Newsletter

IHSG Hari Ini Kayak Pacaran, Masih Banyak Ketidakpastian

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
05 April 2021 06:30
Presiden AS Joe Biden
Foto: Presiden AS Joe Biden (AP Photo/Evan Vucci)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kalender bulan Maret telah gugur dan kini masuk April. Itu artinya satu kuartal sudah berlalu di tahun 2021. Pasar masih saja menunjukkan gejolaknya. Kinerja aset-aset keuangan dalam negeri bisa dibilang tak memuaskan sepanjang tiga bulan awal 2021. 

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hanya naik 0,11%. Imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun naik 11% dan rupiah terdepresiasi 3,42% di hadapan greenback sepanjang kuartal pertama. 

Dalam seminggu terakhir IHSG dan rupiah kompak terperosok dengan koreksi masing-masing 2,97% dan 0,76%. Sementara itu yield SBN tenor 10 tahun naik 1,2 basis poin.

Volatilitas di pasar memang sedang tinggi. Sentimen negatif dari dalam dan luar negeri terus menggempur pasar keuangan global dan domestik.

Dari luar negeri yield surat utang pemerintah AS yang terus naik masih menjadi momok utama bagi para pelaku pasar. Yield obligasi pemerintah AS yang terkenal minim risiko ini bahkan sempat tembus 1,75% dan melampaui imbal hasil dividen S&P 500 yang hanya 1,5%.

Kenaikan yield obligasi AS turut mengerek imbal hasil SBN. Banyak asing yang melego SBN. Per 29 Maret saja posisi asing yang memegang SBN mengalami penurunan Rp 23,6 triliun dibanding posisi akhir tahun lalu.

Di pasar saham, asing juga berjualan. Sebanyak Rp 4,15 triliun keluar dari bursa saham Tanah Air. Adanya capital outflow inilah yang juga menekan kinerja rupiah yang selama ini cenderung kecanduan hot money

Kenaikan yield berarti borrowing cost menjadi lebih mahal sehingga bisa menggerus profitabilitas emiten yang menerbitkan obligasi. Di sisi lain yield yang terus menguat juga membuat biaya peluang memegang aset lain seperti saham yang berisiko menjadi meningkat sehingga kurang menarik. 

Dari dalam negeri, sentimen negatif datang dari BPJS Ketenagakerjaan (BPJS TK). Manajemen BPJS TK disebut akan mengurangi porsi investasi di saham dan reksa dana. Langkah tersebut dilakukan dalam rangka Asset Matching Liabilities (ALMA) Jaminan Hari Tua (JHT).

Diketahui BPJS TK merupakan salah satu investor institusi raksasa. Sehingga apabila porsi investasi dikerdilkan berpotensi adanya arus uang keluar dari pasar modal dalam jumlah yang lumayan.

Berbeda dengan pasar saham dalam negeri yang ambles nyaris 3%, saham-saham di Wall Street justru berpesta. Indeks S&P 500 naik 1,14% dan Nasdaq Composite melompat lebih tinggi dengan kenaikan sebesar 2,6%. S&P 500 bahkan untuk pertama kalinya tembus 4.000.

Yield obligasi AS memang masih berada di rentang level tertingginya. Namun apresiasi pasar saham AS juga tak terlepas dari rencana Biden yang mengajukan usulan pembangunan infrastruktur yang menelan biaya hingga US$ 2 triliun. Untuk saat ini pasar memang sedang kecanduan stimulus.

Fokus proposal tersebut adalah transisi ekonomi AS yang masih bergantung pada bahan bakar fosil ke ekonomi yang lebih sustainable dengan energi terbarukan. 

Biden memang visioner karena mengejar target dekarbonisasi sektor pembangkit listrik pada 2035 dan zero emisi karbon pada 2050. Apa yang paling mencolok dari proposal Biden yang disampaikan di Pittsburgh itu adalah anggaran yang dialokasikan untuk sektor transportasi. Besarannya paling 'gede'.

Tak tanggung-tanggung nilainya mencapai US$ 621 miliar. Dengan anggaran sebesar itu Biden berencana untuk mengalokasikan sebagian lagi atau kurang lebih sebesar US$ 174 miliar untuk membangun infrastruktur mobil listrik.

Di saat yang sama indeks dolar juga mengalami penguatan. Dalam sepekan terakhir indeks yang mengukur posisi greenback terhadap enam mata uang lain tersebut mengalami kenaikan 0,28%. 

Kenaikan greenback juga disebabkan karena data ketenagakerjaan yang ciamik. Data Jumat menunjukkan angka penciptaan lapangan kerja AS non-pertanian melonjak 916.000. Ini merupakan kenaikan terbesar sejak Agustus lalu.

Data untuk Februari direvisi naik dan menunjukkan 468.000 lapangan pekerjaan baru, bukan dari 379.000 yang dilaporkan sebelumnya. Data ketenagakerjaan yang apik menjadi sentimen positif untuk dolar AS.

Minggu ini bakal menjadi minggu sibuk lainnya. Tidak hanya rilis data ekonomi fokus pasar terbelah. Untuk itu baik investor maupun trader penting untuk memantau perkembangan isu yang beredar di pasar belakangan ini. 

Yield obligasi pemerintah AS dan greenback masih harus terus dipantau. Kombinasi keduanya bisa membuat pasar saham mengalami koreksi dan mata uang negara berkembang termasuk rupiah terdepresiasi. 

Kenaikan lanjutan yield obligasi dan dolar AS berpeluang besar untuk memicu terjadinya outflow dari pasar modal RI. Ketika outflow terjadi secara besar-besaran maka rupiah akan menjadi tumbal.

Sentimen kedua yang juga perlu menjadi perhatian pelaku pasar adalah perkembangan proposal infrastruktur senilai US$ 2 triliun. Menurut ekonom jika proposal ini disetujui Kongres maka bisa meningkatkan output perekonomian AS sebesar 0,5 sampai dengan 1 poin persentase. 

Namun rencana Biden tak bisa dibilang mulus, lawan Biden tak hanya para produsen minyak di Paman Sam tetapi juga kongres yang suaranya terpecah. Beberapa Demokrat dan aktivis lingkungan khawatir momentum ini tak bisa dimanfaatkan untuk membawa perubahan.

Beberapa anggota Partai Republik yang menentang paket bantuan pandemi Biden juga mengutuk tujuan presiden untuk memasukkan kebijakan iklim ke dalam undang-undang infrastruktur. 

Di sisi lain rencana Biden untuk menaikkan pajak juga menuai pro dan kontra. Biden juga berencana untuk menaikkan tarif pajak perusahaan AS menjadi 28% dari pajak sebesar 21% yang ditetapkan di masa Presiden Trump tahun 2017.

Menurut ahli strategi ekuitas UBS laba S&P 500 dapat terpukul 7,4% jika rencana pajak yang diusulkan oleh Biden itu terlaksana. Kenaikan pajak sangatlah riskan bagi pasar yang sedang sangat sensitif. 

Bagaimanapun juga tampaknya usulan-usulan Biden ini masih akan menjadi perdebatan yang alot terutama di kursi legislatif. Jalan sepakat masih belum tampak. Untuk sementara waktu investor dan trader harus kembali melihat pasar yang masih bergejolak.

Hari ini beberapa negara juga merilis data sektor manufaktur dan jasanya seperti Jepang, India dan Rusia. Sementara itu Turki akan merilis data inflasi. Apabila sektor manufaktur bergeliat maka harapan pemulihan ekonomi semakin nyata. 

Namun karena masih banyak risiko ketidakpastian, maka investor maupun trader harus sudah terbiasa dengan volatilitas di pasar yang cenderung lebih tinggi daripada biasanya. 

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  • Rilis data cadangan devisa Korea Selatan bulan Maret (04.00 WIB)
  • Rilis data PMI komposit dan jasa oleh Jibun Bank Jepang bulan Maret (07.30 WIB)
  • Rilis data PMI manufaktur India bulan Maret (12.00 WIB)
  • Rilis data PMI komposit dan jasa Rusia bulan Maret (13.00 WIB)
  • Rilis data inflasi Turki bulan Maret (14.00 WIB)Bi

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular