Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bervariasi sepanjang pekan lalu. Sentimen eksternal lebih banyak mempengaruhi pergerakan ketimbang dari dalam negeri. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatat penguatan tipis, rupiah terpuruk, dan pasar obligasi mayoritas juga melemah.
Melansir data Refinitiv, IHSG sepanjang pekan lalu naik 0,16% ke 6.241,796. Data perdagangan mencatat sepanjang pekan ini investor asing melakukan aksi beli bersih senilai lebih dari 1 triliun di pasar reguler, dengan nilai transaksi mencapai Rp 81 triliun.
Dalam lima hari perdagangan IHSG mampu menguat sebanyak 3 kali.
IHSG mendapat sentimen positif dari kebijakan relaksasi Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) sektor otomotif selama 2021, serta Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) DP 0%. Sektor properti juga mendapat keuntungan dengan kebijakan DP 0% untuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Dua kebijakan terakhir tersebut dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI).
BI pada pekan lalu juga menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 3,5% guna mendorong laju pemulihan ekonomi.
Namun, yield obligasi (Treasury) Amerika Serikat (AS) yang terus menanjak menjadi "hantu" bagi pasar keuangan Indonesia. IHSG seharusnya bisa menguat lebih tajam seandainya yield Treasury tidak melesat di pekan lalu. Kenaikan yield tersebut membuat bursa saham AS (Wall Street) jeblok, yang turun menyeret IHSG pada perdagangan Jumat.
Sepanjang pekan lalu, yield Treasury AS tenor 10 tahun sempat naik 17 basis poin ke 1,515% yang merupakan level tertinggi sejak awal Februari 2020 atau sebelum virus corona dinyatakan sebagai pandemi, dan sebelum bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) membabat habis suku bunganya menjadi 0,25%.
Untuk diketahui, harga obligasi berbanding terbalik dengan yield, ketika harga turun maka yield akan naik, sebaliknya ketika harganya naik maka yield akan turun. Ketika harga obligasi turun, berarti para investor tengah melepas kepemilikannya.
Kenaikan pesat yield Treasury dalam waktu singkat ini diakibatkan pasar melihat perekonomian AS membaik dan inflasi kemungkinan akan naik. Ketika inflasi naik, investor obligasi tentunya melihat yield yang rendah akan merugikan, sehingga melepas kepemilikannya alhasil yield menjadi menanjak.
Kenaikan yield Treasury yang dilatarbelakangi prospek pertumbuhan ekonomi yang serta inflasi kemungkinan menanjak, juga berarti pelaku pasar mengantisipasi kemungkinan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan mengurangi nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) atau yang dikenal dengan istilah tapering.
Tapering merupakan salah satu hal yang ditakutkan, sebab berkaca dari pengalaman sebelumnya memberikan dampak yang besar di pasar finansial termasuk Indonesia. Saat itu dikenal dengan istilah taper tantrum.
Rupiah dan obligasi Indonesia terpukul akibat kenaikan yield Treasury. Nilai tukar rupiah merosot tajam 1,28% melawan dolar AS ke Rp 14.240/US$. Dengan pelemahan tersebut, rupiah mencatat kinerja mingguan terburuk dalam 7 bulan terakhir. Rupiah kini juga berada di level terlemah tahun ini, bahkan jika melihat lebih ke belakang sejak awal November lalu.
Dari pasar obligasi, hanya Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 dan 25 tahun yang menguat. Hal tersebut tercermin dari penurunan yield-nya, itupun sangat tipis masing-masing 0,01 basis poin. Sementara tenor yang lainnya melemah cukup tajam.
HALAMAN 2>>>
Bursa saham AS atau Wall Street terpuruk pada pekan lalu, juga akibat kenaikan yield Treasury. Indeks Dow Jones sebelumnya sempat mencatat rekor tertinggi sepanjang masa 31.961,86, tetapi kemudian berbalik dan membukukan pelemahan 1,8% sepanjang pekan lalu di 20.932,36.
Meski berakhir di zona merah, tetapi pelemahan Dow Jones masih lebih baik ketimbang 2 indeks utama lainnya. Indeks S&P 500 merosot 2,45% ke 3.811,15. Nasdaq yang paling parah ambrol 4,92% di 13.192,345, dan berada di level terlemah dalam 1 bulan terakhir.
Meski merosot di pekan ini, tetapi sepanjang bulan Februari ketiga indeks utama masih mencatat kinerja positif. Indeks Dow Jones menguat 3,2%, S&P 400 2,6%, dan Nasdaq 0,9% di bulan Februari.
Kenaikan yield Treasury AS menjadi pemicu ambrolnya Wall Street di pekan ini.
"Yield sangat menentukan. Di kisaran 1,5%, yield obligasi bisa kompetitif dibandingkan dividend yield di pasar saham. Ingat, tidak ada risiko di obligasi, uang Anda kembali 100%," kata Peter Tuz, Presiden Chase Investment Counsel yang berbasis di Virginia (AS), seperti dikutip dari Reuters.
Para ekonom dan manager investasi mengatakan pasar obligasi bereaksi terhadap kemajuan perekonomian setelah vaksinasi dimulai, dan proyeksi produk domestik bruto (PDB) dinaikkan, yang dapat meningkatkan laba perusahaan, tetapi juga menjadi indikasi inflasi akan lebih tinggi dari perkiraan, sebagaimana dilaporkan CNBC International.
Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) dalam laporan terbarunya yang bertajuk World Economic Outlook pada akhir Januari lalu menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi AS, menjadi 5,1%, naik dari proyeksi sebelumnya 4,6%.
HALAMAN 3>>>
Pasar keuangan Indonesia masih berisiko tertekan di awal perdagangan hari ini, sebab pada perdagangan Jumat bursa saham AS masih merosot, yang artinya sentimen pelaku pasar masih belum membaik. Padahal, yield Treasury sebenarnya menurun saat itu.
Sementara itu, House of Representative (Dewan Perwakilan Rakyat/DPR) AS pada Sabtu (27/2/2021) pagi waktu setempat sudah meloloskan rancangan undang-undang kebijakan fiskal senilai US$ 1,9 triliun, dan kini diserahkan ke Senat AS.
"Kini, rancangan undang-undang sudah diserahkan ke Senat AS, saya berharap mereka akan bertindak cepat. Kita tidak perlu membuang waktu," kata Presiden AS Joseph 'Joe' Biden, sebagaimana dilansir CNBC International, Sabtu (27/2/2021).
"Jika kita bertindak sekarang - tegas, cepat dan berani, kita akhirnya akan bisa mengatasi virus (Covid-19) ini. Kita pada akhirnya akan menggerakkan perekonomian lagi," tambah Biden.
Berbeda dengan DPR AS yang dikuasai Partai Demokrat, Senat AS kini sama kuat. Partai Demokrat dan Partai Republik sama-sama memiliki 50 kursi. Sehingga rancangan undang-undang (RUU) tidak akan lolos dengan mulus.
RUU tersebut diharapkan lolos sebelum 14 Maret, sebelum stimulus fiskal yang ada saat ini berakhir. Lolosnya RUU tersebut akan menjadi kabar bagus, sebab roda perekonomian di AS akan berputar lebih kencang.
Tetapi di sisi lain, pemulihan ekonomi yang lebih cepat tentunya membuat ekspektasi inflasi akan semakin menanjak, dan yield Treasury berpotensi melesat naik lagi. Pasar keuangan global akan kembali dihantui tapering.
"Jika pasar mulai percaya The Fed kehilangan kendali terhadap arah pasar obligasi, semua isu mengenai taper tantrum akan kembali muncul," kata Art Cahshin, direktur operasi di UBS, sebagaimana dilansir CNBC International, Jumat (26/2/2021).
Sentimen negatif lainnya datang dari China dimana aktivitas sektor manufakturnya mengalami pelambatan yang signifikan.
Data dari IHS Markit menunjukkan ekspansi sektor manufaktur China yang dicerminkan oleh Purchasing Managers' Index (PMI) melambat menjadi 50,6, dari sebelumnya 51,3.
PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di bawahnya berarti kontraksi, dan di atas 50 berarti ekspansi.
Pelambatan dan nyaris berkontraksi lagi tentunya memberikan sentimen negatif ke pasar finansial global, apalagi China merupakan negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia.
Selain China, negara-negara Eropa juga akan merilis data PMI Manufaktur, termasuk juga Amerika Serikat.
HALAMAN 4>>>
Sementara itu dari dalam negeri hari ini akan dirilis data aktivitas sektor manufaktur Indonesia, serta data inflasi.
IHS Markit pada awal Februari lalu melaporkan PMI manufaktur periode Januari 2021 berada di 52,2. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 51,3 sekaligus menjadi yang tertinggi dalam 6,5 tahun terakhir.
Yang lebih bagus lagi, ekspansi sektor manufaktur masih terjadi saat ada Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Jawa dan Bali. PPKM tersebut sebelumnya dikhawatirkan membuat ekspansi sektor manufaktur melambat.
"Sektor manufaktur Indonesia masih berada di jalur pemulihan pada awal 2021. Produksi industri dan pesanan baru (new orders) meningkat ke posisi tertinggi. Tren ini akan mendorong kepercayaan diri pelaku usaha," kata Andrew Harker, Economics Director IHS Markit, seperti dikutip dari keterangan tertulis.
Jika ekspansi sektor manufaktur berlanjut di bulan Februari bahkan bisa lebih tinggi lagi tentunya akan memberikan dampak positif di pasar keuangan Indonesia.
Selain itu, Badan Pusat Statistik hari ini akan merilis dirilis data inflasi. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi Februari 2021 adalah 0,08% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/MtM). Sementara dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY) adalah 1,36%.
Jika konsensus tersebut tepat, artinya inflasi di Indonesia akan semakin melambat, sebab di bulan sebelumnya tercatat sebesar 0,26% MtM, dan 1,55% YoY. Melambatnya inflasi berarti daya beli masyarakat yang masih rendah.
Halaman 5>>>
Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini.
- Data Neraca Dagang Korea Selatan (7:00 WIB)
- Data PMI Manufaktur Indonesia (7:30 WIB)
- Data PMI Manufaktur China versi Caixin (8:45 WIB)
- Data PMI Manufaktur Italia (15:45 WIB)
- Data PMI Manufaktur Prancis (15:50 WIB)
- Data PMI Manufaktur Jerman (15:55 WIB)
- Data PMI Manufaktur Zona Euro (16:00 WIB)
- Data PMI Manufaktur Inggris (16:30 WIB)
- Data PMI Manufaktur AS versi ISM (22:00 WIB)
TIM RISET CNBC INDONESIA