
Wall Street Bergerak Volatil Sambut Rilis Indeks Konsumsi AS

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham Amerika Serikat (AS) dibuka variatif dengan volatilitas tinggi pada perdagangan Jumat (26/2/2021), setelah indikator inflasi menunjukkan bahwa kenaikan harga masih sangat terjaga.
Indeks harga pengeluaran konsumsi personal (Personal Consumption Expenditure/PCE Index) menguat 0,3% pada Januari, atau hanya sedikit di atas ekspektasi pasar sebesar 0,2%. Secara tahunan indeks tersebut tercatat sebesar 1,5% atau sama dengan estimasi Dow Jones.
Indeks Dow Jones Industrial Average menguat 42,4 poin (+0,1%) pukul 08:30 waktu setempat (21:30 WIB) dan 15 menit kemudian berbalik minus 66,4 poin (-0,21%) ke 31.335,62. Namun, indeks S&P 500 tumbuh 18,1 poin (+0,47%) ke 3.847,48 dan Nasdaq naik 156,3 poin (+1,19%) ke 13.275,73.
Pergerakan ketiganya jatuh-bangun berlawanan arah dengan naik-turunnya imbal hasil obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun yang selama ini menjadi acuan pasar. Kemarin, Dow Jones drop 559 poin, atau -1,8%, S&P 500 turun 2,5% menjadi koreksi harian terburuk sejak 27 Januari, dan Nasdaq drop 3,5% menjadi koreksi harian terburuk sejak 28 Oktober.
Namun setelah pengumuman indeks PCE, yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun berada di level 1,47%, atau tertinggi sejak Februari 2020. Padahal kemarin imbal hasil obligasi tersebut sempat menyentuh angka 1,6% atau tertinggi dalam setahun terakhir.
Sepanjang tahun berjalan, yield obligasi acuan itu telah naik lebih dari 50 basis poin (bp)-setara dengan 0,5%. Kenaikan obligasi 10 tahun ini bakal memicu lonjakan beban bunga kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit pemilikan mobil/motor (KPM) di AS.
Saham Amazon, Facebook, Microsoft dan Apple kompak menguat di kisaran 1%. Kenaikan yield menekan emiten teknologi karena bisnis mereka padat modal sehingga rutin merilis obligasi.
Imbal hasil tinggi juga mendorong investor untuk berpindah dari saham ke obligasi. Sebagai perbandingan imbal hasil dividen (dividen yield) indeks S&P 50-yang premi risikonya lebih tinggi dari obligasi-kini berada di level 1,47% atau kalah dari yield SBN 10 tahun (1,5%).
"Jika melihat yield riil, mereka terlalu rendah jika mempertimbangkan ekspektasi pertumbuhan dan sepertinya yield riil dalam jangka panjang akan terus menguat seiring dengan membaiknya data ekonomi," tutur Charlie Ripley, perencana investasi senior Allianz Investment Management, sebagaimana dikutip CNBC International.
Kenaikan yield itu juga terjadi di tengah ekspektasi bahwa ekonomi AS akan membaik di tengah vaksinasi dan kucuran stimulus fiskal US$ 1,9 triliun. Partai Demokrat sejauh ini berjuang untuk meloloskan stimulus tersebut, yang dibarengi kenaikan upah minimum sebesar US$ 15/pekerja.
Oleh karenanya, investor di bursa pun menjual saham teknologi dan memburu saham siklikal yang diuntungkan pemulihan ekonomi. Saham sektor energi telah menguat 6,8% sepanjang pekan berjalan, diikuti sektor keuangan dan manufaktur.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jelang Rilis Kinerja Nvidia, Nasdaq & S&P500 Tergelincir