Corona Bikin Aksi Jual Massal, Rupiah Lesu di Rp 15.200/US$

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
18 March 2020 17:44
Rupiah sebenarnya membuka perdagangan hari ini dengan menguat 0,53% ke Rp 15.080/US$.
Foto: Ilustrasi Rupiah dan Dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah kembali melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (18/3/2020) akibat aksi jual yang terus berlanjut di pasar keuangan Indonesia.

Rupiah sebenarnya membuka perdagangan hari ini dengan menguat 0,53% ke Rp 15.080/US$. Tetapi tidak lama, rupiah langsung masuk ke zona merah, bahkan hingga ke Rp 15.215/US$ atau melemah 0,36%. Level tersebut merupakan yang terlemah sejak Oktober 2018.

Di akhir perdagangan, rupiah mampu memangkas pelemahan menjadi 0,26% dan mengakhiri perdagangan di Rp 15.200/US$ di pasar spot, melansir data Refinitiv.

Kecuali yen Jepang, semua mata uang utama Asia melemah melawan dolar AS pada hari ini. Hingga pukul 16:45 WIB, won Korea Selatan menjadi mata uang dengan kinerja terburuk setelah melemah 1,59%.

Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Benua Kuning.



Fakta hanya yen yang menguat melawan dolar AS menunjukkan sentimen pelaku pasar yang masih buruk dan menghindari aset-aset berisiko.

Aksi jual di pasar keuangan dalam negeri akhirnya kembali berlanjut. Di pasar saham, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah 2,83% mengakhiri perdagangan di level 4.330,674.

Berdasarkan data RTI, nilai transaksi di perdagangan hari ini sebesar Rp 8,11 triliun, dengan investor asing melakukan aksi jual sebesar Rp 262,83 miliar.
Sejak awal pekan, atau dalam tiga hari perdagangan IHSG sudah ambles 12,24%.

Sementara itu dari pasar obligasi, yield Surat Utang Negara (SUN) naik 3,6 basis poin (bps) menjadi 7,583%. Sejak awal pekan, yield tercatat sudah naik 28,7 bps, dan saat ini berada di level tertinggi sejak Agustus 2019.

Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun. Saat harga sedang turun, itu artinya sedang terjadi aksi jual di pasar obligasi.

Aksi jual tidak hanya terjadi di pasar keuangan dalam negeri, tetapi secara global. Dari bursa Asia, indeks Shanghai Composite China dan Nikkei Jepang melemah lebih dari 1,5%, sementara Hang Seng Hong Kong dan Kospi Korea Selatan ambles lebih dari 4%.

Kemudian dari Eropa, indeks DAX 20 Jerman memimpin pelemahan sebesar 3,5%, disusul FTSE 100 Inggris nyaris 3%, CAC 40 Perancis nyaris 2%, dan FTSE MIB Italia lebih dari 1%.


Indeks berjangka (futures) Wall Street juga kembali merosot, hingga sore ini, Dow Jones, S&P 500, dan Nasdaq futures merosot sekitar 4%. Indeks futures yang merah tersebut menjadi indikasi Wall Street kembali akan merosot pada hari ini. Kemarin, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 5,2%, S&P 500 melompat 6%, dan Nasdaq Composite terangkat 6,2%.

Euforia akan stimulus moneter di berbagai negara ternyata hanya kesenangan sesaat. Pandemi virus corona (COVID-19) yang terus meluas di luar China, dan diprediksi akan berlangsung dalam beberapa bulan ke depan membuat pelaku pasar melakukan aksi jual di bursa saham. Tidak hanya di bursa saham, emas yang merupakan aset aman (safe haven) juga mengalami aksi jual.

Emas biasanya akan menguat jika terjadi gejolak di pasar finansial, tetapi kali ini emas juga merosot.

"Pasar sangat bimbang dan ada banyak pendapat yang berbeda. Investor saat ini membuat segalanya, dan mereka hanya ingin uang tunai" kata Margaret Yang Yan, analis CMC Market, sebagaimana dilansir CNBC International.

Emas yang menyandang status safe haven saja bisa diterpa aksi jual, apalagi aset-aset negara emerging market seperti Indonesia, akibatnya rupiah terus tertekan.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular