Harga Minyak Melonjak, Begini Dampaknya ke Pertamina

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
10 February 2021 16:03
PHE WMO operasikan kembali anjungan PHE 12. (Dok. Pertamina Hulu Energi)
Foto: PHE WMO operasikan kembali anjungan PHE 12. (Dok. Pertamina Hulu Energi)

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah dunia kini telah melewati US$ 60 per barel. Pada perdagangan Rabu (10/02/2021) pukul 10.25 WIB, harga kontrak Brent mencapai US$ 60,96 per barel, sementara harga kontrak West Texas Intermediate (WTI) US$ 58,17 per barel.

Sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan perusahaan yang akan menguasai 70% produksi minyak nasional pada tahun ini, PT Pertamina (Persero) menjadi andalan negara untuk meningkatkan produksi dan juga investasi di sektor hulu migas ini.

Whisnu Bahriansyah, Corporate Secretary PT Pertamina Hulu Energi, Subholding Upstream Pertamina, mengatakan peningkatan harga minyak ini tentunya akan memberikan dampak positif terhadap proyek Subholding Upstream Pertamina.

Pasalnya, kinerja sektor hulu migas bergantung pada dua faktor eksternal, yakni harga minyak dan permintaan minyak. Dalam asumsi dasar ekonomi makro Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021, harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ ICP) rata-rata pada 2021 ditargetkan sebesar US$ 45 per barel. Adapun realisasi rata-rata ICP pada 2020 mencapai US$ 40 per barel.

"Harga minyak yang cenderung bullish (menguat) dari target APBN 2021 akan memberi dampak positif terhadap proyek di Subholding Upstream Pertamina," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Rabu (10/02/2021).

Namun demikian, lanjutnya, perseroan akan mengevaluasi stabilitas dari fluktuasi harga minyak.

"Pertamina akan mengevaluasi stabilitas dari fluktuasi harga minyak tersebut terhadap peluang penambahan rencana kerja," ujarnya.

Berdasarkan data Pertamina, perseroan mengalami penurunan produksi minyak dan gas bumi sebesar 3% menjadi 863 ribu barel setara minyak per hari (boepd) dari Revisi Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) 2020 sebesar 894 ribu boepd atau turun 4,2% dari realisasi 2019 yang mencapai 901 ribu boepd.

Sementara produksi minyak dan gas bumi terangkut (lifting) turun menjadi 704 ribu barel setara minyak per hari (boepd) dari 730 ribu boedp pada Revisi RKAP 2020 atau turun 4% dibandingkan lifting migas pada 2019 yang sebesar 734 ribu boepd.

Adapun harga minyak rata-rata (ICP) pada 2020 mencapai US$ 40 per barel, sesuai dengan Revisi RKAP 2020, namun lebih rendah dari 2019 yang mencapai US$ 62 per barel.

Sebelumnya, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan perusahaan menargetkan laba bersih pada tahun ini bisa mencapai dua kali lipat dibandingkan tahun lalu, yakni mencapai US$ 2 miliar pada 2021 dari US$ 1 miliar atau sekitar Rp 14 triliun (asumsi kurs Rp 14.000 per US$) pada 2020.

Nicke menyebut sejumlah faktor pendorong target laba perseroan pada 2021 ini, salah satunya yaitu peningkatan penjualan sebesar 12% dibandingkan 2020. Selain itu, optimisme Pertamina ini juga didukung dengan proyeksi tren harga minyak yang akan naik dibandingkan 2020.

"Penjualan ditargetkan naik 12% dari tahun 2020. Harga minyak pun trennya naik dibanding tahun 2020. Dengan demikian, laba bersih ditargetkan US$ 2 miliar," kata Nicke kepada wartawan melalui pesan singkat, Kamis (04/02/2021).

Nicke pun mengaku optimis bakal ada peningkatan kinerja pada tahun ini. Dia menjabarkan bahwa Pertamina telah menggenjot hulu migas pada 2020 dan berlanjut ke 2021.

"Dari sisi hulu, baik 2020 dan 2021 Pertamina tetap menggenjot hulu migas karena masih impor dan produksi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan. Kita akan tingkatkan produksi migas. Pada 2020 di saat pandemi, produksi migas Pertamina hampir mencapai target dan tahun ini akan kami tingkatkan, dengan kontribusi mencapai 60% dari produksi nasional," jelas Nicke kepada CNBC Indonesia, Kamis (4/2/2021).


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Harga Minyak Tembus US$ 60/Barel Bisa Dorong Investasi Migas

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular