Newsletter

Jika 'Helikopter Uang' Masih Belum Cukup, Apa yang Kurang?

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
02 April 2020 06:19
Cermati Sentimen Penggerak Hari Ini
Foto: IHSG Bursa Efek Indonesia. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Pasar modal bergerak dengan dua energi yang saling tarik-menarik dalam siklus abadi, antara kecemasan (fear) dan keserakahan (greedy). Kecemasan yang berlebihan bakal memicu aksi jual besar-besaran sehingga berujung koreksi indeks acuan bursa, sedangkan keserakahan memicu aksi borong saham.

Oleh karena itu, karakter dasar investor pasar modal memang bisa dibilang penakut, yang ingin meraih untung besar. Hal ini bisa dipahami karena investasi mereka melibatkan dana ratusan juta hingga miliar rupiah per hari. Tak ada yang mengganti kerugian mereka saat loss.

Nuansa kecemasan masih terlihat pada perdagangan kemarin ketika IHSG balik arah ke zona merah, menafikan stimulus berbentuk Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang telah diterbitkan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Padahal, aturan baru yang dirilis kemarin memungkinkan BI menjalankan kebijakan 'helikopter uang', sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Ekonomi AS Milton Friedman pada tahun 1969 untuk menyebut peran otoritas moneter mencetak lebih banyak uang dan membagikan ke pasar demi memacu sektor riil yang mengalami stagnasi akibat faktor tak biasa.

Lalu apa yang membuat mereka begitu cemas bahwa COVID-19 bakal terus memburuk dan menekan perekonomian Indonesia begitu parah, meskipun pemerintah kini masuk di era baru kebijakan "cetak uang tanpa batas" demi menyuntik likuiditas ke pasar dan menyelamatkan perekonomian?

Penyebaran virus COVID-19 masih menjadi jawabannya. Setelah melalu "masa inkubasi" pada Februari di mana virus belum menunjukkan gejala di negeri ini, periode Maret menjadi momen awal di mana ekonomi Indonesia resmi terkonfirmasi mengidap virus asal Wuhan tersebut.

Gejala COVID-19 sudah terlihat, yakni kontraksi manufaktur Indonesia, terlihat dari Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Managers' Index/PMI) versi IHS Markit per Maret yang berada di angka 45,3 atau turun dari bulan sebelumnya di 51,9 sekaligus menjadi yang terendah sepanjang sejarah pencatatan PMI yang dimulai pada April 2011.

PMI menggunakan angka 50 sebagai titik awal, di atas 50 berarti industri sedang ekspansif sementara di bawah 50 artinya kontraktif alias mengkerut. Dengan demikian, jelas sudah bahwa virus ini telah menekan ekonomi Indonesia. 

Stimulus memang membantu meredam efek negatif bencana biologis tersebut. Namun, tanpa ada kejelasan mengenai kapan virus ini berhasil dihentikan penyebarannya, maka ketakpastian pun menggelayuti benak pemodal. Dan bagi mereka yang mudah cemas ini, kecemasan adalah musuh terbesar.

Sampai dengan saat ini, jumlah penderita virus corona strain baru ini terus meningkat. Belum ada tanda-tanda berhenti penyebarannya. Pemerintah juga belum tegas memberlakukan pencegahan penyebaran seperti yang dilakukan di banyak negara berupa penghentian layanan transportasi umum di wilayah episentrum virus.

Di tengah situasi demikian, pendataan Kementerian Kesehatan pun kembali menjadi sorotan media asing. Sydney Morning Herald (SMH), misalnya, menyoroti penambahan jumlah positif kasus corona, yang angkanya sama persis dengan jumlah yang dites. 

Sebagaimana diketahui, tantangan terbesar dalam wabah kali ini adalah menghentikan penyebarannya (yang sangat luas, masif, dan sulit dideteksi), dan bukan pada penyembuhannya. Pasar perlu melihat kebijakan yang memberi kepastian mengenai hal ini.

Percuma membangun 1.000 rumah sakit sekalipun, jika penyebaran tak terkontrol dan memicu infeksi terhadap jutaan orang. Pada akhirnya, kegagalan mengatasi penyebaran inilah yang bakal memukul perekonomian lebih besar karena restriksi sosial yang bakal lebih lama diberlakukan dan menekan aktivitas ekonomi. (ags)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular