Newsletter

Musim Hujan Sudah Biasa, Tapi Musim ARB? Luar Biasa!

Putra, CNBC Indonesia
27 January 2021 06:12
Ilustrasi IHSG (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Foto: Ilustrasi IHSG (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan Selasa(26/1/21) ditutup anjlok parah 1,89% ke level 6.140,17.

Data perdagangan mencatat, investor asing melakukan aksi beli bersih sebanyak Rp 249 miliar di pasar reguler hari ini dengan nilai transaksi hari ini menyentuh Rp17,6triliun. Terpantau 94 saham terapresiasi, 395 terkoreksi, sisanya 138 stagnan.

Sentimen datang dari luar negeri. Presiden AS Joe Biden diekspektasikan akan meneken kebijakan perdagangan 'beli barang Amerika' yang disinyalir oleh pasar bahwa sang presiden akan tetap garang terhadap China, mirip dengan yang dilakukan oleh pendahulunya, Donald Trump.

Menurut Wall Street Journal, kebijakan ini akan menyebabkan para lembaga federal semakin sulit untuk membeli barang-barang impor serta merubah definisi produk lokal Amerika, dimana barang mentah yang diperlukan hingga menjadi produk jadi harus berasal dari produk lokal lebih tinggi presentasenya dari sebelumnya.

Dengan tidak akurnya kedua negara dengan ekonomi terbesar di dunia tentu saja perekonomian global akan semakin lamban pulih pasca diserang pandemi. Apalagi pasar tentunya tidak ingin kembali melihat perang dagang berjilid-jilid antar kedua negara. Hal ini tentunya akan mengirim sinyal kurang baik ke bursa saham di seluruh belahan dunia.

Dari rilis data ekonomi, Korea Selatan baru saja mengumumkan pembacaan awal Produk Domestik Bruto kuartal keempatnya.

Negara Ginseng ini masih belum akan keluar dari jurang resesi karena GDP secara tahunan (YoY) masih akan terkontraksi 1%, pembacaan ini lebih baik ketimbang konsensus di angka 1,7%. Kontraksi kuartal keempat ini sendiri melanjutkan kontraksi pada kuartal kedua (-2.7%) dan kuartal ketiga (-1.1%).

Sementara itu, nilai tukar rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa (26/1/2021). Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,07% ke Rp 14.020/US$, setelahnya rupiah merosot hingga 0,43% ke Rp 14.070/US$.

Pelemahan rupiah terpangkas dan di akhir perdagangan berada di level Rp 14.040/US$, melemah 0,21% di pasarspot.

Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang akan mengumumkan kebijakan moneter di pekan ini menjadi pemicu kuatnya dolar AS. Pengumuman tersebut sangat dinanti pelaku pasar, sebab saat ini beredar "bisik-bisik" di pasar jika di akhir tahun ini ada kemungkinan The Fed akan mengurangi nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) yang saat ini nilainya sekitar US$ 120 miliar per bulan.

Selanjutnya, harga obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) pada perdagangan Selasa (26/1/21) ditutup beragam, di tengah minimnya sentimen positif yang hadir di pasar. Tercatat yield SBN seri FR0082 berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan acuanyieldobligasi negara turun 0,7 bps ke level 6,319% hari ini.

Bursa saham Amerika Serikat (AS) ditutup melemah cenderung stagnan pada perdagangan Selasa (26/1/2021), menyambut musim rilis laporan keuangan emiten AS yang menjanjikan sentimen positif.

Hari ini, beberapa emiten besar yang akan merilis laporan keuangan di antaranya adalah General Electric (GE), Verizon dan Johnson & Johnson (J&J) merilis kinerjanya sebelum pembukaan pasar, sementara Microsoft akan merilis kinerja kuartal IV-2020 setelah penutupan pasar.

Data Refinitiv mencatat dari 84 perusahaan anggota konstituen S&P 500 yang merilis laporan keuanganya sejak Selasa pagi, 86,9% berhasil merilis kinerja yang lebih baik daripada perkiraan analis.

Dengan S&P 500 yang diperdagangkan senilai lebih dari 22 kali proyeksi pendapatan ke depan tahunan, ketakutan akan bubble saham di wall street menyebabkan para pelaku pasar takut akan datangnya koreksi parah sehingga para investor sangat memantau rilis laporan keuangan untuk menjustifikasi valuasi yang mahal.

Kepala Perencana Pasar dan Derivatif BTIG Julian Emanuel mengatakan pasar menguat dalam beberapa pekan terakhir, sehingga membuat kinerja positif fundamental tidak lagi cukup untuk mengejar dan mendongkrak lagi valuasi sahamnya di pasar.

"Ini serupa jebakan yang bisa berujung pada kekecewaan," tutur Emanuel, mengacu pada sulitnya beberapa saham untuk menguat meski telah melaporkan kinerja keuangan yang lebih baik dari perkiraan pasar.

Dari sisi sentimen Covid-19, kabar positif muncul setelah pabrikan obat asal Amerika Serikat (AS) Moderna menyatakan bahwa mereka menyiapkan dosis penguat (booster) vaksin untuk mengatasi varian baru virus Covid-19 di Afrika Selatan dan Inggris yang lebih mudah menular.

Pejabat pemerintah Minnesota melaporkan kasus pertama virus Covid-19 yang memiliki strain seperti varian virus di Brazil. Menurut data Worldometers, AS melaporkan 25,8 juta kasus Covid-19, yang menelan korban jiwa 431.392 orang dan 15,6 juta lainnya sembuh.

Kemarin, indeks Dow Jones Industrial Average turun 0,1% sementara S&P 500 mencetak rekor baru dengan reli 1%. Nasdaq juga mencetak rekor tertinggi baru setelah naik 0,7%. Aksi short selling mewarnai perdagangan di tengah kekhawatiran soal valuasi bursa yang terlalu tinggi.

Investor hari ini juga memantau pernyataan pejabat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang akan memulai rapat dewan gubernur hari ini. Rapat akan berlangsung selama 2 hari dan diikuti pengumuman suku bunga acuan pada Rabu waktu setempat.

Ditutupnya Wall Street di zona hijau merah meski tipis tentu saja bisa menjadi sentimen negatif tersendiri bagi Bursa Asia. Depresiasi bursa Paman Sam bisa menyeberang benua dan menjadi penyebar ketakutan di pasar dimana bisa saja menyebabkan indeks acuan kalah sebelum bertanding.

Di AS sendiri dengan adanya rumor mengenai paket stimulus yang sudah disetujui bulan lalu menunjukkan adanya tanda-tanda positif dimana stimulus ini sukses mengangkat tingkat kepercayaan konsumsi.

Indeks kepercayaan konsumen melesat ke level 89,3 di bulan Januari dari posisi di bulan Desember yang hanya berada di angka 87,1. Rilis ini sendiri lebih baik ketimbang konsensus yang memprediksikan IKK hanya berada di angka 89.

Fokus investor juga mengalihkan perhatianya ke kebijakan moneter dimana rapat Bank Sentral AS yang sedang berlangsung diprediksikan tidak akan mengubah banyak kebijakanya terutama suku bunga yang diprediksi tetap akan rendah dan pembelian kembali obligasi yang tetap akan kencang untuk menyuplai likuiditas ke pasar.

The Fed yang diprediksikan akan menahan suku bunga rendah hingga tahun 2023 dan sudah berkali-kali menyatakan belum akan mengurangi pembelian obligasinya meskipun nantinya setelah pandemi berakhir akan muncul permintaan yang tertahan (pent-up demand) akan menyebabkan inflasi yang tinggi.

Dari dalam negeri kondisi kepanikan bursa efek sendiri masih terjadi di mana akhir-akhir ini banyak saham dengan nilai perdagangan tinggi yang anjlok ke level terendahnya yang diijinkan oleh bursa alias auto rejection bawah (ARB).

Tengok saja pada perdagangan kemarin tercatat 83 emiten terkoreksi di level ARB atau mendekati ARB dengan koreksi lebih dari 6%.

Hal ini terjadi pertama tentunya akibat aturan ARB asimetris yang diterapkan oleh bursa, di mana batasan kenaikan maksimal (ARA) bisa mencapai 35% namun koreksi hanya dibatasi 7% sehingga apabila saham sudah melesat kencang maka akan terkoreksi di level ARB selama berberapa hari.

Selain itu tentu saja faktor psikologis juga memicu aksi jual trader dimana jika saham sudah anjlok 5%-6% para trader buru-buru melakukan aksi jual di level ARB agar dana tidak menyangkut. Apalagi jika suatu saham ARB maka potensi koreksi di keesokan hari sangatlah tinggi sehingga anjloknya saham hingga titik terendah lebih cepat terjadi.

Selanjutnya beberapa analis juga menganggap ambruknya berberapa saham yang ramai diperdagangkan diakibatkan oleh berberapa trader yang melakukan pembelian menggunakan trading limit (TL). S

ehingga ketika saham anjlok dan sang trader tidak dapat menyuntikkan dana untuk menutupi limitnya, sekuritas terpaksa melakukan jual paksa alias forced sell terhadap saham-saham yang dibeli sang trader pada hari keempat (T+4).

Setelah sahamnya ambruk, hal ini menyebabkan efek domino berkelanjutan di mana para investor yang melakukan pembelian menggunakan margin, tidak dapat menutupi rasio kecukupan asetnya dan terkena margin call.

Ketika banyak investor yang tidak dapat menutup pembelianya maka forced sell efek-efek margin berlanjut dan membuat indeks terkoreksi parah selama berberapa hari.

Hal ini sangat dimungkinkan sekali mengingat nilai transaksi bursa selama 3 hari terakhir tergolong sangat sepi yakni di bawah Rp 18 triliun turun dari posisi normal yang berada di kisaran Rp 23 triliun - Rp 24 triliun.

Turunya nilai transaksi terjadi karena para trader yang melakukan pembelian menggunakan TL tidak lagi dapat melakukan pembelian karena belum membayar 'hutangnya' alias suspend buy pada T+3.

Apalagi akhir-akhir ini beredar tangkapan layar di kalangan para pelaku pasar di mana salah satu sekuritas besar di Indonesia mengatakan banyak nasabah yang gagal menutup pinjaman trading limitnya berberapa hari terakhir. Mereka menyarankan agar para nasabah bertransaksi sesuai dengan kecukupan modalnya masing-masing.

Secara singkat kondisi fundamental dan psikologis pasar modal lokal memang sedang tidak sehati. Sehingga potensi IHSG untuk melanjutkan koreksi sangatlah terbuka paling tidak pada awal perdagangan.

Berikut adalah sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari inii:

  1. Indeks Keyakinan Konsumen Korea Selatan Periode Januari 2021 (04:00 WIB)
  2. Indeks Keyakinan Bisnis Australia periode Desember 2020 (07:30 WIB).
  3. Inflasi Australia periode Desember 2020 (07:30 WIB).
  4. Indeks Keyakinan Konsumen Jerman periode Februari 2021 (14:00 WIB).
  5. Indeks Keyakinan Konsumen Perancis periode Januari 2021 (14:45 WIB).
  6. Pemesanan Barang Tahan Lama Amerika Serikat periode Desember 2020 (20:30 WIB)

 

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Data dan Indikator Ekonomi Makro

Satuan

Nilai

Pertumbuhan Ekonomi Q320

%yoy

-3.49

Inflasi 2020

%yoy

1.68

BI 7 Day Reverse Repo Rate Januari 2021

%

3.75

Surplus/Defisit Anggaran 2020

%PDB

-6.34

Surplus/Defisit Transaksi Berjalan Q320

%PDB

0.36

Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia Q30

US$ Miliar

2.05

Cadangan Devisa November 2020

US$ Miliar

135.9

 

 

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular