Newsletter

Ada yang Ramal Pasar Saham Ambruk 8%, Penyebabnya Ini!

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
22 February 2021 06:21
Emiten Wall Street. AP
Foto: Emiten Wall Street. AP

Kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah RI juga tak lepas dari naiknya yield obligasi pemerintah AS. Surat utang pemerintah AS bertenor 10 tahun mengalami kenaikan yield sebesar 12% minggu lalu. 

Kini yield nominal salah satu aset minim risiko tersebut sudah mendekati 1,5%. Kenaikan yield menjadi ancaman bagi aset-aset berisiko seperti saham. Apalagi saat ini valuasi saham-saham sudah tergolong 'mahal'.

Nilai rasio harga saham terhadap laba atau sering dikenal sebagai forward price to earnings (PER) indeks S&P 500 sudah mencapai 22,2x. Jauh di atas 15,3x rata-rata jangka panjangnya membuat pelaku pasar was-was. 

Kenaikan suku bunga di saat valuasi saham yang sedang tinggi-tingginya akan berpotensi menekan harga aset berisiko tersebut. Pasalnya ketika suku bunga rendah, biaya pinjaman serta bunga bagi perusahaan menjadi lebih murah. Valuasi saham menjadi lebih atraktif. 

Kenaikan imbal hasil instrumen pendapatan tetap di AS tersebut membuat Wall Street ambles. Indeks S&P 500 terkoreksi 0,71% sepanjang minggu lalu. Namun aset berisiko lain seperti Bitcoin masih mengalami kenaikan. Bahkan nilai kapitalisasi pasar aset digital berupa mata uang kripto tersebut sampai tembus US$ 1 triliun.

Kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS tak terlepas dari prospek perekonomian Paman Sam yang lebih cerah ditopang dengan likuiditas berlimpah dari bank sentral serta perkembangan positif stimulus fiskal senilai US$ 1,9 triliun di bawah kepemimpinan Joe Biden. 

Perekonomian yang membaik membuat ekspektasi kenaikan harga (inflasi) meningkat. Ketika ada harapan inflasi naik, maka imbal hasil obligasi juga akan ikut terkerek naik. 

Potensi tekanan inflasi memang ada. Namun The Fed kemungkinan masih urung melakukan pengetatan moneter. Hal ini tercermin dari berbagai sinyal yang dikirimkan oleh bos The Fed, Jerome Powell.

Dalam berbagai kesempatan, Powell selalu menegaskan bahwa tapering untuk saat ini adalah sebuah kebijakan yang prematur. Suku bunga juga tidak akan dinaikkan dalam waktu cepat, setidaknya sampai dua tahun mendatang.

The Fed akan membiarkan fenomena overshoot, inflasi yang tinggi untuk beberapa waktu terjadi asalkan secara rata-rata masih di kisaran target 2%.

Hal ini ditempuh oleh bank sentral paling powerful di dunia tersebut untuk menghindari terjadinya gejolak (shock) yang bisa menghambat prospek pemulihan serta untuk mendukung terjapainya dual mandate terutama untuk mewujudkan maximum employment.

Penegasan The Fed setidaknya bisa membuat para pemburu cuan yang agresif dan mengambil banyak risiko sedikit lega. Namun bukan berarti harus terlena karena volatilitas di pasar berpotensi akan meningkat. 

Apalagi jika imbal hasil nominal obligasi pemerintah AS naik sampai ke level 1,5%. Analis Nomura mewanti-wanti jika hal tersebut terjadi maka ada peluang harga saham akan terkoreksi sampai 8%.

(twg/twg)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular