Update Polling CNBC Indonesia

Pasar Kompak! Mungkin Cuma Keajaiban BI Turunkan Bunganya

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
12 October 2020 13:14
Rupiah
Ilustrasi Rupia (REUTERS/Thomas White)
  • Menambahkan proyeksi BCA dan BNI Sekuritas

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) diperkirakan masih menahan suku bunga acuan. Stabilitas nilai tukar rupiah sepertinya akan menjadi faktor utama yang membuat MH Thamrin enggan menurunkan BI 7 Day Reverse Repo Rate.

BI menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) periode Oktober 2020 pada 12-13 Oktober. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan Gubernur Perry Warjiyo dan kolega tetap mempertahankan suku bunga acuan di 4%.

Institusi

BI 7 Day Reverse Repo Rate

Citi

4

ING

4

Moody's Analytics

4

DBS

4

Mirae Asset

4

Bank Permata

4

Maybank Indonesia

4

Standard Chartered

4

ANZ

4

CIMB Niaga

4

BCA

4

BNI Sekuritas

4

Jika konsensus ini terwujud, maka suku bunga acuan tidak bergerak selama empat bulan beruntun. Suku bunga acuan di 4% adalah yang terendah sejak BI 7 Day Reverse Repo Rate dipakai menggantikan BI Rate.

Adalah rupiah yang akan membuat BI ragu-ragu menurunkan suku bunga acuan. Mata uang Tanah Air memang cenderung menguat akhir-akhir ini. Namun itu terjadi setelah melalui kuartal III-2020 yang 'berdarah-darah'.

Selama Juli-September 2020, rupiah ambles 4,65% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Rupiah menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia.

Anthony Kevin, Ekonom Mirae Asset, menilai ke depan ketidakpastian masih akan tinggi sehingga BI sepertinya memilih untuk berhati-hati. Setidaknya ada empat hal yang menjadi sumber ketidakpastian tersebut.

"Pertama adalah pengesahan omnibus law (UU Cipta Kerja) yang melahirkan penolakan. Kedua adalah kemungkinan perubahan UU BI yang bisa mengubah mandat dan operasional bank sentral. Ketiga adalah kapan waktu puncak pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) di Indonesia. Keempat adalah pemilihan presiden (pilpres) AS," papar Kevin dalam risetnya.

Radhika Rao, Ekonom DBS, menyatakan bahwa pengesahan UU Cipta Kerja memang membawa dampak positif bagi rupiah. Namun itu ternyata hanya bertahan sebentar. Ke depan, ketidakpastian masih akan tinggi.

"Obligasi pemerintah Indonesia memang masih mendatangkan permintaan yang besar. Namun permintaan itu masih didorong oleh BI sendiri, kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) turun dari 36,8% pada Januari 2020 menjadi 28% pada September 2020," tulis Rao dalam risetnya.

Sementara ANZ menilai keputusan BI mempertahankan suku bunga acuan bukan berarti tidak menerapkan kebijakan moneter longgar. Kebijakan akomodatif kini ditempuh melalui jalur kuantitas (quantitative easing).

"Keputusan mempertahankan suku bunga acuan bukan berarti BI menjauh dari kebijakan moneter akomodatif. Namun BI mengubah komposisi dari penurunan suku bunga menjadi quantitative easing," sebut riset ANZ.

Well, dengan UU BI yang sekarang tentu berat bagi bank sentral untuk memikirkan hal lain di luar stabilitas nilai tukar rupiah. Padahal sekarang kondisinya ekonomi butuh 'perangsang' dari segala lini, termasuk kebijakan suku bunga.

Meski data resmi output ekonomi atau Produk Domestik Bruto (PDB) baru diumumkan awal November mendatang, tetapi dapat dipastikan Indonesia sudah masuk zona resesi.Berbagai indikator menunjukkan ekonomi Ibu Pertiwi tertekan di dua sisi sekaligus, produksi dan permintaan.

Di sisi produksi, aktivitas sektor manufaktur yang diukur oleh Purchasing Managers' Index (PMI) masih lemah. Rata-rata skor PMI pada kuartal III-2020 adalah 48,3. Masih di bawah 50, yang berarti industriawan masih 'tiarap' alias kontraksi. Belum ada ekspansi.

Sementara di sisi permintaan, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan terjadi deflasi berturut-turut pada Juli-September 2020.

Suhariyanto, Kepala BPS, mengatakan fenomena deflasi disebabkan oleh dua hal. Pertama adalah pasokan yang memadai sehingga tidak menimbulkan tekanan harga.

"Namun daya beli masyarakat juga rendah, sangat-sangat lemah. Ini ditunjukkan oleh inflasi inti yang terus menurun," ungkapnya.

Inflasi inti memang kerap dipakai untuk mengukur kekuatan daya beli. Sebab komponen ini berisi pengeluaran yang harganya susah naik-turun alias persisten. Jadi kalau harga barang dan jasa yang persisten saja sampai bergerak turun, artinya dunia usaha sudah desperate, terpaksa menurunkan harga saking rendahnya permintaan.

"Pandemi Covid-19 (Coronavirus Disease-2019) menghantam dari dua sisi. Dari sisi supply dia terganggu karena adanya pembatasan aktivitas warga. Dari sisi demand, ada upaya menghambat penyebaran virus seperti dengan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) sehingga permintaan rendah," kata Kecuk, sapaan akrab Suhariyanto.

Oleh karena itu, PDB Indonesia pada kuartal III-2020 hampir pasti tumbuh negatif, tinggal menunggu pengumuman resmi saja. Pada kuartal sebelumnya, ekonomi Tanah Air sudah mengalami kontraksi 5,32%.

Kontraksi PDB dua kuartal beruntun adalah definisi dari resesi. Ini akan menjadi resesi pertama yang dialami Indonesia sejak 1999.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular