
Kalau Bisa Jebol Rp 16.200/US$, Rupiah Bakal Terus Menguat
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
26 March 2020 13:56

Jakarta, CNBCÂ Indonesia -Â Nilai tukar rupiah menguat tajam melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (26/3/2020), akibat membaiknya sentimen pelaku pasar sehingga kembali masuk ke aset-aset berisiko.
Setelah libur Hari Raya Nyepi Rabu kemarin, rupiah langsung menguat 1,52% ke Rp 16.200/US$ begitu perdagangan hari ini dibuka. Namun sayang, level tersebut menjadi yang terkuat bagi rupiah hingga siang ini. Penguatan rupiah terpangkas dan berada di level Rp 16.250/US$ atau menguat 1,22% di pasar spot melansir data Refinitiv.
Rupiah sudah menunjukkan tanda-tanda bangkit sejak perdagangan Selasa, kala itu mampu menguat 0,6% dan menjadi mata uang dengan kinerja terbaik ke-tiga di Asia.
Seperti diketahui sebelumnya, pada Selasa lalu Pemerintah dan Senat AS telah mencapai kata sepakat untuk mengucurkan stimulus senilai US$ 2 triliun, yang dikatakan terbesar sepanjang sejarah. Stimulus tersebut bahkan dua kali lipat lebih besar dari nilai perekonomian Indonesia.
Kesepakatan tersebut kini masih dalam tahap Rancangan Undang-Undang (RUU) dan harus di-voting di Kongres AS, sebelum ditandatangani Presiden AS, Donald Trump.
Dengan gelontoran stimulus tersebut, perekonomian Negeri Paman Sam diharapkan masih bisa berputar meski sedang mengalami pandemi virus corona (COVID-19), dan akan berakselerasi kencang begitu COVID-19 berhasil dihentikan.
Membaiknya sentimen pelaku pasar tercermin dari rally bursa global dalam dua hari beruntun. Indeks Dow Joens di bursa saham AS bahkan mencatat kenaikan 11% di hari Selasa, menjadi kenaikan harian terbesar dalam 87 tahun terakhir.
Ketika sentimen pelaku pasar membaik, maka aset-aset berimbal hasil tinggi kembali menjadi target investasi, rupiah pun mendapat rejeki.
Hal tersebut terlihat dari pergerakan pasar keuangan dalam negeri. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melesat nyaris 10% di akhir perdagangan sesi I, dengan investor asing melakukan aksi beli bersih Rp 404,4 miliar di pasar reguler.
Sementara di pasar obligasi, yield Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun turun 4,7 basis poin (bps) menjadi 8,275%.
Sebagai informasi, pergerakan yield berbanding terbaik dengan harganya, ketika yield naik berarti harga sedang turun, sebaliknya ketika yield turun artinya harga sedang naik. Ketika harga naik, itu berarti sedang ada aksi beli di pasar obligasi.
Pergerakan seperti ini sudah terjadi di awal tahun ini, ketika kesepakatan dagang AS-China membuat sentimen pelaku pasar membaik, outlook perekonomian tahun ini jadi lebih bagus dibandingkan tahun lalu, capital inflow mengalir deras ke RI dan rupiah menjadi mata yang terbaik di dunia setelah menguat lebih dari 2% di bulan Januari.
Selain itu, dolar AS juga sedang mengalami tekanan setelah bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed). mengumumkan stimulus moneter yang masif pada hari Senin waktu setempat.
The Fed mengumumkan akan melakukan program pembelian aset atau quantitative easing (QE) dengan nilai tak terbatas guna membantu perekonomian AS menghadapi tekanan dari pandemi virus corona (COVID-19). Aset yang akan dibeli seperti obligasi pemerintah, efek beragun aset perumahan (Residential Mortgage-Backed Security/RMBS), dan beberapa jenis efek lainnya.
The Fed mengatakan akan melakukan QE seberapapun yang dibutuhkan untuk mendukung kelancaran fungsi pasar serta transmisi kebijakan moneter yang efektif di segala kondisi finansial dan ekonomi.
"Tidak seperti pasca krisis finansial global (2008), saat itu nilai QE The Fed terbatas setiap bulannya, kali ini jumlahnya tak terbatas" kata Ray Attril, kepala strategi valas di National Australia Bank, sebagaimana dilansir CNBC International.
Jumlah yang tak terbatas tersebut artinya The Fed akan membeli seberapapun aset yang diperlukan guna menyediakan likuditas di pasar. Banjir likuiditas tersebut membuat dolar AS melemah, dan dengan sentimen pelaku pasar yang membaik, rupiah akhirnya perkasa kembali.
Setelah libur Hari Raya Nyepi Rabu kemarin, rupiah langsung menguat 1,52% ke Rp 16.200/US$ begitu perdagangan hari ini dibuka. Namun sayang, level tersebut menjadi yang terkuat bagi rupiah hingga siang ini. Penguatan rupiah terpangkas dan berada di level Rp 16.250/US$ atau menguat 1,22% di pasar spot melansir data Refinitiv.
Rupiah sudah menunjukkan tanda-tanda bangkit sejak perdagangan Selasa, kala itu mampu menguat 0,6% dan menjadi mata uang dengan kinerja terbaik ke-tiga di Asia.
Seperti diketahui sebelumnya, pada Selasa lalu Pemerintah dan Senat AS telah mencapai kata sepakat untuk mengucurkan stimulus senilai US$ 2 triliun, yang dikatakan terbesar sepanjang sejarah. Stimulus tersebut bahkan dua kali lipat lebih besar dari nilai perekonomian Indonesia.
Kesepakatan tersebut kini masih dalam tahap Rancangan Undang-Undang (RUU) dan harus di-voting di Kongres AS, sebelum ditandatangani Presiden AS, Donald Trump.
Dengan gelontoran stimulus tersebut, perekonomian Negeri Paman Sam diharapkan masih bisa berputar meski sedang mengalami pandemi virus corona (COVID-19), dan akan berakselerasi kencang begitu COVID-19 berhasil dihentikan.
Membaiknya sentimen pelaku pasar tercermin dari rally bursa global dalam dua hari beruntun. Indeks Dow Joens di bursa saham AS bahkan mencatat kenaikan 11% di hari Selasa, menjadi kenaikan harian terbesar dalam 87 tahun terakhir.
Ketika sentimen pelaku pasar membaik, maka aset-aset berimbal hasil tinggi kembali menjadi target investasi, rupiah pun mendapat rejeki.
Hal tersebut terlihat dari pergerakan pasar keuangan dalam negeri. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melesat nyaris 10% di akhir perdagangan sesi I, dengan investor asing melakukan aksi beli bersih Rp 404,4 miliar di pasar reguler.
Sementara di pasar obligasi, yield Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun turun 4,7 basis poin (bps) menjadi 8,275%.
Sebagai informasi, pergerakan yield berbanding terbaik dengan harganya, ketika yield naik berarti harga sedang turun, sebaliknya ketika yield turun artinya harga sedang naik. Ketika harga naik, itu berarti sedang ada aksi beli di pasar obligasi.
Pergerakan seperti ini sudah terjadi di awal tahun ini, ketika kesepakatan dagang AS-China membuat sentimen pelaku pasar membaik, outlook perekonomian tahun ini jadi lebih bagus dibandingkan tahun lalu, capital inflow mengalir deras ke RI dan rupiah menjadi mata yang terbaik di dunia setelah menguat lebih dari 2% di bulan Januari.
Selain itu, dolar AS juga sedang mengalami tekanan setelah bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed). mengumumkan stimulus moneter yang masif pada hari Senin waktu setempat.
The Fed mengumumkan akan melakukan program pembelian aset atau quantitative easing (QE) dengan nilai tak terbatas guna membantu perekonomian AS menghadapi tekanan dari pandemi virus corona (COVID-19). Aset yang akan dibeli seperti obligasi pemerintah, efek beragun aset perumahan (Residential Mortgage-Backed Security/RMBS), dan beberapa jenis efek lainnya.
The Fed mengatakan akan melakukan QE seberapapun yang dibutuhkan untuk mendukung kelancaran fungsi pasar serta transmisi kebijakan moneter yang efektif di segala kondisi finansial dan ekonomi.
"Tidak seperti pasca krisis finansial global (2008), saat itu nilai QE The Fed terbatas setiap bulannya, kali ini jumlahnya tak terbatas" kata Ray Attril, kepala strategi valas di National Australia Bank, sebagaimana dilansir CNBC International.
Jumlah yang tak terbatas tersebut artinya The Fed akan membeli seberapapun aset yang diperlukan guna menyediakan likuditas di pasar. Banjir likuiditas tersebut membuat dolar AS melemah, dan dengan sentimen pelaku pasar yang membaik, rupiah akhirnya perkasa kembali.
Next Page
Analisis Teknikal
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular