Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan dalam negeri bervariasi pada perdagangan Senin kemarin, meski kabar baik datang dari China, dimana pertumbuhan ekonominya mampu melesat. Pada perdagangan hari ini, Selasa (19/1/2021), rilis data pertumbuhan ekonomi China masih akan mempengaruhi pergerakan, selain juga faktor-faktor lainnya, misalnya hasil survei yang menunjukkan pasar saham AS sudah bubble, dan akan dibahas pada halaman 2 dan 3.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil membukukan penguatan 0,25% ke 6389.834 setelah sebelumnya sempat beberapa kali masuk ke zona merah.
Data perdagangan mencatat investor asing melakukan aksi jual bersih (net sell) nyaris Rp 250 miliar di pasar reguler, dengan nilai transaksi mencapai Rp 23,08 triliun.
Sementara itu rupiah melemah 0,36% ke Rp 14.060/US$. Kemudian dari pasar obligasi, Surat Berharga Negara (SBN) bervariasi, yang tercermin dari pergerakan yield-nya.
Untuk diketahui, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun artinya harga naik, sebaliknya yield naik harganya turun.
Sentimen positif datang dari China yang melaporkan produk domestik bruto (PDB) kuartal IV-2020 tumbuh 6,5% year-on-year (YoY), lebih tinggi dari prediksi Reuters sebesar 6,1% YoY, dan melesat dari kuartal sebelumnya 4,9% YoY.
Saat negara-negara lain masuk ke jurang resesi, China berhasil lolos, sebab produk domestik bruto (PDB) hanya sekali mengalami kontraksi (tumbuh negatif) 6,8% di kuartal I-2020. Setelahnya, ekonomi China kembali bangkit dan membentuk kurva V-Shape.
Tidak hanya itu, ekspor China juga mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah. Di tahun 2020, ekspor China dilaporkan naik 3,6% dari tahun sebelumnya menjadi US$ 2,6 triliun, yang merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah. Sementara itu, impor hanya turun 1,1% di tahun 2020 lalu. Artinya aktivitas ekonomi China sudah berputar cukup kencang saat negara-negara lain tersendat akibat menghadapi virus corona.
Roda perekonomian banyak negara masih tersendat-sendat di tahun 2020 lalu, tapi China masih sukses membukukan rekor ekspor. Apalagi ketika perekonomian global mulai pulih setelah adanya vaksinasi massal, besar kemungkinan ekspor China akan kembali meroket. Sehingga di tahun ini diprediksi akan terjadi China "boom" atau meroketnya pertumbuhan ekonomi China, dengan peningkatan ekspansi sektor manufaktur akibat peningkatan ekspor, serta dimulainya vaksinasi massal di berbagai negara.
China berperan penting dalam perekonomian dunia. Nilai PDB-nya terbesar kedua di dunia, kemudian China juga merupakan konsumen komoditas terbesar di dunia.
Saat perekonomiannya menunjukkan pertumbuhan, tentunya akan berdampak pada negara-negara lainnya, termasuk Indonesia.
IHSG mampu menguat merespon data PDB China tersebut, tetapi rupiah masih melemah dan SBN tak kompak.
Penyebabnya dolar AS sedang kuat-kuatnya. Pada Jumat pekan lalu, indeks yang mengukur kekuatan dolar AS menguat 0,46%, dan berlanjut 0,11% hingga tengah hari ini ke 90,862, level tertinggi sejak 21 Desember lalu.
Kenaikan yield obligasi (Treasury) menjadi pemicu penguatan dolar AS.
Yield Treasury tenor 10 tahun misalnya, dua pekan lalu melesat 19,5 bps, sementara pekan lalu sempat naik 8 bps ke 1,187%, yang merupakan level tertinggi sejak Maret tahun lalu, atau persis saat penyakit akibat virus corona dinyatakan sebagai pandemi.
Artinya, yield Treasury AS kini nyaris mencapai level sebelum pandemi.
Kenaikan yield Treasury tersebut membuat selisihnya dengan yield SBN semakin menipis, sehingga menekan pasar obligasi. Selain itu ada risiko terjadinya capital outflow dari pasar obligasi Indonesia, yang memberikan tekanan bagi rupiah.
Bursa saham AS (Wall Street) yang libur Senin kemarin membuat sentimen investor asing kurang terlihat. Namun, ada yang patuh dicermati, yakni hasil survei yang dilakukan E-Trade Financial Survey Morgan Stanley menunjukkan mayoritas investor melihat pasar saham AS sudah mengalami bubble atau sudah mendekati.
Yang menarik, meski melihat Wall Street sudah bubble, tetapi para investor tersebut tetap masih akan berinvestasi di saham, dan memprediksi masih akan ada kenaikan di kuartal I-2021, serta menaikkan toleransi risiko mereka.
Survei tersebut dilakukan pada periode 1 - 7 Januari, terhadap investor miliuner yang memiliki akun dengan nilai US$ 1 juta atau lebih di perusahaan sekuritas. Selain itu survei juga dilakukan lebih luas terhadap investor dengan nilai akun setidaknya US$ 10.000.
Hasilnya, sebanyak sebanyak 64% investor miliuner masih bullish terhadap pasar saham meski melihat sudah terjadi bubble. Persentase tersebut malah meningkat dibandingkan kuartal IV-2020 lalu sebesar 55%. Sementara itu untuk investor yang lebih luas dengan nilai akun setidaknya US$ 10.000, sebesar 57%.
Beberapa faktor yang membuat investor masih bullish adalah pemulihan ekonomi, vaksinasi massal yang sudah di mulai, serta stimulus fiskal yang akan digelontorkan Presiden AS terpilih Joseph 'Joe' Biden, senilai US$ 1,9 triliun.
"Ada pengakuan secara luas mengenai membaiknya perekonomian, dan tanda-tanda yang mendukung penguatan pasar," kata Mike Lowengart, kepala investasi unit capital management E-Trade Financial, sebagaimana dilansir CNBC International, Senin (18/1/2021).
Hal tersebut mengindikasikan sentimen pelaku pasar masih bagus, sehingga peluang penguatan bursa saham masih terbuka lebar. Ketika Wall Street yang merupakan kiblat bursa saham dunia masih menanjak, maka IHSG juga berpeluang besar akan mengikuti.
Hasil survei tersebut juga menunjukkan para investor banyak merotasinya investasinya ke saham yang undervalue, saham yang kapitalisasi pasarnya lebih kecil, serta mengurangi investasi di sektor energi dan finansial.
Selain itu, investor miliuner di AS tersebut juga melihat pasar internasional kini lebih atraktif, artinya kemungkinan besar modalnya akan dialirkan ke luar negeri.
"Ini merupakan langkah besar dari miliuner AS, langkah yang signifikan," kata Loewengart.
Investor miliuner AS yang melihat pasar luar negeri lebih atraktif tentunya akan menguntungkan bagi IHSG. Apalagi dalam 1 bulan terakhir investor asing melakukan aksi beli bersih (net buy) lebih dari Rp 7 triliun di pasar saham Indonesia.
Data PDB China yang dirilis Senin kemarin mampu mencatat pertumbuhan impresif di kuartal IV-2020, dan dikatakan sudah mencapai pemulihan V-shape. Namun, ke depannya perekonomian Negeri Tiongkok diprediksi akan kembali melambat.
"PDB kuartal IV-2020 China luar bisa. Jika anda melihat 6,5%, itu bahkan lebih tinggi dari pertumbuhan sebelum pandemi Covid-19 melanda. Dari perspektif itu, pemulihan ekonomi V-shape China sudah tercapai," kata Haibin Zhu, kepala ekonom China di JP Morgan, sebagaimana dilansir CNBC International, Senin (18/1/2021) kemarin.
Dengan data kuartal IV tersebut, sepanjang 2020 ekonomi China tumbuh 2,3%, menjadi yang terendah dalam 4 dekade terakhir. Tetapi, di tengah pandemi Covid-19, pertumbuhan tersebut menjadi yang terbaik di antara negara-negara dengan nilai ekonomi terbesar di dunia.
Meski demikian, Zhu memperingatkan pemulihan ekonomi China terancam melambat sebab provinsi Hebei yang berbatasan dengan ibu kota Beijing kembali mengalami lonjakan kasus Covid-19. Sebagian wilayah Hebei juga sudah di-lockdown.
Sejak 13 Januari lalu, China konsisten melaporkan penambahan kasus Covid-19 di atas 100 orang.
Tidak hanya di China, lonjakan kasus juga terjadi banyak negara, mulai dari Asia, Eropa, hingga Amerika Serikat. Alhasil kebijakan pengetatan pembatasan sosial dilakukan, dan pemulihan ekonomi global kemungkinan akan terhambat.
Hal ini lah yang membuat efek data PDB China belum maksimal. Tapi ketika tanda-tanda penurunan penyebaran Covid-19 terlihat, tentunya sentimen investor akan langsung membaik, dan kembali memburu aset-aset berisiko.
Kasus Covid-19 di Indonesia juga sedang mengalami lonjakan, yang membuat pemerintah menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) mulai 11 Januari hingga 25 Januari nanti.
Selama sepekan pertama PPKM, rata-rata pasien positif corona bertambah 11.415 orang setiap harinya. Melonjak dibandingkan rerata sepekan sebelumnya yaitu 8.954 orang per hari.
Bahkan penambahan kasus harian sempat mencetak rekor baru selama empat hari beruntun. Saat ini rekor tertinggi penambahan kasus harian terjadi pada 16 Januari yang mencapai 14.224 orang.
Sementara itu indeks dolar AS yang melesat pada pekan lalu sudah mulai "ngerem". Melansir data Refinitiv, indeks yang mengukur kekuatan dolar AS tersebut berakhir stagnan di kisaran 90,768 pada perdagangan Senin. Hal tersebut tentunya bisa menjadi sentimen positif bagi rupiah untuk bangkit pada hari ini.
Yield Treasury AS juga mengalami penurunan, tenor 10 tahun yang biasa menjadi acuan berada di kisaran 1,097%, turun 3,2 bps. Hal ini tentunya bisa menguntungkan bagi SBN.
Berikut adalah sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Rilis data inflasi Jerman (14:00 WIB)
- Rilis data sentimen ekonomi Jerman (17:00 WIB)
- Rilis data sentimen ekonomi zona euro (17:00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Data dan Indikator Ekonomi Makro | Satuan | Nilai |
Pertumbuhan Ekonomi Q320 | %yoy | -3.49 |
Inflasi 2020 | %yoy | 1.68 |
BI 7 Day Reverse Repo Rate November 2020 | % | 3.75 |
Surplus/Defisit Anggaran 2020 | %PDB | -6.34 |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan Q320 | %PDB | 0.36 |
Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia Q30 | US$ Miliar | 2.05 |
Cadangan Devisa November 2020 | US$ Miliar | 135.9 |
TIM RISET CNBC INDONESIA