Newsletter

Survei Sebut Wall Street Bubble, Investor Harus Bagaimana?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
19 January 2021 06:11
China Moon Probe
Foto: AP/Ren Junchuan

Data PDB China yang dirilis Senin kemarin mampu mencatat pertumbuhan impresif di kuartal IV-2020, dan dikatakan sudah mencapai pemulihan V-shape. Namun, ke depannya perekonomian Negeri Tiongkok diprediksi akan kembali melambat.

"PDB kuartal IV-2020 China luar bisa. Jika anda melihat 6,5%, itu bahkan lebih tinggi dari pertumbuhan sebelum pandemi Covid-19 melanda. Dari perspektif itu, pemulihan ekonomi V-shape China sudah tercapai," kata Haibin Zhu, kepala ekonom China di JP Morgan, sebagaimana dilansir CNBC International, Senin (18/1/2021) kemarin.

Dengan data kuartal IV tersebut, sepanjang 2020 ekonomi China tumbuh 2,3%, menjadi yang terendah dalam 4 dekade terakhir. Tetapi, di tengah pandemi Covid-19, pertumbuhan tersebut menjadi yang terbaik di antara negara-negara dengan nilai ekonomi terbesar di dunia.

Meski demikian, Zhu memperingatkan pemulihan ekonomi China terancam melambat sebab provinsi Hebei yang berbatasan dengan ibu kota Beijing kembali mengalami lonjakan kasus Covid-19. Sebagian wilayah Hebei juga sudah di-lockdown.

Sejak 13 Januari lalu, China konsisten melaporkan penambahan kasus Covid-19 di atas 100 orang.

Tidak hanya di China, lonjakan kasus juga terjadi banyak negara, mulai dari Asia, Eropa, hingga Amerika Serikat. Alhasil kebijakan pengetatan pembatasan sosial dilakukan, dan pemulihan ekonomi global kemungkinan akan terhambat.

Hal ini lah yang membuat efek data PDB China belum maksimal. Tapi ketika tanda-tanda penurunan penyebaran Covid-19 terlihat, tentunya sentimen investor akan langsung membaik, dan kembali memburu aset-aset berisiko.

Kasus Covid-19 di Indonesia juga sedang mengalami lonjakan, yang membuat pemerintah menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) mulai 11 Januari hingga 25 Januari nanti.

Selama sepekan pertama PPKM, rata-rata pasien positif corona bertambah 11.415 orang setiap harinya. Melonjak dibandingkan rerata sepekan sebelumnya yaitu 8.954 orang per hari.

Bahkan penambahan kasus harian sempat mencetak rekor baru selama empat hari beruntun. Saat ini rekor tertinggi penambahan kasus harian terjadi pada 16 Januari yang mencapai 14.224 orang.

Sementara itu indeks dolar AS yang melesat pada pekan lalu sudah mulai "ngerem". Melansir data Refinitiv, indeks yang mengukur kekuatan dolar AS tersebut berakhir stagnan di kisaran 90,768 pada perdagangan Senin. Hal tersebut tentunya bisa menjadi sentimen positif bagi rupiah untuk bangkit pada hari ini.

Yield Treasury AS juga mengalami penurunan, tenor 10 tahun yang biasa menjadi acuan berada di kisaran 1,097%, turun 3,2 bps. Hal ini tentunya bisa menguntungkan bagi SBN.

(pap/pap)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular