Pasar saham Tanah Air ditutup dengan apresiasi minggu lalu. Indeks acuan utama (IHSG) naik 0,49%. Di sepanjang Februari, IHSG sudah naik 2,71%. Dalam 20 tahun terakhir, IHSG berhasil menguat 13 kali di bulan Februari dibanding bulan sebelumnya.
Nilai median penguatan IHSG di bulan Februari adalah 1,1% sejak tahun 2001-2020. Penguatan IHSG sepanjang bulan ini masih ditopang oleh sentimen terkait stimulus. Pemerintah memutuskan untuk memberikan insentif fiskal ke sektor otomotif.
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) dipangkas menjadi nol persen untuk jenis mobil dengan spesifikasi kapasitas di bawah 1.500 cc. Mobil yang kena insentif PPnBM juga harus dibuat di dalam negeri.
Manuver yang dilakukan tidak hanya dari sisi fiskal saja. Pelonggaran moneter pun berlanjut. Bank Indonesia (BI) selaku bank sentral nasional juga kembali memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin.
BI-7 Day Reverse Repo Rate kini berada di 3,5% dan merupakan level terendahnya sejak dijadikan sebagai acuan kebijakan tahun 2016. Secara total BI sudah memangkas suku bunga sebesar 150 bps, sama seperti yang sudah dilakukan bank sentral AS yakni Federal Reserves (The Fed).
Pengawas industri keuangan dalam negeri yakni Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga ikut memberikan pelonggaran. Bobot risik kredit (ATMR) dan kebijakan Loan to Value (LTV) kendaraan bermotor serta kredit perumahan pun diturunkan oleh OJK.
Mulai bulan depan harga kendaraan roda empat bisa dibeli dengan harga murah. Pertama diskon dari PPnBM bisa mencapai 10-30% dan konsumen tak perlu membayar uang muka atau down payment (DP) nol persen.
Sinergi kebijakan makro yang akomodatif ini ditujukan untuk menciptakan permintaan (demand creation) yang selama ini lesu akibat sekaratnya ekonomi global dan domestik di tengah krisis kesehatan yang dipicu oleh pandemi Covid-19.
Saham-saham emiten otomotif dan properti yang sensitif terhadap pergerakan suku bunga sempat menguat minggu lalu. Berbeda dengan saham, rupiah justru mengalami pelemahan.
Di pasar obligasi, surat berharga negara (SBN) berdenominasi rupiah dengan tenor 10 tahun justru harganya melemah. Hal ini tercermin dari imbal hasil instrumen investasi pendapatan tetap tersebut yang justru mengalami kenaikan 5,82%.
Kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah RI juga tak lepas dari naiknya yield obligasi pemerintah AS. Surat utang pemerintah AS bertenor 10 tahun mengalami kenaikan yield sebesar 12% minggu lalu.
Kini yield nominal salah satu aset minim risiko tersebut sudah mendekati 1,5%. Kenaikan yield menjadi ancaman bagi aset-aset berisiko seperti saham. Apalagi saat ini valuasi saham-saham sudah tergolong 'mahal'.
Nilai rasio harga saham terhadap laba atau sering dikenal sebagai forward price to earnings (PER) indeks S&P 500 sudah mencapai 22,2x. Jauh di atas 15,3x rata-rata jangka panjangnya membuat pelaku pasar was-was.
Kenaikan suku bunga di saat valuasi saham yang sedang tinggi-tingginya akan berpotensi menekan harga aset berisiko tersebut. Pasalnya ketika suku bunga rendah, biaya pinjaman serta bunga bagi perusahaan menjadi lebih murah. Valuasi saham menjadi lebih atraktif.
Kenaikan imbal hasil instrumen pendapatan tetap di AS tersebut membuat Wall Street ambles. Indeks S&P 500 terkoreksi 0,71% sepanjang minggu lalu. Namun aset berisiko lain seperti Bitcoin masih mengalami kenaikan. Bahkan nilai kapitalisasi pasar aset digital berupa mata uang kripto tersebut sampai tembus US$ 1 triliun.
Kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS tak terlepas dari prospek perekonomian Paman Sam yang lebih cerah ditopang dengan likuiditas berlimpah dari bank sentral serta perkembangan positif stimulus fiskal senilai US$ 1,9 triliun di bawah kepemimpinan Joe Biden.
Perekonomian yang membaik membuat ekspektasi kenaikan harga (inflasi) meningkat. Ketika ada harapan inflasi naik, maka imbal hasil obligasi juga akan ikut terkerek naik.
Potensi tekanan inflasi memang ada. Namun The Fed kemungkinan masih urung melakukan pengetatan moneter. Hal ini tercermin dari berbagai sinyal yang dikirimkan oleh bos The Fed, Jerome Powell.
Dalam berbagai kesempatan, Powell selalu menegaskan bahwa tapering untuk saat ini adalah sebuah kebijakan yang prematur. Suku bunga juga tidak akan dinaikkan dalam waktu cepat, setidaknya sampai dua tahun mendatang.
The Fed akan membiarkan fenomena overshoot, inflasi yang tinggi untuk beberapa waktu terjadi asalkan secara rata-rata masih di kisaran target 2%.
Hal ini ditempuh oleh bank sentral paling powerful di dunia tersebut untuk menghindari terjadinya gejolak (shock) yang bisa menghambat prospek pemulihan serta untuk mendukung terjapainya dual mandate terutama untuk mewujudkan maximum employment.
Penegasan The Fed setidaknya bisa membuat para pemburu cuan yang agresif dan mengambil banyak risiko sedikit lega. Namun bukan berarti harus terlena karena volatilitas di pasar berpotensi akan meningkat.
Apalagi jika imbal hasil nominal obligasi pemerintah AS naik sampai ke level 1,5%. Analis Nomura mewanti-wanti jika hal tersebut terjadi maka ada peluang harga saham akan terkoreksi sampai 8%.
Selain pergerakan obligasi pemerintah AS yang terus naik dan berpotensi menggerus harga aset-aset berisiko hingga membuat capital outflow dari negara-negara berkembang, investor juga perlu mencermati sejumlah sentimen penggerak pasar lain.
Pertama tentu terkait perkembangan pandemi Covid-19 di seluruh dunia. Mengutip laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), jumlah pasien positif corona di seluruh negara per 19 Februari 2021 adalah 109.997.288 orang. Bertambah 384.448 orang dibandingkan sehari sebelumnya.
Dalam 14 hari terakhir (6-19 Februari 2021), rata-rata penambahan pasien baru tercatat 387.117 orang per hari. Jauh menurun dibandingkan rerata 14 hari sebelumnya yakni 525.082 orang per hari.
Sepertinya vaksin anti-virus corona mulai menunjukkan tajinya. Sejak program vaksinasi dimulai pada akhir 2020, laju penambahan kasus baru semakin melambat.
Menurut catatan Our World in Data, total vaksin yang sudah disuntikkan per 19 Februari 2021 mencapai 200.329.782 dosis. Rata-rata tujuh harian vaksinasi berada di 4.755.183 dosis per hari.
Hanya saja, perkembangan positif pandemi Covid-19 secara global tersebut tidak terjadi secara seragam. Di Indonesia jumlah kasus Covid-19 cenderung menurun. Hanya dalam waktu dua minggu kasus infeksi harian drop lebih dari 30%. Namun hal ini lebih diakibatkan oleh penurunan jumlah tes yang dilakukan.
Tingkat kasus positif Covid-19 di dalam negeri juga masih berada di ambang mengkhawatirkan. Positivity rate Covid-19 secara nasional masih di atas 25%. Jauh dari ambang batas aman versi WHO yang dipatok di 5%.
Selain itu, progress vaksinasi juga berjalan dengan lambat. Sudah satu bulan berlangsung, jumlah dosis vaksin yang telah disuntikkan ke masyarakat baru 1 juta. Padahal angka tersebut adalah target harian pemerintah jika ingin mencapai herd immunity dalam kurun waktu satu tahun.
Di saat upaya vaksinasi masal yang terus digenjot, pemerintah juga memperpanjang periode pembatasan aktivitas. Kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro diperpanjang hingga 8 Maret 2021.
Dalam PPKM tahap I (11-25 Januari 2021), pusat perbelanjaan hanya boleh beroperasi hingga pukul 19:00 WIB. Kemudian diperlonggar dalam PPKM tahap II (26 Januari-8 Februari 2021) menjadi maksimal pukul 20:00 dan di PPKM Mikro dilonggarkan lagi jadi maksimal pukul 21:00 WIB.
Kemudian dalam PPKM tahap I dan II, restoran hanya boleh melayani pengunjung yang makan-minum di tempat maksimal 25% dari kapasitas. Dengan PPKM Mikro, kapasitas maksimal dinaikkan menjadi 50%.
Lalu ada soal kehadiran karyawan perkantoran. PPKM tahap I dan II mensyaratkan karyawan yang bekerja dari rumah (work from home) setidaknya 75%. Dalam PPKM Mikro, dikurangi menjadi 50%. Meski ada pelonggaran, pembatasan tetap pembatasan. Skala ekonomi masih belum optimal, lajunya belum dengan kecepatan penuh.
Adanya banjir di sejumlah wilayah pulau Jawa terutama di kawasan Jabodetabek yang menjadi jantung perekomian juga menjadi risiko lain yang patut diwaspadai.
Selain kerugian ekonomi dan terhambatnya aktivitas masyarakat, banjir juga berpotensi menimbulkan penyakit lain serta peningkatan risiko penularan Covid-19 di berbagai tenda pengungsian.
Pemulihan ekonomi yang berjalan gradual tetapi lambat disertai risiko ketidakpastian yang tinggi membuat BI ikut memangkas prospek pemulihan ekonomi Indonesia untuk tahun ini.
Dalam konferensi pers yang digelar virtual pekan lalu (18/2/2021), Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun ini diperkirakan berada pada kisaran 4,3%-5,3%, lebih rendah dari perkiraan sebelumnya pada kisaran 4,8%-5,8%.
Walaupun IHSG masih mampu menguat, tetapi data perdagangan menunjukkan bahwa transaksi justru semakin sepi. Rata-rata transaksi saham di bursa semakin mendekati Rp 10 triliun. Padahal di akhir Januari dan awal Februari lalu transaksinya mencapai Rp 20 triliun.
Investor asing juga mulai melepas kepemilikan saham. Minggu lalu saja asing sudah mencatatkan aksi jual bersih di pasar reguler sebesar Rp 566 miliar. Namun masih ada beberapa saham yang menjadi buruan asing. Salah satunya adalah bank pelat merah BUKU IV PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI).
Sejak rencana akuisisi PT Pegadaian dan PT PNM dipublikasikan, saham BBRI terus dikoleksi asing. Harga sahamnya pun mengalami kenaikan sebesar 2,35% dalam seminggu terakhir. Asing mencatatkan aksi beli bersih saham BBRI hampir senilai Rp 500 miliar.
Masih terkait saham-saham di sektor perbankan. Investor juga perlu mencermati pergerakan harga saham bank-bank mini. Ketentuan OJK untuk terus memperkuat permodalan perbankan membuat bank terus berupaya mencari investor untuk menyuntikkan modal.
Beberapa saham yang menjadi sorotan investor adalah PT Bank Bumi Artha Tbk (BNBA). Desas-desus yang beredar, bank BUKU II ini dilirik oleh SEA Group yang menjadi induk perusahaan Shopee untuk dijadikan bank digital.
Saham BNBA sudah melesat ratusan persen dalam satu bulan terakhir. Sempat disuspensi oleh otoritas bursa, saham ini masih saja terus menguat. Minggu ini tepatnya pada hari Selasa (23/2/2021) perusahaan akan menggelar public expose insidentil.
Tentu saja apa yang akan dibahas di acara paparan publik secara virtual tersebut menarik untuk dicermati mengingat sebelumnya pihak perusahaan menjelaskan bahwa pihaknya baru mengetahui rumor yang beredar di kalangan pelaku pasar.
Saham-saham lain yang juga patut dicermati adalah saham di sektor otomotif dan properti setelah Pemerintah, BI dan OJK memberikan stimulus dan pelonggaran. Terakhir ada duo saham yang sektor konsumen yang mengalami tekanan minggu lalu.
Apalagi kalau bukan PT Indofoof Sukses Makmur Tbk (INDF) dan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP). Nilai kapitalisasi pasar dua perusahaan yang dikuasai oleh Group Salim tersebut turun lebih dari 3% setelah beberapa produk jajanan populernya seperti Lays dan Cheetos dikabarkan tak akan lagi berproduksi.
Investor perlu mencermati apakah kedua saham tersebut masih akan tertekan hari ini. Namun adanya koreksi lanjutan di saham tersebut juga membuka menciptakan momentum untuk beli mengingat valuasi yang sudah tergolong murah dan harga saham yang sudah tertekan lebih dari 10% di sepanjang tahun ini.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Rilis data distribusi motor Indonesia bulan Januari 2021 (17.00 WIB)
- Rilis laporan bulanan Bundesbank Jerman (18.00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIM RISET CNBC INDONESIA