
Musim Hujan Sudah Biasa, Tapi Musim ARB? Luar Biasa!

Ditutupnya Wall Street di zona hijau merah meski tipis tentu saja bisa menjadi sentimen negatif tersendiri bagi Bursa Asia. Depresiasi bursa Paman Sam bisa menyeberang benua dan menjadi penyebar ketakutan di pasar dimana bisa saja menyebabkan indeks acuan kalah sebelum bertanding.
Di AS sendiri dengan adanya rumor mengenai paket stimulus yang sudah disetujui bulan lalu menunjukkan adanya tanda-tanda positif dimana stimulus ini sukses mengangkat tingkat kepercayaan konsumsi.
Indeks kepercayaan konsumen melesat ke level 89,3 di bulan Januari dari posisi di bulan Desember yang hanya berada di angka 87,1. Rilis ini sendiri lebih baik ketimbang konsensus yang memprediksikan IKK hanya berada di angka 89.
Fokus investor juga mengalihkan perhatianya ke kebijakan moneter dimana rapat Bank Sentral AS yang sedang berlangsung diprediksikan tidak akan mengubah banyak kebijakanya terutama suku bunga yang diprediksi tetap akan rendah dan pembelian kembali obligasi yang tetap akan kencang untuk menyuplai likuiditas ke pasar.
The Fed yang diprediksikan akan menahan suku bunga rendah hingga tahun 2023 dan sudah berkali-kali menyatakan belum akan mengurangi pembelian obligasinya meskipun nantinya setelah pandemi berakhir akan muncul permintaan yang tertahan (pent-up demand) akan menyebabkan inflasi yang tinggi.
Dari dalam negeri kondisi kepanikan bursa efek sendiri masih terjadi di mana akhir-akhir ini banyak saham dengan nilai perdagangan tinggi yang anjlok ke level terendahnya yang diijinkan oleh bursa alias auto rejection bawah (ARB).
Tengok saja pada perdagangan kemarin tercatat 83 emiten terkoreksi di level ARB atau mendekati ARB dengan koreksi lebih dari 6%.
Hal ini terjadi pertama tentunya akibat aturan ARB asimetris yang diterapkan oleh bursa, di mana batasan kenaikan maksimal (ARA) bisa mencapai 35% namun koreksi hanya dibatasi 7% sehingga apabila saham sudah melesat kencang maka akan terkoreksi di level ARB selama berberapa hari.
Selain itu tentu saja faktor psikologis juga memicu aksi jual trader dimana jika saham sudah anjlok 5%-6% para trader buru-buru melakukan aksi jual di level ARB agar dana tidak menyangkut. Apalagi jika suatu saham ARB maka potensi koreksi di keesokan hari sangatlah tinggi sehingga anjloknya saham hingga titik terendah lebih cepat terjadi.
Selanjutnya beberapa analis juga menganggap ambruknya berberapa saham yang ramai diperdagangkan diakibatkan oleh berberapa trader yang melakukan pembelian menggunakan trading limit (TL). S
ehingga ketika saham anjlok dan sang trader tidak dapat menyuntikkan dana untuk menutupi limitnya, sekuritas terpaksa melakukan jual paksa alias forced sell terhadap saham-saham yang dibeli sang trader pada hari keempat (T+4).
Setelah sahamnya ambruk, hal ini menyebabkan efek domino berkelanjutan di mana para investor yang melakukan pembelian menggunakan margin, tidak dapat menutupi rasio kecukupan asetnya dan terkena margin call.
Ketika banyak investor yang tidak dapat menutup pembelianya maka forced sell efek-efek margin berlanjut dan membuat indeks terkoreksi parah selama berberapa hari.
Hal ini sangat dimungkinkan sekali mengingat nilai transaksi bursa selama 3 hari terakhir tergolong sangat sepi yakni di bawah Rp 18 triliun turun dari posisi normal yang berada di kisaran Rp 23 triliun - Rp 24 triliun.
Turunya nilai transaksi terjadi karena para trader yang melakukan pembelian menggunakan TL tidak lagi dapat melakukan pembelian karena belum membayar 'hutangnya' alias suspend buy pada T+3.
Apalagi akhir-akhir ini beredar tangkapan layar di kalangan para pelaku pasar di mana salah satu sekuritas besar di Indonesia mengatakan banyak nasabah yang gagal menutup pinjaman trading limitnya berberapa hari terakhir. Mereka menyarankan agar para nasabah bertransaksi sesuai dengan kecukupan modalnya masing-masing.
Secara singkat kondisi fundamental dan psikologis pasar modal lokal memang sedang tidak sehati. Sehingga potensi IHSG untuk melanjutkan koreksi sangatlah terbuka paling tidak pada awal perdagangan.
(trp/trp)