Newsletter

Mau Ekonomi RI 'Lari' Lagi? Vaksinasi Dikebut Dong!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
11 February 2021 06:00
Petugas menyuntikkan vaksin COVID-19 produksi Sinovac kepada tenaga kesehatan berusia lanjut saat kegiatan vaksinasi massal dosis pertama di Puskesmas Kecamatan Kramat Jati, Jakarta, Senin (8/2/2021). Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memulai vaksinasi tenaga kesehatan di atas 60 tahun setelah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengeluarkan izin penggunaan vaksin tersebut untuk lansia. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Petugas menyuntikkan vaksin COVID-19 produksi Sinovac kepada tenaga kesehatan berusia lanjut saat kegiatan vaksinasi massal dosis pertama di Puskesmas Kecamatan Kramat Jati, Jakarta, Senin (8/2/2021). Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memulai vaksinasi tenaga kesehatan di atas 60 tahun setelah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengeluarkan izin penggunaan vaksin tersebut untuk lansia. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Hari ini menjadi sesi perdagangan terakhir di pasar keuangan Indonesia untuk pekan ini. Besok pasar tutup karena libur peringatan Tahun Baru Imlek. Apa saja yang perlu disimak untuk perdagangan jelang long weekend ini?

Kita tinjau dulu apa yang terjadi kemarin. Pada perdagangan kemarin, pasar keuangan Indonesia kompak menguat.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup naik 0,33% ke 6.201,83. Investor asing membukukan beli bersih Rp 238,2 miliar di pasar reguler.

Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat 0,07% di perdagangan pasar spot. Rupiah berada di posisi terkuat sejak 21 Januari 2021.

Investor sedang larut dalam euforia karena berbagai sentimen positif yang menaungi pasar keuangan global. Pertama adalah stimulus fiskal di AS yang sepertinya akan bergulir dalam waktu dekat.

Pemerintahan Presiden Joseph 'Joe' Biden berencana menggelontorkan stimulus bernilai US$ 1,9 triliun atau sekira Rp 26.579,1 triliun. Sebagai perbandingan, ukuran ekonomi Indonesia pada 2020 adalah Rp 15.434,2 triliun. Stimulus fiskal di Negeri Paman Sam jauh lebih banyak ketimbang Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Stimulus diharapkan mampu mendongkrak permintaan di AS, baik dari dunia usaha maupun rumah tangga. Peningkatan permintaan di AS adalah berkah bagi dunia, karena Negeri Adidaya adalah konsumen terbesar di planet bumi. Kinerja ekspor berbagai negara akan terkerek, termasuk Indonesia.

Kedua adalah pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) yang agak mereda. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan, jumlah pasien positif corona di seluruh negara per 10 Februari 2021 adalah 106.555.206 orang. Masih bertambah 334.648 orang dari hari sebelumnya.

Namun laju kenaikan kasus melandai. Dalam 14 hari terakhir (29 Januari-10 Februari 2021), rata-rata pasien positif bertambah 471.739 orang per hari. Jauh lebih sedikit ketimbang rerata 14 hari sebelumnya yaitu 619.844 orang per hari.

Pengetatan pembatasan sosial (social distancing) plus program vaksinasi yang sudah berlangsung di berbagai negara sepertinya mulai menunjukkan hasil positif. Jika kasus corona bisa terus diredam, maka 'keran; aktivitas dan mobilitas penduduk bisa kembali dibuka dalam waktu dekat. Harapan akan hidup normal kembali terbuka, ekonomi bisa 'berlari' lagi setelah setahun ini seakan mati suri.

Halaman Selanjutnya --> Habis Rekor, Wall Street Masih Tekor

Akan tetapi, bursa saham New York malah cenderung melemah. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) memang masih bisa menguat 0,2%, tetapi S&P 500 dan Nasdaq Composite turun tipis masing-masing 0,03% dan 0,25%.

Sepertinya investor masih mengambil napas. Kemarin, Wall Street cenderung merah karena sebelumnya terjadi reli enam hari berturut-turut yang membuat pelaku pasar tergerak untuk mencaitkan keuntungan. Hari ini pun sepertinya kejadian serupa kembali terulang.

"Valuasi pasar sudah naik tinggi. Mungkin kita sudah masuk fase jenuh beli," ujar Dennis Dick, Trader di Bright Trading LLC yang berbasis di Las Vegas (AS), seperti dikutip dari Reuters.

Namun prospek pasar saham (dan aset berisiko lainnya) masih cerah. Penyebabnya adalah tren kebijakan moneter ultra-longgar yang sepertinya masih akan dilakukan oleh bank sentral. Dalam pidato di Economic Club of New York, Ketua Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) Jerome 'Jay' Powell menegaskan bahwa butuh komitmen bersama untuk mewujudkan penciptaan lapangan kerja yang maksimal (maximum employment).

"Dengan begitu banyaknya orang yang kehilangan pekerjaan dan mungkin masih akan sulit mendapat pekerjaan selepas pandemi, mencapai maximum employment tidak hanya membutuhkan dukungan kebijakan moneter. Diperlukan komitmen nasional, dengan kontribusi dari pemerintah dan sektor swasta," tegas Powell, sebagaimana diwartakan Reuters.

Pernyataan Powell menyiratkan bahwa kebijakan moneter akomodatif sepertinya masih akan bertahan dalam waktu lama, sampai pasar tenaga kerja pulih. Saat ini lapangan kerja di Negeri Adikuasa masih sembilan juta lebih sedikit ketimbang tahun lalu.

Artinya, The Fed masih akan mempertahankan suku bunga ultra-rendah plus pembelian aset di pasat keuangan (quantitative easing) yang bernilai puluhan miliar dolar AS setiap bulannya. Likuiditas tetap akan longgar dan berlimpah, bekal untuk melanjutkan reli di pasar keuangan.

"Sentimen di pasar keuangan sangat positif. Pasar diuntungkan oleh tren suku bunga rendah dan suntikan likuiditas dari bank sentral," kata Dara White, Global Head of Emerging Markets Equity di Columbia Threadneedle Investment, seperti dikutip dari Reuters.

Halaman Selanjutnya --> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (1)

Untuk perdagangan hari ini, investor patut memonitor sejumlah sentimen yang bisa menggerakkan pasar. Pertama tentu perkembangan di Wall Street. Aksi ambil untung (profit taking) di New York bisa membuat investor di pasar keuangan Asia melakukan hal yang sama. Tentu bukan kabar baik bagi IHSG dkk.

Sentimen kedua adalah dari pasar komoditas, utamanya minyak. Harga si emas hitam belum bosan menanjak. Pada pukul 03:24 WIB, harga minyak jenis brent naik 0,62% dan light sweet bertambah 0,43%.

Harga minyak sudah menjalani reli sembilan hari tanpa terputus. Ini adalah reli terpanjang dalam dua tahun terakhir.

Hari ini, kenaikan harga minyak dipicu oleh penurunan stok di AS. US Energy Information Administration mencatat stok minyak Negeri Adikuasa pada pekan yang berakhir 5 Februari 2021 anjlok 6,6 juta barel. Sesuatu yang sangat tidak disangka, karena konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan ada kenaikan 985.000 barel.

"Level harga minyak saat ini sudah cukup sehat. Kenaikan harga disebabkan oleh penurunan pasokan, sementara kenaikan permintaan masih perlu pembuktian," ujar Bjornar Tonhaugen, Analis di Rystad Energy, seperti dikutip dari Reuters.

Kenaikan harga minyak menunjukkan optimisme di pasar. Optimisme ini bisa menular ke pasar keuangan sehingga menjadi modal kuat untuk melanjutkan penguatan.

Sentimen ketiga adalah perkembangan nilai tukar dolar AS. Sepertinya mata uang ini masih melanjutkan tren depresiasi.

Pada pukul 03:33 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) terkoreksi 0,06%. Dalam sepekan terakhir, indeks ini terpangkas nyaris 1%.

Pelemahan dolar AS terjadi akibat penyataan Powell yang sudah disinggung sebelumnya. Kode keras bahwa The Fed akan fokus pada penciptaan lapangan kerja membuat dolar AS 'tenggelam'.

Apalagi inflasi di AS masih 'jinak'. Pada Januari 2021, inflasi tercatat 0,3% secara bulanan (month-to-month/MtM) dan 1,4% secara tahunan (year-on-year/YoY). Masih cukup jauh dari target The Fed yaitu 2%.

"Seiirng dengan mulai dibukanya aktivitas ekonomi, konsumsi masyarakat meningkat. Akan ada tekanan harga, walau perkiraan saya belum akan besar," kata Powell.

Inflasi yang rendah, plus kebutuhan untuk mencapai maximum employment, semakin mempertegas bahwa tren suku bunga mendekati 0% masih akan bertahan dalam waktu yang tida sebentar. Dotplot teranyar dari The Fed memperkirakan suku bunga acuan kemungkinan baru naik pada 2023, atau mungkin lebih lama.

fedSumber: FOMC

Suku bunga rendah berarti imbalan investasi di AS juga ikut rendah. Padahal likuiditas sedang membludak karena The Fed masih menggelontorkan stimulus moneter, ditambah bakal ada stimulus fiskal dari pemerintahan Biden.

Investor tentu ingin uang ini 'beranak' dan pasar AS tidak bisa menjanjikan itu. Akibatnya, arus modal akan terus mengalir ke pasar yang memberi iming-iming cuan gede.

Pasar negara berkembang adalah 'tanah harapan' itu. Saat ini selisih imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS dan Indonesia untuk tenor 10 tahun mencapai 501,77 basis poin (bps), tertinggi sejak 1 Februari 2021. Sangat menarik bukan?

Janji keuntungan besar yang ditawarkan pasar keuangan Indonesia akan membuat arus modal asing masih akan berdatangan. Oleh karena itu, yakinlah bahwa ruang penguatan rupiah terbuka lebar.

Halaman Selanjutnya --> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (2)

Sentimen ketiga adalah perkembangan pandemi virus corona. Seperti yang juga sudah disinggung, laju penambahan pasien baru melambat.

Penyebabnya bisa dua, pengetatan social distancing atau vaksinasi. Mengutip catatan Our World in Data, vaksinasi anti-virus corona di seluruh negara per 9 Februari 2021 sudah mencapai 147.198.987 dosis. Rata-rata tujuh harian vaksinasi ada di 6.028.546 dosis per hari.

Perkembangan ini sudah menggembirakan, tetapi bisa lebih baik lagi. Pasalnya, di beberapa negara laju vaksinasi masih lambat.

MIsalnya di Indonesia. Per 9 Februari 2021, total vaksin yang sudah disuntikkan ke rakyat NKRI adalah 1.066.860 dosis. Rata-rata tujuh harian ada di 59.800 dosis per hari.

Menurut klasifikasi Bank Dunia, Indonesa sudah masuk negara berpendapatan menengah-atas. Namun untuk urusan vaksinasi, Indonesia kalah dari India yang merupakan negara berpendapatan menengah-bawah.

Per 9 Februari 2021, total vaksin yang sudah diberikan kepada rakyat India mencapai 6.611.561 dosis. Rata-rata tujuh harian adalah 353.235 dosis per hari.

Vaksin adalah kunci untuk memutus mata rantai penyebaran virus corona. Semakin banyak warga yang punya kekebalan menghadai virus coorna, maka akan tercipta kekebalan kolektif (herd immunity) sehingga tidak ada lagi kekhawatiran dalam beraktivitas di luar rumah. Roda ekonomi bisa berputar kembali.

Pemerintah Indonesia harus memeras tenaga, pikiran, dan sumber daya lebih keras lagi. Sebab semakin lama Indonesia belum membentuk herd immunity, semakin lama pula penderitaan sosial-ekonomi akibat pandemi akan dirasakan oleh rakyat.

Halaman Selanjutnya --> Simak Agenda dan Rilis Data Hari Ini

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  1. Rilis data ekspektasi inflasi Australia periode Februari 2021 (07:00 WIB).
  2. Webinar sosialisasi kebijakan mineral dan batu bara Indonesia I09:00 WIB).
  3. CNBC Indonesia Banking Outlook 2021 (12:00 WIB).
  4. Rilis data laporan bulanan International Energy Agency (16:00 WIB).
  5. Rilis data klaim tunjangan pengangguran AS periode pekan yang berakhir 6 Februari 2021 (20:30 WIB).
  6. Rilis data laporan bulanan OPEC (tentatif).

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Untuk mendapatkan informasi seputar data pasar, silakan klik di sini.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(aji/aji) Next Article Corona Makin Gawat, China & Negara Barat Malah Main 'Silat'

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular