
Newsletter
Kasus Corona Global Kini 200 Ribu, Apa Kabar IHSG?
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
19 March 2020 06:05

Jakarta, CNBC Indonesia - Pembaca yang budiman, kita tidak bisa mengelak dari kenyataan bahwa pasar keuangan tanah air sedang mengalami masa-masa yang sangat berat. Sejak COVID-19 dinyatakan sebagai pandemi, pasar finansial domestik makin tertekan hebat.
Mari kita tengok bursa saham tanah air. Kemarin (18/3/2020), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi 2,83%. Jika periodenya ditarik sampai ke awal tahun, koreksi IHSG sudah bukan main lagi dalamnya. IHSG anjlok 31,25% secara year to date (ytd).
Asing terus kabur dari pasar saham RI. Kemarin saja, asing membukukan net sell Rp 258,5 miliar. Artinya jika ditotal net sell asing sejak awal tahun mencapai Rp 8,8 triliun. Merebaknya wabah COVID-19 telah menjadi ancaman bagi kesehatan, keamanan hingga pasar keuangan dan perekonomian.
Tak hanya pasar saham saja yang ditinggalkan. Pasar Surat Utang Negara (SUN) juga mengalami nasib serupa. Kemarin obligasi pemerintah RI yang bertenor 10 tahun kembali mengalami kenaikan imbal hasil (yield) sebesar 3,4 basis poin.
Kenaikan yield mengindikasikan adanya penurunan harga, karena harga dan imbal hasil memiliki hubungan yang berbanding terbalik. Penurunan harga jadi salah satu indikator bahwa surat utang pemerintah sedang dalam tekanan jual.
Asing yang kabur dari dalam negeri telah memicu aliran dana keluar yang masif. Bank Indonesia (BI) mencatat, hingga 10 Maret 2020 total capital outflows dari pasar saham maupun obligasi pemerintah RI sudah mencapai Rp 40,16 triliun.
Ya wajar saja kalau kinerja mata uang tanah air juga ikut terbebani. Nilai tukar rupiah kemarin ditutup terdepresiasi di hadapan dolar greenback sebesar 0,26%. Per 17 Maret 2020, rupiah telah menembus level psikologis Rp 15.000/US$. Pada penutupan perdagangan spot kemarin untuk US$ 1 dibanderol Rp 15.200.
Sebenarnya, pasar sempat mendapat angin segar ketika Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump berencana untuk menggelontorkan anggaran stimulus melawan COVID-19 sebesar US$ 850 miliar - US$ 1 triliun.
Stimulus fiskal yang agresif untuk meredam dampak wabah terhadap perekonomian adalah hal yang ingin didengar oleh pasar. Namun Mr. Market adalah sosok yang sangat mudah berubah mood-nya (mood swing).
Kabar bagus ini tak serta merta membuat bursa saham utama Asia ditutup menghijau kemarin. Hanya Thailand dan Vietnam saja yang berhasil melenggang ke zona hijau pada penutupan perdagangan. Sisanya bisa ditebak, jatuh ke dalam zona merah. Sementara itu, bursa Filipina tutup karena lockdown untuk mencegah transmisi wabah yang semakin tak terkendali.
Padahal setelah kabar Trump berencana memberikan stimulus besar-besaran beredar, pasar saham AS langsung dipenuhi dengan euforia. Dow Jones ditutup melompat lebih dari 5%, sementara S&P 500 dan Nasdaq Composite masing-masing terangkat 6% dan 6,2%. Namun sentimen positif ini tetap saja tak mampu menyelamatkan bursa saham tanah air dan bursa Asia dari zona koreksi.
Mari kita tengok bursa saham tanah air. Kemarin (18/3/2020), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi 2,83%. Jika periodenya ditarik sampai ke awal tahun, koreksi IHSG sudah bukan main lagi dalamnya. IHSG anjlok 31,25% secara year to date (ytd).
Asing terus kabur dari pasar saham RI. Kemarin saja, asing membukukan net sell Rp 258,5 miliar. Artinya jika ditotal net sell asing sejak awal tahun mencapai Rp 8,8 triliun. Merebaknya wabah COVID-19 telah menjadi ancaman bagi kesehatan, keamanan hingga pasar keuangan dan perekonomian.
Tak hanya pasar saham saja yang ditinggalkan. Pasar Surat Utang Negara (SUN) juga mengalami nasib serupa. Kemarin obligasi pemerintah RI yang bertenor 10 tahun kembali mengalami kenaikan imbal hasil (yield) sebesar 3,4 basis poin.
Kenaikan yield mengindikasikan adanya penurunan harga, karena harga dan imbal hasil memiliki hubungan yang berbanding terbalik. Penurunan harga jadi salah satu indikator bahwa surat utang pemerintah sedang dalam tekanan jual.
Asing yang kabur dari dalam negeri telah memicu aliran dana keluar yang masif. Bank Indonesia (BI) mencatat, hingga 10 Maret 2020 total capital outflows dari pasar saham maupun obligasi pemerintah RI sudah mencapai Rp 40,16 triliun.
Ya wajar saja kalau kinerja mata uang tanah air juga ikut terbebani. Nilai tukar rupiah kemarin ditutup terdepresiasi di hadapan dolar greenback sebesar 0,26%. Per 17 Maret 2020, rupiah telah menembus level psikologis Rp 15.000/US$. Pada penutupan perdagangan spot kemarin untuk US$ 1 dibanderol Rp 15.200.
Sebenarnya, pasar sempat mendapat angin segar ketika Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump berencana untuk menggelontorkan anggaran stimulus melawan COVID-19 sebesar US$ 850 miliar - US$ 1 triliun.
Stimulus fiskal yang agresif untuk meredam dampak wabah terhadap perekonomian adalah hal yang ingin didengar oleh pasar. Namun Mr. Market adalah sosok yang sangat mudah berubah mood-nya (mood swing).
Kabar bagus ini tak serta merta membuat bursa saham utama Asia ditutup menghijau kemarin. Hanya Thailand dan Vietnam saja yang berhasil melenggang ke zona hijau pada penutupan perdagangan. Sisanya bisa ditebak, jatuh ke dalam zona merah. Sementara itu, bursa Filipina tutup karena lockdown untuk mencegah transmisi wabah yang semakin tak terkendali.
Padahal setelah kabar Trump berencana memberikan stimulus besar-besaran beredar, pasar saham AS langsung dipenuhi dengan euforia. Dow Jones ditutup melompat lebih dari 5%, sementara S&P 500 dan Nasdaq Composite masing-masing terangkat 6% dan 6,2%. Namun sentimen positif ini tetap saja tak mampu menyelamatkan bursa saham tanah air dan bursa Asia dari zona koreksi.
Next Page
Aduh! Wall Street Ambrol Lagi
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular