Ngeri Kejutan Baru The Fed, Wall Street 'Labil bin Galau'

Market - Monica Wareza, CNBC Indonesia
27 February 2021 07:03
FILE -In this June 16, 2020 file photo, a sign for a Wall Street building is shown in New York. Earnings reporting season is about to get underway for big companies, and the forecasts are grim. Wall Street expects S&P 500 companies to report profits plunged by the most since the depths of the Great Recession during the second quarter. Earnings reports tend to matter deeply to investors because stock prices track the path of earnings over the long term.   (AP Photo/Mark Lennihan, File) Foto: Wall Street (AP/Mark Lennihan)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar sahamĀ Amerika Serikat ditutup bervariasi pada akhir perdagangan akhir pekan ini. Investor mulai mengkhawatirkan terjadinya kenaikan suku bunga The Fed seiring dengan inflasi yang makin dalam.

Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup pada level terendahnya setelah memiliki volatilitas tinggi sepanjang perdagangan Jumat (26/2/2021). Sementara S&P 500 berkurang 0,5% karena saham sektor keuangan dan energi yang mengalami pelemahan.

Sedang Nasdaq Composite berakhir 0,6% lebih tinggi. Ini karena adanya rebound dari saham-saham teknologi setelah aksi jual besar-besaran pada saham Facebook, Microsoft dan Amazon.

Namun dalam sepekan terakhir ketiga indeks acuan Wall Street ini membukukan kerugian mingguan karena ketakutan akan suku bunga yang lebih tinggi dan inflasi semakin dalam.

S&P 500 turun 2,5% pekan ini artinya ini minggu negatif kedua berturut-turut. Dow turun 1,8%, dan Nasdaq relatif berkinerja buruk minggu ini, terkoreksi 4,9%.

Pelemahan pasar terjadi makin dalam setelah adanya rilis indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi (personal consumption expenditures/PCE) yang menunjukkan inflasi yang terkendali di bulan Januari. Tercatat indeks PCE ini naik 0,3%, lebih tinggi dari perkiraan di 0,2%, naik 1,5% secara tahunan (year on year/YoY).

Dengan posisi penutupan ini, pasar saham tak berhasil lepas dari adanya ketakutan kemungkinan kenaikan suku bunga akan terjadi. Hal ini berdampak pada turunnya yield Treasury 10 tahun sebesar 1,42% atau 10 bps, setelah naik 1,6% pada hari sebelumnya.

"Terlepas dari sifat sulit diatur dari aksi jual treasury kemarin, selisih kredit tetap terkendali, tetapi jika selisih melebar secara material dan terjadi aksi jual, The Fed, dan pasar, akan benar-benar memiliki sesuatu yang perlu dikhawatirkan," kata Quincy Krosby, Kepala Strategi Pasar Prudential Financial, dilansir dari CNBC International, Sabtu (27/2/2021).

Ekonom dan manajer investasi mengatakan pasar obligasi bereaksi terhadap ekonomi positif karena vaksin diluncurkan dan prakiraan PDB membaik, yang seharusnya mengungkit keuntungan perusahaan. Tapi hal tersebut juga bisa menandakan inflasi yang lebih cepat dari perkiraan.

"Jika pasar mulai percaya bahwa Fed entah bagaimana telah kehilangan kendali atas ke mana arah pasar obligasi, semua gagasan tentang taper tantrum akan muncul," kata Art Cashin, Direktur Operasi UBS.

Laju kenaikan yang pesat juga berdampak pada berkurangnya minat investor terhadap area pasar yang bernilai tinggi. Suku bunga yang lebih tinggi mengurangi nilai arus kas masa depan sehingga dapat memiliki efek menekan penilaian ekuitas.

Investor mengalihkan asetnya kepada aset yang dinilai sebagai 'pembuka perdagangan'. Artinya investor memilih saham-saham yang dinilai mendapatkan dampak positif dari efek vaksinasi.


[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya

Wall Street Pesta Komandan, Vaksin- Stimulus Buat Happy


(sef/sef)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Terpopuler
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading