
Jakarta: Maju Kotanya, #dirumahaja Warganya

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia mengalami koreksi pada perdagangan kemarin. Bahkan koreksinya menjadi salah satu yang terdalam di Asia.
Kemarin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 1,81%. Indeks saham Asia lainnya juga turun drastis, tetapi IHSG hanya lebih baik dari Shanghai Composite.
Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah 0,14% di perdagangan pasar spot. Saat 'lapak' pasar spot Indonesia ditutup, rupiah menjadi mata uang terlemah di Asia.
Koreksi besar-besaran di pasar keuangan Asia disebabkan setidaknya oleh dua hal. Satu, harga minyak anjlok bahkan sempat sampai 8%. Penyebabnya adalah diskon harga minyak produksi Saudi Aramco (perusahaan migas milik negara asal Arab Saudi) yang membuat harga minyak jenis brent dan light sweet menjadi kurang kompetitif. Pelaku pasar juga mencemaskan permintaan yang masih akan lesu karena pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19).
Dua, investor (dan dunia) khawatir dengan kabar kurang sedap dari pengembangan vaksin anti-virus corona. Stat News melaporkan, AstraZaneca menghentikan sementara uji coba vaksin tahap III karena ada reaksi serius dari seorang relawan.
"Proses standar mengharuskan kami menghentikan vaksinasi untuk melakukan kajian terhadap keamanan. Dalam uji coba berskala besar memang ada risiko tetapi harus dilihat secara terpisah dan dikaji dengan hati-hati," sebut keterangan tertulis AstraZaneca.
Kabar ini membuat pelaku pasar kecewa. Sebab, vaksin adalah harapan agar bisa kembali hidup normal. Sepanjang belum ada vaksin, aktivitas publik sulit untuk seperti dulu lagi karena virus mematikan selalu mengancam.
Akibatnya, investor jadi berpikir ulang untuk mengambil risiko. Arus modal yang mengalir ke pasar keuangan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, menjadi terbatas.
Di seberang Samudra Atlantik, bursa saham New York bergairah setelah lesu darah pada perdagangan kemarin. Hari ini, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup melonjak 1,6%, S&P 500 melesat 2,01%, dan Nasdaq Composite melejit 2,71%.
Harga saham-saham teknologi kembali meroket dan menjadi pendongrak Wall Street. Harga saham Apple naik, 3,99% Alphabet (induk usaha Google) menguat 1,55%, Amazon bertambah 3,77%, dan Facebook terangkat 0,94%.
"Matikan alarm kebakaran. Saham-saham besar itu telah mendorong pasar naik, naik, dan naik. Sempat ada pembalikan, tetapi itu hal yang wajar," kata Peter Kenny, Founder Strategic Board Solutions yang berbasis di Denver, seperti dikutip dari Reuters.
Selain kebangkitan saham-saham teknologi, investor juga menyambut gembira kabar pengembangan vaksin AstraZaneca. Setelah sempat dihentikan, Financial Times mengabarkan uji coba akan kembali bergulir pekan depan.
Matt Hancock, Menteri Kesehatan Inggris, menilai penghentian sementara uji coba AstraZaneca yang berkolaborasi dengan Universitas Oxford tidak membuat upaya pengembangan vaksin mundur.
"Ini tergantung dari hasil investigasi mereka. Kejadian seperti ini bukan yang pertama," ujar Hancock dalam wawancara dengan Sky News.
Berita ini membuat investor kembali bersemangat. Sebab, masih ada harapan hidup bisa kembali normal dengan kehadiran vaksin anti-virus corona.
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu kabar gembira dari Wall Street yang berhasil bangkit. Semoga aura positif dari Wall Street bisa menjadi penyemangat investor di Asia, termasuk Indonesia.
Sentimen kedua adalah harga minyak yang kembali naik setelah merosot tajam. Pada pukul 02:19 WIB, harga minyak jenis brent melonjak 2,29% sementara light sweet melesat 3,48%.
Sepertinya kepanikan gara-gara diskon harga minyak Saudi Aramco sudah reda. Pasar sudah tenang, investor sudah kembali rasional.
"Saat produsen minyak besar dari Timur Tengah bersedia mengobral harga, sangat normal investor merespons dengan kepanikan. Sekarang situasinya sudah lebih baik," sebut Paola Rodriguez-Masiu, Senior Oil Market Analyst di Rystad Energy, seperti dikutip dari Reuters.
Namun ke depan, prospek harga si emas hitam masih rawan koreksi. Sebab permintaan masih lemah, sementara pasokan cukup berlimpah.
"Dalam jangka pendek, fundamental pasar minyak masih rentan. Pemulihan permintaan belum kuat, sementara stok banyak dan margin pengolahan rendah," sebut riset Morgan Stanley.
Setidaknya pasar komoditas sekarang sudah kalem. Ini membuat risiko guncangan di pasar keuangan ikut reda.
Sentimen ketiga adalah nilai tukar dolar AS, yang mulai menunjukkan tanda-tanda kembali melemah. Pada pukul 02:26 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback d hadapan enam mata uang utama dunia) terkoreksi 0,2%.
Sepertinya tren penguatan mata uang Negeri Paman Sam mulai mentok. Maklum, Dollar Index sudah melonjak 1,21% sejak awal bulan ini. Akan tiba saatnya di mana investor ingin mencairkan keuntungan.
Selain itu, tekanan terhadap dolar AS disebabkan oleh kabar baik dari Eropa. Bloomberg melaporkan, seperti dikutip dari Reuters, bank sentral Uni Eropa (ECB) memang akan merevisi proyeksi inflasi tahun ini, tetapi tidak signifikan. Dibandingkan dengan proyeksi yang dibuat pada Juni, tidak ada perubahan besar.
Bahkan ada kemungkinan perkiraan pertumbuhan ekonomi 2020 direvisi ke atas, alias membaik. Isabel Schnabel, Anggota Dewan Gubernur ECB, menyebut bahwa perkembangan yang terjadi masih sejalan dengan ekspektasi.
![]() |
"Sepertinya ada hawa pemulihan yang kuat di Eropa. Memang perlu waktu untuk membuktikannya, tetapi rasanya tidak seburuk perkiraan sebelumnya," ujar Edward Moya, Senior Market Analyst OANDA, sebagaimana diwartakan Reuters.
Perkembangan ini membuat investor kembali melirik Benua Biru sebagai lokasi untuk menanamkan modal. Pada pukul 02:39 WIB, mata uang euro menguat 0,25% terhadap dolar AS. Tidak hanya euro, sepertinya mata uang Asia juga berpeluang terapresiasi hari ini.
Berbagai kabar dari Wall Street, pasar komoditas, sampai koreksi dolar AS memang semestinya bisa menjadi sentimen positif buat IHSG dan rupiah. Namun ada sentimen keempat, yang datang dari dalam negeri, yang bisa membuat IHSG dan rupiah melorot.
Malam tadi, Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan mengumumkan 'rem darurat' kembali ditarik. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di ibu kota kembali diketatkan, tidak ada lagi PSBB Transisi. Mulai 14 September, warga Jakarta kembali disarankan untuk #dirumahaja.
"Kita akan menarik 'rem darurat' yang itu artinya kita terpaksa kembali menerapkan PSBB seperti pada masa awal pandemi dulu. Bukan lagi PSBB Transisi, tetapi kita harus melakukan PSBB sebagaimana masa awal dulu," tegas Anies.
Upaya ini terpaksa ditempuh mengingat kasus corona di Jakarta boleh dikata sangat mengkhawatirkan. Per 8 Agustus, jumlah pasien positif corona mencapai 48.393 orang. Bertambah 1.014 orang (2,14%) dibandingkan sehari sebelumnya.
Dalam 14 hari terakhir (26 Agustus-8 September), rata-rata pasien baru bertambah 975,21 orang per hari. Melonjak dibandingkan 14 hari sebelumnya yakni 579,71 orang.
"Kita bersepakat menarik 'rem darurat' dan kita akan menerapkan seperti arahan Bapak Presiden di awal wabah dahulu. Bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dan usahakan beribadah juga dari rumah," lanjut Anies.
PSBB bertujuan untuk menekan kasus corona, melindungi nyawa warga Jakarta. Bagaimana pun, keselamatan jiwa adalah prioritas utama.
Namun perlu diingat bahwa 'tagihan' yang harus dibayar akan sangat mahal. Saat perkantoran, pabrik, restoran, kafe, pusat perbelanjaan, dan sebagainya terpaksa ditutup lagi, maka roda ekonomi yang sudah mulai bergulir akan kembali terhenti.
Jakarta bukan hanya berstatus sebagai ibu kota negara. Jakarta adalah jantung perekonomian Indonesia. Sumbangsih Jakarta terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional adalah yang tertinggi dibandingkan provinsi lainnya.
![]() |
Sebelumnya, Bank Dunia sudah memberi wanti-wanti bahwa Indonesia bakal mengalami resesi jika pembatasan sosial (social distancing) kembali diketatkan. Lembaga yang berkantor pusat di Washington DC itu memperkirakan ekonomi Indonesia stagnan, tidak tumbuh, 0% pada tahun ini. Namun kalau PSBB ketat lagi, maka PDB Ibu Pertiwi akan mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) 2%.
"Skenario di mana Indonesia mengalami resesi bisa terwujud jika terjadi lonjakan jumlah kasus yang menyebabkan pemerintah kembali menerapkan PSBB yang lebih ketat pada kuartal III dan IV. Ekonomi sulit untuk pulih ke level pra-pandemi sebelum 2021," tulis laporan Bank Dunia.
Risiko resesi di Indonesia yang semakin tinggi tentu bukan berita gembira. Pelaku pasar tentu cemas dan berpikir ulang untuk menempatkan dana di pasar keuangan Indonesia. Akibatnya, IHSG dan rupiah akan berada dalam bahaya.
Berikut adalah sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Rilis data pemesanan barang modal (mesin) Jepang periode Juli 2020 (06:50 WIB).
- Rilis data ekspektasi inflasi Australia periode September 2020 (08:00 WIB).
- Rilis data produksi industri Prancis periode Juli 2020 (13:45 WIB).
- Pengumuman suku bunga acuan ECB (18:45 WIB).
- Rilis data klaim tunjangan pengangguran AS periode pekan yang berakhir 5 September 2020 (19:30 WIB).
- Rilis data stok minyak AS periode pekan yang berakhir 5 September 2020 (22:00 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (kuartal II-2020 YoY) | -5,32% |
Inflasi (Agustus 2020 YoY) | 1,32% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Agustus 2020) | 4% |
Defisit anggaran (APBN 2020) | -6,34% PDB |
Transaksi berjalan (kuartal II-2020) | -1,18% PDB |
Neraca pembayaran (kuartal II-2020) | US$ 9,24 miliar |
Cadangan devisa (Agustus 2020) | US$ 137,04 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Corona Makin Gawat, China & Negara Barat Malah Main 'Silat'
