surat utang negara AS ini tak hanya berdampak pada pasar keuangan AS saja. Namun juga meluas ke berbagai penjuru dunia tak terkecuali Indonesia. 

Pelaku pasar mulai mengantisipasi kenaikan inflasi dan prospek pertumbuhan ekonomi AS yang lebih cerah tahun ini akibat kebijakan makro yang masih akomodatif lewat fiskal ekspansif dan moneter longgar serta kecepatan vaksinasi yang dilakukan di Paman Sam.

Melandainya yield juga dibarengi dengan pelemahan dolar AS yang tercermin dari penurunan indeks dolar sebagai tolok ukur posisi greenback terhadap mata uang lainnya. 

Wall Street yang berhasil melenggang ke zona hijau merupakan kabar yang baik dan diharapkan bisa merambat ke pasar keuangan Asia yang bakal buka pada hari ini. Namun investor masih perlu mewaspadai beberapa hal.

Dalam jangka pendek satu minggu ini, pasar masih berpeluang menghadapi gejolak. Pergerakan yield obligasi pemerintah AS bakal tetap menjadi sorotan utama banyak pihak. Kenaikan yang terlalu tajam akan membuat pasar goyang lagi. 

Prospek perekonomian Paman Sam diramal bakal cerah. Sentimen positif terus berdatangan. Paling baru adalah upaya Joe Biden untuk meng-goal-kan proposal pembangunan infrastruktur dengan anggaran mencapai US$ 2 triliun. 

Jalan Biden memang tidaklah mulus karena restu bulat dari badan legislatif belum dikantongi. Suara majelis terpecah. Seperti biasa pihak Partai Republik menolak usulan Biden yang bernilai jumbo tersebut.

Senator dari Partai Republik Roy Blunt, dari daerah pemilihan Missouri, mendesak pemerintah untuk memangkas program tersebut menjadi sekitar US$ 615 miliar dan berfokus pada infrastruktur fisik seperti jalan dan bandara.

Pimpinan Senat Mitch McConnell pekan lalu menegaskan bahwa program Biden tersebut tak akan mendapat dukungan dari Partai Republik dan berjanji akan mementahkannya.

Namun Biden masih besikukuh dan akan terus mendorong program yang diajukannya meski tanpa restu pihak Republikan sebagaimana dikatakan oleh Jennifer Granholm sebagai Menteri Energi AS. 

Berdasarkan ramalan dari berbagai ekonom, jika ada deal kesepakatan dan program pembangunan infrastruktur terjadi maka output perekonomian AS berpeluang mendapat peningkatan sebesar 0,5 hingga 1 poin persentase pada 2022.

Tak usah menunggu tahun depan, prospek perekonomian AS untuk tahun ini saja positif. Alhasil ini akan menjadi salah satu penopang fundamental dolar AS. Ketika dolar sedang perkasa maka pasti memakan tumbal. Salah satu korbannya adalah rupiah. 

Setidaknya untuk satu bulan ke depan dolar AS diperkirakan bakal naik. Reuters mengadakan polling terhadap ahli strategi valuta asing (valas), dari 56 yang disurvei sebanyak 48 orang atau 85% memperkirakan dolar AS masih akan kuat setidaknya 1 bulan lagi.

Dari 48 orang tersebut, sebanyak 11 orang memprediksi penguatan dolar AS akan berlangsung dalam 3 hingga 6 bulan ke depan, sementara 16 orang mengatakan akan berlangsung lebih dari 6 bulan lagi.

Secara keseluruhan pasar keuangan domestik masih rawan sekali terkena koreksi. Sentimen positif yang datang dari luar negeri diharapkan mampu mendongkrak kinerja aset keuangan dalam negeri. Namun volatilitas yang tinggi masih berpotensi terasa.

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  • Rilis data pengeluaran rumah tangga Jepang bulan Februari (06.30 WIB)
  • Rilis data PMI komposit dan jasa China bulan Maret (08.45 WIB)
  • Pengumuman suku bunga acuan Australia (11.30 WIB)
  • Rilis data tingkat pengangguran di zona Euro bulan Februari (16.00 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular