
'Hantu' Yield Treasury Gentayangan, Awas Taper Tantrum Muncul

Pasar keuangan Indonesia masih berisiko tertekan di awal perdagangan hari ini, sebab pada perdagangan Jumat bursa saham AS masih merosot, yang artinya sentimen pelaku pasar masih belum membaik. Padahal, yield Treasury sebenarnya menurun saat itu.
Sementara itu, House of Representative (Dewan Perwakilan Rakyat/DPR) AS pada Sabtu (27/2/2021) pagi waktu setempat sudah meloloskan rancangan undang-undang kebijakan fiskal senilai US$ 1,9 triliun, dan kini diserahkan ke Senat AS.
"Kini, rancangan undang-undang sudah diserahkan ke Senat AS, saya berharap mereka akan bertindak cepat. Kita tidak perlu membuang waktu," kata Presiden AS Joseph 'Joe' Biden, sebagaimana dilansir CNBC International, Sabtu (27/2/2021).
"Jika kita bertindak sekarang - tegas, cepat dan berani, kita akhirnya akan bisa mengatasi virus (Covid-19) ini. Kita pada akhirnya akan menggerakkan perekonomian lagi," tambah Biden.
Berbeda dengan DPR AS yang dikuasai Partai Demokrat, Senat AS kini sama kuat. Partai Demokrat dan Partai Republik sama-sama memiliki 50 kursi. Sehingga rancangan undang-undang (RUU) tidak akan lolos dengan mulus.
RUU tersebut diharapkan lolos sebelum 14 Maret, sebelum stimulus fiskal yang ada saat ini berakhir. Lolosnya RUU tersebut akan menjadi kabar bagus, sebab roda perekonomian di AS akan berputar lebih kencang.
Tetapi di sisi lain, pemulihan ekonomi yang lebih cepat tentunya membuat ekspektasi inflasi akan semakin menanjak, dan yield Treasury berpotensi melesat naik lagi. Pasar keuangan global akan kembali dihantui tapering.
"Jika pasar mulai percaya The Fed kehilangan kendali terhadap arah pasar obligasi, semua isu mengenai taper tantrum akan kembali muncul," kata Art Cahshin, direktur operasi di UBS, sebagaimana dilansir CNBC International, Jumat (26/2/2021).
Sentimen negatif lainnya datang dari China dimana aktivitas sektor manufakturnya mengalami pelambatan yang signifikan.
Data dari IHSÂ Markit menunjukkan ekspansi sektor manufaktur China yang dicerminkan oleh Purchasing Managers' Index (PMI) melambat menjadi 50,6, dari sebelumnya 51,3.
PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di bawahnya berarti kontraksi, dan di atas 50 berarti ekspansi.
Pelambatan dan nyaris berkontraksi lagi tentunya memberikan sentimen negatif ke pasar finansial global, apalagi China merupakan negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia.
Selain China, negara-negara Eropa juga akan merilis data PMI Manufaktur, termasuk juga Amerika Serikat.
HALAMAN 4>>>