
Newsletter
The Worst May Be Over, Siap-siap IHSG Bakal Melesat Lagi!
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
27 March 2020 06:04

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan dalam negeri akhirnya kompak menguat pada perdagangan Kamis (26/3/2020) kemarin. Penguatan bahkan bisa dikatakan impresif.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melesat tinggi, di perdagangan sesi I sudah menyentuh level tertinggi intraday 4.370,66, atau menguat 11%. Penguatan IHSG sedikit terpangkas, dan di penutupan perdagangan mencatat penguatan 10,19% ke 4.388,904.
Persentase kenaikan IHSG kemarin merupakan yang terbesar sejak 8 Juni 1999. Sementara rekor persentase kenaikan terbesar IHSG tercatat pada 2 Februari 1998 ketika melesat 14,03%, berdasarkan data Refinitiv.
Berdasarkan data dari RTI, nilai transaksi sepanjang perdagangan hari ini sebesar Rp 12,51 triliun, dengan investor asing melakukan aksi beli bersih Rp 670,13 miliar di pasar reguler dan non-reguler.
Selain itu, perdagangan kemarin juga mencatat rekor frekuensi transaksi terbanyak, mengalahkan rekor sebelumnya yang dibukukan pada 12 September 2019.
"Untuk perdagangan saham hari ini, tercatat rekor frekuensi transaksi tertinggi, yaitu sebanyak 879.652 kali. Rekor sebelumnya tercatat sebanyak 655.380 kali pada tanggal 12 Sept 2019 yang lalu," kata Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI Laksono Widodo, Kamis (26/3/2020).
Sementara di pasar obligasi, yield Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun turun 4,7 basis poin (bps) menjadi 8,275%.
Sebagai informasi, pergerakan yield berbanding terbaik dengan harganya, ketika yield naik berarti harga sedang turun, sebaliknya ketika yield turun artinya harga sedang naik. Ketika harga naik, itu berarti sedang ada aksi beli di pasar obligasi.
Berkat penguatan di pasar saham dan obligasi tersebut, nilai tukar rupiah kembali perkasa. Begitu perdagangan kemarin dibuka, rupiah langsung melesat 1,52% ke Rp 16.200/US$, dan memimpin penguatan mata uang utama Asia.
Tetapi sayangnya posisi tersebut gagal dipertahankan, penguatan rupiah terpangkas dan mengakhiri perdagangan di level Rp 16.275/US$ atau menguat 1,06% di pasar spot melansir data Refinitiv.
Rupiah mengakhiri perdagangan di posisi terbaik ketiga, posisi yang sama juga diraih pada perdagangan Selasa (24/3/2020) lalu.
Pada hari Selasa dan Rabu sentimen pelaku pasar sedang bagus-bagusnya, hal tersebut tercermin dari rally bursa saham global. Bursa saham AS (Wall Street) sebagai kiblat bursa saham dunia memimpin penguatan tajam selama 2 hari tersebut.
Tetapi, pasar dalam negeri libur Hari Raya Nyepi di hari Rabu, sehingga tidak bisa mengikuti pergerakan tersebut. Baru di hari Kamis, IHSG mengejar bursa lainnya, sehingga mampu mencetak penguatan lebih dari 10%.
Membaiknya sentimen pelaku pasar dipicu oleh Pemerintah dan Senat AS telah mencapai kata sepakat untuk mengucurkan stimulus jumbo senilai US$ 2 triliun, yang dikatakan terbesar sepanjang sejarah. Stimulus tersebut bahkan dua kali lipat lebih besar dari nilai perekonomian Indonesia.
Kesepakatan tersebut kini masih dalam tahap Rancangan Undang-Undang (RUU), dan sudah di-voting di Senat, dan disetujui secara mutlak. RUU tersebut kini dilemparkan ke House of Representative (DPR) guna di-voting, jika disepakati selanjutnya akan ditandatangani oleh Presiden AS Donald Trump dan sah menjadi Undang-undang. DPR AS rencananya akan melakukan voting pada hari Jumat waktu setempat.
Bursa saham AS (Wall Street) kembali menguat pada perdagangan Kamis (26/3/2020), melanjutkan kenaikan 2 hari beruntun sebelumnya.
Indeks Dow Jones menguat 6,4% ke 22.552,17, dan dalam tiga hari tercatat melesat lebih dari 20%. Dow Jones juga membukukan penguatan tiga hari terbesar sejak 1931. Indeks S&P 500 menguat 6,2% ke 2.630,07, sementara Nasdaq naik 5,6% ke 7,797,54.
Wall Street masih tetap melesat naik meski data ekonomi AS mulai memperlihatkan dampak buruk dari penyebaran pandemi COVID-19. Departemen Tenaga Kerja AS pada Kamis kemarin melaporkan klaim tunjangan pengangguran naik menjadi lebih dari 3 juta klaim dalam sepekan yang berakhir 21 Maret.
Pandemi COVID-19 membuat aktivitas ekonomi di AS merosot drastis. Tidak hanya di AS, tetapi juga secara global.
Berdasarkan data dari Johns Hopkins CSSE, hingga saat ini di AS jumlah kasus COVID-19 mencapai 80.021 kasus dengan korban meninggal sebanyak 1.136 dan 619 orang sembuh. AS kini menjadi negara dengan jumlah kasus terbanyak ketiga setelah China dan Italia, bahkan tidak menutup kemungkinan akan menjadi yang terbanyak mengingat lonjakan kasus baru terjadi belakangan ini, sementara di China sebagai tempat awal munculnya virus corona, penyebarannya secara domestik sudah terhenti.
Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) sebelumnya sudah memperingatkan AS kemungkinan akan menjadi episentrum baru COVID-19 setelah Eropa.
Secara global, lebih dari 170 negara sudah terpapar COVID-19, dengan jumlah kasus lebih dari 500.000, korban meninggal lebih dari 23.000 orang, dan yang sembuh lebih dari 120.000 orang.
"Kita semua tahun rasa sakit yang dirasakan dan kerusakan ekonomi yang ditimbulkan oleh virus ini, tapi karena kita sudah semakin dekat untuk melewati yang terburuk dari penyebarannya, kita perlu mulai menjadi kreatif untuk memikirkan bagaimana restart itu akan terjadi" tulis Peter Boockvar, kepala investasi di Bleakley Advisory Group sebagaimana dikutip CNBC International.
Pelaku pasar sepertinya sudah mengantisipasi hal terburuk yang akan terjadi di perekonomian AS, tetapi sudah mulai sadar jika hal tersebut hanya sementara. Ekonomi AS akan segera bangkit begitu pandemi berakhir, apalagi Pemerintah AS akan menggelontorkan stimulus jumbo US$ 2 triliun.
Seperti disebutkan di halaman sebelumnya RUU stimulus US$ 2 triliun tersebut saat ini sudah disetujui oleh Senat AS dan akan di-voting di DPR pada Jumat pagi waktu setempat. Ketua DPR AS, Nancy Pelosi mengatakan, RUU tersebut akan disetujui dan mendapat dukungan penuh dari DPR.
Wall Street langsung melesat kembali merespon pernyataan Pelosi tersebut. Setelah perdagangan dalam negeri dan pasar Asia berakhir Kamis kemarin, pengumuman kebijakan moneter bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) sedikit mengecewakan pelaku pasar.
Di bulan ini bank sentral pimpinan Mark Carney ini sudah memangkas suku bunga acuannya sebanyak 2 kali hingga menjadi 0,1%, begitu juga dengan program pembelian aset atau quantitative easing (QE) yang jumlahnya ditambah menjadi 645 miliar poundsterling dari sebelumnya 435 miliar poundsterling. Semuanya dilakukan demi meminimalisir dampak COVID-19 ke perekonomian.
Tetapi pelaku pasar menginginkan stimulus yang lebih besar lagi, dan belum dipenuhi oleh BoE. Meski demikian, BoE berjanji akan menambah jumlah QE jika diperlukan untuk mendukung perekonomian atau menjaga likuiditas di pasar.
Bursa saham Eropa berada di zona merah merespon pengumuman kebijakan moneter dari BoE.
Kemudian dari Negeri Paman Sam, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan lonjakan klaim pengangguran hingga mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah. Maklum saja, pandemi COVID-19 sudah membuat beberapa negara bagian menerapkan kebijakan karantina wilayah (lockdown), juga ada perusahaan yang melakukan PHK.
Data yang dirilis menunjukkan jumlah klaim tunjangan pengangguran mencapai 3,82 juta klaim, jauh melampau rekor tertinggi sebelumnya 695.000 klaim pada bulan Oktober 1982. Jumlah tersebut juga lebih dari dua kali lipat hasil survei yang dilakukan Dow Jones memprediksi sebanyak 1,5 juta klaim.
Data klaim pengangguran dianggap sebagai indikator yang paling cepat untuk melihat kondisi perekonomian saat ini. Pada pekan lalu, klaim tunjangan pengangguran hanya sebanyak 282.000, itu menunjukkan ekonomi AS mendapat pukulan hebat dari pandemi COVID-19.
Data tersebut sempat membuat indeks saham berjangka (futures) Wall Street ke zona merah. Tetapi pada akhirnya Wall Street dibuka di zona hijau bahkan mencatat penguatan tajam setelah Ketua DPR AS Nancy Pelosi menyatakan RUU stimulus senilai US$ 2 triliun akan disetujui dan mendapat dukungan penuh dari DPR.
Penguatan Wall Street tersebut turut mengerek bursa saham Eropa ke zona hijau, dan tentunya mengirim hawa positif ke pasar Asia hari ini, Jumat (27/3/2020).
Penguatan Wall Street saat data klaim tunjangan pengangguran AS melonjak ke level tertinggi sepanjang sejarah memunculkan "bisik-bisik" jika yang terburuk bagi pasar finansial sudah berakhir.
“Pasar dan perekonomian tidak berjalan secara pararel. Pasar berjalan jauh di depan perekonomian. Pasar tidak peduli pada yang terjadi saat ini, pasar peduli apa yang terjadi dalam enam bulan ke depan” kata Randy Frederick, wakil presiden trading derivatif di Charles Schwab.
Dalam beberapa pekan terakhir, berbagai prediksi tentang ekonomi AS dan global sudah dirilis, dan semuanya menggambarkan bagaimana buruknya efek dari COVID-19. Ekonomi AS diprediksi berkontraksi dalam, bahkan melebihi 20% di kuartal II-2020, hingga memasuki resesi. Hal tersebut terus memicu aksi jual di bursa saham global.
Tetapi semua prediksi tersebut juga menyebutkan perekonomian AS dan global akan segera bangkit begitu pandemi berakhir. Pelaku pasar sudah mulai melihat ke arah itu, apalagi setelah stimulus moneter dan bank sentral di dunia dan stimulus fiskal dari pemerintah di berbagai negara sudah digelontorkan. Begitu pandemi berakhir, perekonomian akan langsung terakselerasi. Aset-aset bersiko pun kembali dilirik.
Wall Street sudah mencetak penguatan tiga hari beruntun, dengan indeks Dow Jones melesat lebih dari 20%. Sementara IHSG baru menguat sekali, tetapi sudah melesat lebih dari 10%. Penguatan kiblat bursa saham dunia tersebut dapat membawa IHSG kembali ke zona hijau lagi di perdagangan terakhir pekan ini.
Jika itu terjadi, sentimen pelaku pasar bisa jadi perlahan semakin stabil, dan masuk juga ke pasar obligasi RI. Dampaknya, rupiah bisa perkasa lagi setelah membukukan penguatan 2 hari beruntun.
Kabar bagus lainnya, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), mengatakan ada tanda penyebaran COVID-19 di Eropa mulai menurun.
"Meski situasi tetap sangat serius, kami mulai melihat beberapa tanda yang menenangkan hati," kata Direktur Regional WHO untuk Eropa, Hans Kluge, dikutip dari AFP, Kamis (26/3/2020).
"Italia, yang memiliki jumlah kasus tertinggi di kawasan (Eropa), baru saja menunjukkan kenaikan yang lebih rendah (pada kasus infeksi corona)."
"Meskipun demikian, terlalu dini untuk mengatakan bahwa pandemi sudah mencapai puncaknya di negeri itu" kata Kluge.
Sementara itu dari dalam negeri, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kemarin merilis Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 23 tahun 2020 tentang pemberian insentif perpajakan bagi pelaku usaha yang terdampak corona atau Covid-19. Aturan ini akan mulai berlaku pada 1 April 2020.
Setidaknya, ada empat insentif di bidang perpajakan yang akan di berikan Sri Mulyani sebagai langkah membantu Wajib Pajak (WP) terdampak wabah Virus Corona.
"Keempat insentif tersebut terkait dengan ketentuan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21, PPh Pasal 22 Impor, PPh Pasal 25 dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)," tulis keterangan resmi Kemenkeu, Kamis (26/3/2020).
Dengan insentif tersebut diharapkan mampu meminimalisir dampak COVID-19 ke perekonomian. Dan ketika pandemi ini berakhir, roda perekonomian Indonesia bisa langsung terakselerasi. Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap) Next Article Pasar Optimis The Fed Dovish, IHSG Bakal Melaju Kencang?
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melesat tinggi, di perdagangan sesi I sudah menyentuh level tertinggi intraday 4.370,66, atau menguat 11%. Penguatan IHSG sedikit terpangkas, dan di penutupan perdagangan mencatat penguatan 10,19% ke 4.388,904.
Persentase kenaikan IHSG kemarin merupakan yang terbesar sejak 8 Juni 1999. Sementara rekor persentase kenaikan terbesar IHSG tercatat pada 2 Februari 1998 ketika melesat 14,03%, berdasarkan data Refinitiv.
Berdasarkan data dari RTI, nilai transaksi sepanjang perdagangan hari ini sebesar Rp 12,51 triliun, dengan investor asing melakukan aksi beli bersih Rp 670,13 miliar di pasar reguler dan non-reguler.
Selain itu, perdagangan kemarin juga mencatat rekor frekuensi transaksi terbanyak, mengalahkan rekor sebelumnya yang dibukukan pada 12 September 2019.
"Untuk perdagangan saham hari ini, tercatat rekor frekuensi transaksi tertinggi, yaitu sebanyak 879.652 kali. Rekor sebelumnya tercatat sebanyak 655.380 kali pada tanggal 12 Sept 2019 yang lalu," kata Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI Laksono Widodo, Kamis (26/3/2020).
Sementara di pasar obligasi, yield Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun turun 4,7 basis poin (bps) menjadi 8,275%.
Sebagai informasi, pergerakan yield berbanding terbaik dengan harganya, ketika yield naik berarti harga sedang turun, sebaliknya ketika yield turun artinya harga sedang naik. Ketika harga naik, itu berarti sedang ada aksi beli di pasar obligasi.
Berkat penguatan di pasar saham dan obligasi tersebut, nilai tukar rupiah kembali perkasa. Begitu perdagangan kemarin dibuka, rupiah langsung melesat 1,52% ke Rp 16.200/US$, dan memimpin penguatan mata uang utama Asia.
Tetapi sayangnya posisi tersebut gagal dipertahankan, penguatan rupiah terpangkas dan mengakhiri perdagangan di level Rp 16.275/US$ atau menguat 1,06% di pasar spot melansir data Refinitiv.
Rupiah mengakhiri perdagangan di posisi terbaik ketiga, posisi yang sama juga diraih pada perdagangan Selasa (24/3/2020) lalu.
Pada hari Selasa dan Rabu sentimen pelaku pasar sedang bagus-bagusnya, hal tersebut tercermin dari rally bursa saham global. Bursa saham AS (Wall Street) sebagai kiblat bursa saham dunia memimpin penguatan tajam selama 2 hari tersebut.
Tetapi, pasar dalam negeri libur Hari Raya Nyepi di hari Rabu, sehingga tidak bisa mengikuti pergerakan tersebut. Baru di hari Kamis, IHSG mengejar bursa lainnya, sehingga mampu mencetak penguatan lebih dari 10%.
Membaiknya sentimen pelaku pasar dipicu oleh Pemerintah dan Senat AS telah mencapai kata sepakat untuk mengucurkan stimulus jumbo senilai US$ 2 triliun, yang dikatakan terbesar sepanjang sejarah. Stimulus tersebut bahkan dua kali lipat lebih besar dari nilai perekonomian Indonesia.
Kesepakatan tersebut kini masih dalam tahap Rancangan Undang-Undang (RUU), dan sudah di-voting di Senat, dan disetujui secara mutlak. RUU tersebut kini dilemparkan ke House of Representative (DPR) guna di-voting, jika disepakati selanjutnya akan ditandatangani oleh Presiden AS Donald Trump dan sah menjadi Undang-undang. DPR AS rencananya akan melakukan voting pada hari Jumat waktu setempat.
Bursa saham AS (Wall Street) kembali menguat pada perdagangan Kamis (26/3/2020), melanjutkan kenaikan 2 hari beruntun sebelumnya.
Indeks Dow Jones menguat 6,4% ke 22.552,17, dan dalam tiga hari tercatat melesat lebih dari 20%. Dow Jones juga membukukan penguatan tiga hari terbesar sejak 1931. Indeks S&P 500 menguat 6,2% ke 2.630,07, sementara Nasdaq naik 5,6% ke 7,797,54.
Wall Street masih tetap melesat naik meski data ekonomi AS mulai memperlihatkan dampak buruk dari penyebaran pandemi COVID-19. Departemen Tenaga Kerja AS pada Kamis kemarin melaporkan klaim tunjangan pengangguran naik menjadi lebih dari 3 juta klaim dalam sepekan yang berakhir 21 Maret.
Pandemi COVID-19 membuat aktivitas ekonomi di AS merosot drastis. Tidak hanya di AS, tetapi juga secara global.
Berdasarkan data dari Johns Hopkins CSSE, hingga saat ini di AS jumlah kasus COVID-19 mencapai 80.021 kasus dengan korban meninggal sebanyak 1.136 dan 619 orang sembuh. AS kini menjadi negara dengan jumlah kasus terbanyak ketiga setelah China dan Italia, bahkan tidak menutup kemungkinan akan menjadi yang terbanyak mengingat lonjakan kasus baru terjadi belakangan ini, sementara di China sebagai tempat awal munculnya virus corona, penyebarannya secara domestik sudah terhenti.
Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) sebelumnya sudah memperingatkan AS kemungkinan akan menjadi episentrum baru COVID-19 setelah Eropa.
Secara global, lebih dari 170 negara sudah terpapar COVID-19, dengan jumlah kasus lebih dari 500.000, korban meninggal lebih dari 23.000 orang, dan yang sembuh lebih dari 120.000 orang.
"Kita semua tahun rasa sakit yang dirasakan dan kerusakan ekonomi yang ditimbulkan oleh virus ini, tapi karena kita sudah semakin dekat untuk melewati yang terburuk dari penyebarannya, kita perlu mulai menjadi kreatif untuk memikirkan bagaimana restart itu akan terjadi" tulis Peter Boockvar, kepala investasi di Bleakley Advisory Group sebagaimana dikutip CNBC International.
Pelaku pasar sepertinya sudah mengantisipasi hal terburuk yang akan terjadi di perekonomian AS, tetapi sudah mulai sadar jika hal tersebut hanya sementara. Ekonomi AS akan segera bangkit begitu pandemi berakhir, apalagi Pemerintah AS akan menggelontorkan stimulus jumbo US$ 2 triliun.
Seperti disebutkan di halaman sebelumnya RUU stimulus US$ 2 triliun tersebut saat ini sudah disetujui oleh Senat AS dan akan di-voting di DPR pada Jumat pagi waktu setempat. Ketua DPR AS, Nancy Pelosi mengatakan, RUU tersebut akan disetujui dan mendapat dukungan penuh dari DPR.
Wall Street langsung melesat kembali merespon pernyataan Pelosi tersebut. Setelah perdagangan dalam negeri dan pasar Asia berakhir Kamis kemarin, pengumuman kebijakan moneter bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) sedikit mengecewakan pelaku pasar.
Di bulan ini bank sentral pimpinan Mark Carney ini sudah memangkas suku bunga acuannya sebanyak 2 kali hingga menjadi 0,1%, begitu juga dengan program pembelian aset atau quantitative easing (QE) yang jumlahnya ditambah menjadi 645 miliar poundsterling dari sebelumnya 435 miliar poundsterling. Semuanya dilakukan demi meminimalisir dampak COVID-19 ke perekonomian.
Tetapi pelaku pasar menginginkan stimulus yang lebih besar lagi, dan belum dipenuhi oleh BoE. Meski demikian, BoE berjanji akan menambah jumlah QE jika diperlukan untuk mendukung perekonomian atau menjaga likuiditas di pasar.
Bursa saham Eropa berada di zona merah merespon pengumuman kebijakan moneter dari BoE.
Kemudian dari Negeri Paman Sam, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan lonjakan klaim pengangguran hingga mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah. Maklum saja, pandemi COVID-19 sudah membuat beberapa negara bagian menerapkan kebijakan karantina wilayah (lockdown), juga ada perusahaan yang melakukan PHK.
Data yang dirilis menunjukkan jumlah klaim tunjangan pengangguran mencapai 3,82 juta klaim, jauh melampau rekor tertinggi sebelumnya 695.000 klaim pada bulan Oktober 1982. Jumlah tersebut juga lebih dari dua kali lipat hasil survei yang dilakukan Dow Jones memprediksi sebanyak 1,5 juta klaim.
Data klaim pengangguran dianggap sebagai indikator yang paling cepat untuk melihat kondisi perekonomian saat ini. Pada pekan lalu, klaim tunjangan pengangguran hanya sebanyak 282.000, itu menunjukkan ekonomi AS mendapat pukulan hebat dari pandemi COVID-19.
Data tersebut sempat membuat indeks saham berjangka (futures) Wall Street ke zona merah. Tetapi pada akhirnya Wall Street dibuka di zona hijau bahkan mencatat penguatan tajam setelah Ketua DPR AS Nancy Pelosi menyatakan RUU stimulus senilai US$ 2 triliun akan disetujui dan mendapat dukungan penuh dari DPR.
Penguatan Wall Street tersebut turut mengerek bursa saham Eropa ke zona hijau, dan tentunya mengirim hawa positif ke pasar Asia hari ini, Jumat (27/3/2020).
Penguatan Wall Street saat data klaim tunjangan pengangguran AS melonjak ke level tertinggi sepanjang sejarah memunculkan "bisik-bisik" jika yang terburuk bagi pasar finansial sudah berakhir.
“Pasar dan perekonomian tidak berjalan secara pararel. Pasar berjalan jauh di depan perekonomian. Pasar tidak peduli pada yang terjadi saat ini, pasar peduli apa yang terjadi dalam enam bulan ke depan” kata Randy Frederick, wakil presiden trading derivatif di Charles Schwab.
Dalam beberapa pekan terakhir, berbagai prediksi tentang ekonomi AS dan global sudah dirilis, dan semuanya menggambarkan bagaimana buruknya efek dari COVID-19. Ekonomi AS diprediksi berkontraksi dalam, bahkan melebihi 20% di kuartal II-2020, hingga memasuki resesi. Hal tersebut terus memicu aksi jual di bursa saham global.
Tetapi semua prediksi tersebut juga menyebutkan perekonomian AS dan global akan segera bangkit begitu pandemi berakhir. Pelaku pasar sudah mulai melihat ke arah itu, apalagi setelah stimulus moneter dan bank sentral di dunia dan stimulus fiskal dari pemerintah di berbagai negara sudah digelontorkan. Begitu pandemi berakhir, perekonomian akan langsung terakselerasi. Aset-aset bersiko pun kembali dilirik.
Wall Street sudah mencetak penguatan tiga hari beruntun, dengan indeks Dow Jones melesat lebih dari 20%. Sementara IHSG baru menguat sekali, tetapi sudah melesat lebih dari 10%. Penguatan kiblat bursa saham dunia tersebut dapat membawa IHSG kembali ke zona hijau lagi di perdagangan terakhir pekan ini.
Jika itu terjadi, sentimen pelaku pasar bisa jadi perlahan semakin stabil, dan masuk juga ke pasar obligasi RI. Dampaknya, rupiah bisa perkasa lagi setelah membukukan penguatan 2 hari beruntun.
Kabar bagus lainnya, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), mengatakan ada tanda penyebaran COVID-19 di Eropa mulai menurun.
"Meski situasi tetap sangat serius, kami mulai melihat beberapa tanda yang menenangkan hati," kata Direktur Regional WHO untuk Eropa, Hans Kluge, dikutip dari AFP, Kamis (26/3/2020).
"Italia, yang memiliki jumlah kasus tertinggi di kawasan (Eropa), baru saja menunjukkan kenaikan yang lebih rendah (pada kasus infeksi corona)."
"Meskipun demikian, terlalu dini untuk mengatakan bahwa pandemi sudah mencapai puncaknya di negeri itu" kata Kluge.
Sementara itu dari dalam negeri, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kemarin merilis Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 23 tahun 2020 tentang pemberian insentif perpajakan bagi pelaku usaha yang terdampak corona atau Covid-19. Aturan ini akan mulai berlaku pada 1 April 2020.
Setidaknya, ada empat insentif di bidang perpajakan yang akan di berikan Sri Mulyani sebagai langkah membantu Wajib Pajak (WP) terdampak wabah Virus Corona.
"Keempat insentif tersebut terkait dengan ketentuan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21, PPh Pasal 22 Impor, PPh Pasal 25 dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)," tulis keterangan resmi Kemenkeu, Kamis (26/3/2020).
Dengan insentif tersebut diharapkan mampu meminimalisir dampak COVID-19 ke perekonomian. Dan ketika pandemi ini berakhir, roda perekonomian Indonesia bisa langsung terakselerasi. Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Laba Industri China (8:30 WIB)
- Pertumbuhan Kredit Indonesia (2:10 WIB)
- Sentimen bisnis dan konsumen Italia (16:00 WIB)
- Inflasi inti PCE Amerika Serikat (19:30 WIB)
- Belanja personal Amerika Serikat (19:30 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (2019 YoY) | 5,02% |
Inflasi (Februari 2020 YoY) | 2,68% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Maret 2020) | 4,5% |
Defisit anggaran (APBN 2020) | -1,76% PDB |
Transaksi berjalan (2019) | -2,72% PDB |
Cadangan devisa (Februari 2020) | US$ 130,44 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap) Next Article Pasar Optimis The Fed Dovish, IHSG Bakal Melaju Kencang?
Most Popular