Newsletter

The Fed Makin Galak karena Inflasi, Saatnya Defensif Guys!

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
07 April 2022 07:20
Infografis: 10 Emiten Konsumer dengan Kapitalisasi Terbesar
Foto: Infografis/10 Emiten Konsumer dengan Kapitalisasi Terbesar/Arie Pratama

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar modal bergerak searah kemarin, dengan koreksi pasar saham, obligasi dan rupiah menjelang kian agresifnya kebijakan moneter ketat di Amerika Serikat (AS). Hari ini, ada baiknya kita kembali melirik saham-saham defensif.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah 0,62% atau 44,08 poin di level 7.104,216 pada perdagangan Rabu (06/04/22). Investor asing masih melakukan pembelian saham dengan nilai pembelian bersih (net buy) Rp 372 miliar di seluruh pasar.

Saham PT Astra International Tbk (ASII) menjadi yang paling banyak diborong asing dengan net buy Rp 113 miliar sedangkan saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) menjadi saham paling banyak dilepas asing dengan net sell senilai Rp 299 miliar.

Mayoritas bursa saham Asia bergerak di zona merah. Koreksi IHSG terbilang tipis jika dibandingkan Bursa Benua Kuning lain. Indeks Hang Seng, misalnya, memimpin pelemahan dengan koreksi 1,87%.

IHSG memang sudah berkali-kali mencetak rekor tertinggi barunya dalam sejarah juga membuka peluang terjadinya aksi ambil untung (profit taking) oleh para trader. Optimisme pasar masih terjaga sebagaimana terlihat dari terjaganya IHSG di level psikologis 7.100.

Sementara itu, harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) ditutup melemah di tengah sikap bank sentral Amerika Serikat (AS) yang semakin agresif untuk mengekang inflasi agar tidak kembali meninggi.

Mayoritas investor cenderung melepas SBN, ditandai dengan naiknya imbal hasil (yield). Hanya SBN bertenor 3 tahun dan 20 tahun yang masih ramai diburu oleh investor. Yield SBN bertenor 3 tahun turun 1,2 basis poin (bp) ke 3,622%, sedangkan yield SBN berjatuh tempo 20 tahun melemah 1,4 bp ke 7,2%.

Sementara itu, yield SBN bertenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara berbalik menguat 3,1 bp ke 6,78% pada perdagangan hari ini.Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Aksi jual di pasar obligasi bersamaan dengan koreksi saham mengonfirmasi bahwa investor sedang cemas untuk memegang aset berisiko. Dalam situasi normal, pelemahan yield di pasar obligasi menunjukkan bahwa mereka ingin mengejar keuntungan lebih besar di pasar saham karena yakin kondisi ekonomi aman-aman saja.

Di tengah situasi demikian, nilai tukar rupiah menghentikan penguatan 3 hari beruntun terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang sedang kuat-kuatnya karena suku bunga acuan AS yang meninggi.

Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,03% ke Rp 14.350/US$. Sepanjang hari Mata Uang Garuda tidak pernah mencicipi zona hijau, malah sempat tertekan hingga ke Rp 14.373/US$.

Pada penutupan perdagangan, rupiah berada di Rp 14.355/US$, atau melemah 0,07% di pasar spot. Tidak hanya rupiah semua mata uang utama Asia hari ini berguguran.

Bursa saham Amerika Serikat (AS) masih tertahan di zona merah pada penutupan perdagangan Rabu (6/4/2022), di tengah berlanjutnya koreksi saham sektor teknologi menyusul rilis risalah rapat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed).

Indeks Dow Jones Industrial Average melemah 144,67 poin (-0,42%) ke 34.496,51. S&P 500 surut 43,97 poin (-0,97%) ke 4.481,15 dan Nasdaq drop 315,35 poin (-2,22%) ke 13.888,82.

Investor menyambut negatif risalah rapat The Fed pada rapat bulan lalu yang mengindikasikan bahwa para pejabat bank sentral "secara umum sepakat" mengurangi neraca keuangannya sebesar US$ 95 miliar per bulan.

Selain itu, mereka juga mempertimbangkan kenaikan suku bunga acuan (Fed Funds Rate) yang lebih agresif dari sekadar 25 basis poin. Bursa saham AS anjlok ketika notula rapat tersebut dirilis, meski kemudian di penghujung perdagangan laju koreksi kian berkurang.

"Banyak peserta rapat mencatat bahwa-dengan inflasi di atas target Komite [Pasar Terbuka Federal/FOMC], risiko inflatoir masih meninggi, dan Fed Funds Rate di bawah estimasi peserta  pasar dalam jangka panjang-mereka condong pada kenaikan sebesar 50 basis poin di rentang waktu yang ditargetkan," demikian tertulis dalam risalah rapat tersebut.

Sebelumnya Presiden The Fed Philadelphia Patrick Harker mengatakan "sangat cemas" melihat inflasi. Komentar itu menimpali pernyataan Gubernur The Fed Lael Brainard yang memberi sinyal dukungan kenaikan suku bunga acuan dan mengurangi neraca secepatnya pada Mei.

Sementara itu, Presiden The Fed San Francisco Mary Daly menilai inflasi tinggi sama buruknya dengan pengangguran bagi masyarakat Amerika Serikat (AS) karena memicu beban ekonomi dan menekan tingkat kesejahteraan.

"Hari ini dan kemarin anda mulai benar-benar melihat pasar saham mengejar obligasi," tutur Chris Zaccarelli, Direktur Investasi Independent Advisor Alliance, dikutip CNBC International. "Artinya, pasar saham mulai memfaktorkan The Fed yang kian agresif. Anda mulai melihat pelarian modal ke aset aman, melihat pergerakan klasik bernama risk-off [penghindaran risiko]."

Terungkapnya sikap agresif bank sentral AS tersebut membuat imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) tenor 10 tahun-yang menjadi acuan pasar-melesat ke 2,65% yang merupakan tertinggi dalam 3 tahun terakhir.

Saham teknologi pun anjlok melanjutkan koreksi kemarin karena kenaikan suku bunga acuan bakal memukul beban bunga pendanaan mereka. Saham Apple, Microsoft, Amazon dan Tesla menjadi pemberat utama indeks bursa AS. Saham Nvidia dan Marvell Technology terus melemah, masing-masing sebesar 5,9% dan 2,6%.

Kebijakan hawkish The Fed mendorong investor melirik saham dengan laba yang pasti seperti sektor utilitas, layanan kesehatan, dan konsumen terus menguat di antaranya Johnson & Johnson yang melesat lebih dari 2%. Saham Coca Cola dan Procter & Gamble juga menguat lebih dari 1% mengejar kenaikan saham Walmart sebesar 2,3%.

Sikap bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) sudah terkonfirmasi bahwa mereka telah berbalik dari sangat-sangat royal super-dovish di era quantitative easing, menjadi sangat galak hawkish untuk urusan duit beredar. Sudah galak, agresif pula.

Dalam rilis risalah rapat Maret tersebut, terkuak bahwa bank sentral terkuat di dunia itu berencana menjual surat berharga yang dalam 2 tahun terakhir telah dikoleksi. Ini adalah kebijakan bank sentral yang tergolong hawkish.

Namun demi melihat nilainya yang ditargetkan mencapai US$ 95 miliar (Rp 1.360 triliun) per bulan, maka kita bisa melihat ada agresivitas di situ. Mereka seolah kerasukan untuk segera mengetatkan kebijakan moneter dalam waktu singkat.

Ada perubahan sikap moneter yang sangat drastis. Sejak 2020, mereka memborong obligasi dari pasar modal sehingga surat berharga yang disimpan di neraca keuangan (balance sheet) The Fed melesat dari US$ 3,8 triliun menjadi US$ 8,5 triliun.

Namun sejak pertengahan 2021, mereka mulai mengurangi pembelian aset (tapering off) tersebut dari pasar modal, dari US$ 120 miliar per bulan menjadi US$ 105/bulan. Artinya, masih borong-borong, tapi dengan nilai lebih kecil. Tahun ini, mereka tak lagi borong, tapi berbalik jadi obral.

Ibarat nyetir, tak ada masa jeda untuk pindah ke gigi netral, melainkan dari gigi R (mundur) ke gigi maju, dan ngebut. Efeknya bagaimana? Pelaku pasar berpeluang kaget apalagi jika sang sopir tidak komunikatif. Inilah yang membedakan tapering sekarang dengan tapering pada 2013.

Pada masa itu, mereka menyebutnya sebagai 'taper tantrum' di mana pelaku pasar kaget dengan perubahan kebijakan The Fed yang dilakukan tanpa aba-aba ke pasar. Bursa saham dan kurs negara berkembang tertekan massal.

Perubahan kebijakan yang drastis ini, meski dikomunikasikan, diharapkan tak berujung pada tantrum seperti tahun 2013. Namun demikian, efeknya tetap saja ada. Kemarin kita melihat dolar AS melibas seluruh mata uang Asia.

Bagi investor saham, ada baiknya mereka mendengar saran dari Kepala Perencana Investasi Saham Goldman Sachs AS David Kostin. Kepada CNBC International, dia menyarankan memburu saham-saham dengan "margin yang resilien" yakni mereka yang tahan banting di kala krisis karena memiliki margin yang stabil dan tinggi.

"Secara keseluruhan, pasar saham AS kemungkinan masih memiliki potensi penguatan sebesar 5% dari saham-saham demikian sampai dengan akhir tahun nanti," tutur Kostin. "Amit-amit jika kita masuk resesi yang berarti ketika ada koreksi pasar yang sangat berarti, meski itu bukan skenario dasar yang bisa terjadi saat ini."

Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:

  • Neraca perdagangan Australia per Februari (08:30 WIB)
  • Cadangan devisa Indonesia per Maret (10:00 WIB)
  • Klaim tunjangan pengangguran baru (19:30 WIB)

Hari ini setidaknya terdapat empat agenda korporasi yakni:

  • Stock split PT Siloam International Hospitals Tbk/SILO
  • Cash dividend PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk/ADMF
  • Cash dividend PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk/SIDO
  • Cash dividend PT Bank Woori Saudara Indonesia 1906 Tbk/SDRA
  • Cash dividend PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat & Banten Tbk/BJBR
  • RUPST PT Prodia Widyahusada Tbk/PRDA (09:00 WIB)
  • RUPSLB PT Lancartama Sejati Tbk/TAMA (12:30 WIB)
  • RUPST PT Bank Jago Tbk/ARTO (14:00 WIB)
  • RUPST PT Adhi Karya Tbk/ADHI (14:00 WIB)

Terakhir, berikut adalah sejumlah indikator perekonomian nasional:

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular