Newsletter

Mau Ekonomi RI 'Lari' Lagi? Vaksinasi Dikebut Dong!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
11 February 2021 06:00
Ilustrasii Dollar AS (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Ilustrasi Dollar AS (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Untuk perdagangan hari ini, investor patut memonitor sejumlah sentimen yang bisa menggerakkan pasar. Pertama tentu perkembangan di Wall Street. Aksi ambil untung (profit taking) di New York bisa membuat investor di pasar keuangan Asia melakukan hal yang sama. Tentu bukan kabar baik bagi IHSG dkk.

Sentimen kedua adalah dari pasar komoditas, utamanya minyak. Harga si emas hitam belum bosan menanjak. Pada pukul 03:24 WIB, harga minyak jenis brent naik 0,62% dan light sweet bertambah 0,43%.

Harga minyak sudah menjalani reli sembilan hari tanpa terputus. Ini adalah reli terpanjang dalam dua tahun terakhir.

Hari ini, kenaikan harga minyak dipicu oleh penurunan stok di AS. US Energy Information Administration mencatat stok minyak Negeri Adikuasa pada pekan yang berakhir 5 Februari 2021 anjlok 6,6 juta barel. Sesuatu yang sangat tidak disangka, karena konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan ada kenaikan 985.000 barel.

"Level harga minyak saat ini sudah cukup sehat. Kenaikan harga disebabkan oleh penurunan pasokan, sementara kenaikan permintaan masih perlu pembuktian," ujar Bjornar Tonhaugen, Analis di Rystad Energy, seperti dikutip dari Reuters.

Kenaikan harga minyak menunjukkan optimisme di pasar. Optimisme ini bisa menular ke pasar keuangan sehingga menjadi modal kuat untuk melanjutkan penguatan.

Sentimen ketiga adalah perkembangan nilai tukar dolar AS. Sepertinya mata uang ini masih melanjutkan tren depresiasi.

Pada pukul 03:33 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) terkoreksi 0,06%. Dalam sepekan terakhir, indeks ini terpangkas nyaris 1%.

Pelemahan dolar AS terjadi akibat penyataan Powell yang sudah disinggung sebelumnya. Kode keras bahwa The Fed akan fokus pada penciptaan lapangan kerja membuat dolar AS 'tenggelam'.

Apalagi inflasi di AS masih 'jinak'. Pada Januari 2021, inflasi tercatat 0,3% secara bulanan (month-to-month/MtM) dan 1,4% secara tahunan (year-on-year/YoY). Masih cukup jauh dari target The Fed yaitu 2%.

"Seiirng dengan mulai dibukanya aktivitas ekonomi, konsumsi masyarakat meningkat. Akan ada tekanan harga, walau perkiraan saya belum akan besar," kata Powell.

Inflasi yang rendah, plus kebutuhan untuk mencapai maximum employment, semakin mempertegas bahwa tren suku bunga mendekati 0% masih akan bertahan dalam waktu yang tida sebentar. Dotplot teranyar dari The Fed memperkirakan suku bunga acuan kemungkinan baru naik pada 2023, atau mungkin lebih lama.

fedSumber: FOMC

Suku bunga rendah berarti imbalan investasi di AS juga ikut rendah. Padahal likuiditas sedang membludak karena The Fed masih menggelontorkan stimulus moneter, ditambah bakal ada stimulus fiskal dari pemerintahan Biden.

Investor tentu ingin uang ini 'beranak' dan pasar AS tidak bisa menjanjikan itu. Akibatnya, arus modal akan terus mengalir ke pasar yang memberi iming-iming cuan gede.

Pasar negara berkembang adalah 'tanah harapan' itu. Saat ini selisih imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS dan Indonesia untuk tenor 10 tahun mencapai 501,77 basis poin (bps), tertinggi sejak 1 Februari 2021. Sangat menarik bukan?

Janji keuntungan besar yang ditawarkan pasar keuangan Indonesia akan membuat arus modal asing masih akan berdatangan. Oleh karena itu, yakinlah bahwa ruang penguatan rupiah terbuka lebar.

Halaman Selanjutnya --> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (2)

(aji/aji)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular