
Newsletter
Saatnya Sektor Migas Panaskan Mesin Bursa
Arif Gunawan, CNBC Indonesia
06 May 2020 06:22

Jakarta, CNBC Indonesia - Ternyata pelaku pasar sudah mengantisipasi rilis pertumbuhan ekonomi kuartal I-2020 yang mengecewakan pada Selasa (5/4/2020), dengan telah mem-price in (memfaktorkannya dalam keputusan trading) ketika melepas saham besar-besaran pada Senin. Hari ini, situasi bakal lebih santuy mengikuti harga minyak.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kemarin ditutup menguat 0,54% ke 4.630,13, meski Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi triwulan I-2020 yang kurang menggembirakan.
Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) triwulan I-2020 hanya 2,97%, atau jauh di bawah konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 4,33% (Year-on-Year/YoY). Konsumsi rumah tangga melempem karena Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di 23 daerah sejak Maret, dengan cuma tumbuh 2,84%, dari 5,02% (triwulan I-2019).
Penguatan IHSG tersebut sejalan dengan bursa Asia lain yaitu Indeks Hangseng Hongkong yang naik 1,15%, indeks saham Taiwan yang tumbuh 0,55, dan indeks Straits Times Singapura yang terapresiasi 0,73%.
Sayangnya, investor asing masih membukukan nilai jual bersih (net sell) senilai Rp 227 miliar di pasar reguler. Mereka memilih merealisasikan keuntungan terlebih dahulu, meski masih betah di Indonesia.
Di pasar mata uang, rupiah menguat 0,13% dari penutupan sebelumnya. Kini US$ 1 dibanderol Rp 15.030/US$ di pasar spot. Namun, harga obligasi rupiah pemerintah justru melemah, di tengah meningkatnya premi credit default swap (CDS) bertenor 5 tahun.
Persepsi investor terhadap risiko investasi di Indonesia terpantau memburuk setelah premi CDS bertenor 5 tahun selama sepekan berjalan (week to date/WTD) naik 6,58% ke 224,06 dari posisi akhir April di 210,22.
Seri acuan yang paling melemah adalah FR0081 (tenor 5 tahun) dengan kenaikan imbal hasil (yield) sebesar 16,8 basis poin (bps) menjadi 7,462%. Besaran 100 bps setara dengan 1%.Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder, sehingga ketika harga naik maka akan menekan yield turun, begitupun sebaliknya.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kemarin ditutup menguat 0,54% ke 4.630,13, meski Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi triwulan I-2020 yang kurang menggembirakan.
Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) triwulan I-2020 hanya 2,97%, atau jauh di bawah konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 4,33% (Year-on-Year/YoY). Konsumsi rumah tangga melempem karena Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di 23 daerah sejak Maret, dengan cuma tumbuh 2,84%, dari 5,02% (triwulan I-2019).
Penguatan IHSG tersebut sejalan dengan bursa Asia lain yaitu Indeks Hangseng Hongkong yang naik 1,15%, indeks saham Taiwan yang tumbuh 0,55, dan indeks Straits Times Singapura yang terapresiasi 0,73%.
Sayangnya, investor asing masih membukukan nilai jual bersih (net sell) senilai Rp 227 miliar di pasar reguler. Mereka memilih merealisasikan keuntungan terlebih dahulu, meski masih betah di Indonesia.
Di pasar mata uang, rupiah menguat 0,13% dari penutupan sebelumnya. Kini US$ 1 dibanderol Rp 15.030/US$ di pasar spot. Namun, harga obligasi rupiah pemerintah justru melemah, di tengah meningkatnya premi credit default swap (CDS) bertenor 5 tahun.
Persepsi investor terhadap risiko investasi di Indonesia terpantau memburuk setelah premi CDS bertenor 5 tahun selama sepekan berjalan (week to date/WTD) naik 6,58% ke 224,06 dari posisi akhir April di 210,22.
Seri acuan yang paling melemah adalah FR0081 (tenor 5 tahun) dengan kenaikan imbal hasil (yield) sebesar 16,8 basis poin (bps) menjadi 7,462%. Besaran 100 bps setara dengan 1%.Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder, sehingga ketika harga naik maka akan menekan yield turun, begitupun sebaliknya.
Pages
Most Popular