Newsletter

Kasus Corona Global Kini 200 Ribu, Apa Kabar IHSG?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
19 March 2020 06:05
Kejatuhan Harga Minyak & Kebijakan BI juga jadi Sentimen yang Warnai Pasar Hari Ini
Foto: Ilustrasi: Labirin pipa dan katup minyak mentah di Strategic Petroleum Reserve di Freeport, Texas, AS 9 Juni 2016. REUTERS / Richard Carson / File Foto
Selain kejatuhan Wall Street dan perkembangan kasus COVID-19 baik di luar maupun dalam negeri, investor perlu mencermati sentimen berupa kembali anjloknya harga minyak yang berpotensi besar meningkatkan volatilitas pasar pada perdagangan hari ini.

Harga minyak anjlok lagi. Kini harga minyak sudah makin mendekati level US$ 20/barel. Brent dihargai US$ 24,67/barel dan terendah sejak 2003. Sementara minyak mentah acuan AS yakni West Texas Intermediate dihargai US$ 20,37/barel dan menjadi level terendah sejak Februari 2002.



Kejatuhan harga minyak sendiri disebabkan oleh dua hal. Pertama adalah permintaan yang merosot akibat pandemi COVID-19 yang memukul sektor perjalanan dan pariwisata serta aktivitas bisnis.

Penyebab kedua adalah gagalnya OPEC+ capai kesepakatan terkait volume produksi minyaknya yang memicu Arab Saudi geram. Sebelumnya Arab Saudi mengusulkan pemangkasan produksi minyak ekstra sebesar 1,5 juta barel per hari (bpd) hingga akhir tahun demi menstabilkan harga di pasar.

Namun usulan tersebut ditolak oleh Rusia. Nasib kongsi yang dibentuk tiga tahun lalu kini jadi terombang-ambing. Arab yang sudah terlanjur mutung memutuskan untuk mendiskon harga minyaknya dan berencana menaikkan produksi hingga 12 juta bpd pada April nanti. Perlu diketahui bersama produksi minyak Arab Saudi pada Februari lalu sebesar 9,7 juta bpd.

Kala permintaan minyak turun akibat wabah, pasar justru berpotensi kebanjiran pasokan karena Arab Saudi berencana akan meningkatkan outputnya. Inilah faktor yang jadi pemicu anjloknya harga minyak mentah.

Bagaimanapun juga kejatuhan harga minyak semakin membuat suasana tidak kondusif. Saat ini yang menjadi kekhawatiran semua orang adalah COVID-19 akan menyeret dunia ke dalam resesi global.

Hal ini cenderung membuat pasar dipenuhi dengan sentimen risk off. Ketika aset-aset berisiko seperti saham dilego, aset safe haven seperti emas dan obligasi pemerintah AS yang harusnya diburu malah ikutan dilego.

Alhasil harga emas turun dan imbal hasil obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun justru naik. Di saat-saat seperti ini, indeks dolar justru mengalami kenaikan. Artinya ada indikasi yang menunjukkan uang tunai menjadi aset yang diburu saat ini.



Hari ini Bank Indonesia (BI) dijadwalkan untuk mengumumkan suku bunga acuan, BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI 7-DRRR). Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan Gubernur Perry Warjiyo dan sejawat akan menurunkan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4,25%. Namun konsensus itu tidak terbentuk secara aklamasi.

Dari 12 institusi yang berpartisipasi dalam pembentukan konsensus, enam yang meramal BI 7 Day Reverse Repo Rate diturunkan ke 4,5%. Kemudian lima di antaranya memperkirakan suku bunga acuan ditahan di 4,75%. Sementara satu memproyeksi pemangkasan suku bunga acuan lebih agresif yaitu 50 bps menjadi 4,25%.

Institusi

BI 7 Day Reverse Repo Rate

CIMB Niaga

4.75

ING

4.75

Citi

4.75

BCA

4.75

Moody's Analytics

4.5

BNI Sekuritas

4.5

Maybank Indonesia

4.5

Danareksa Research Institute

4.5

Standard Chartered

4.5

Bank Danamon

4.5

Bahana Sekuritas

4.75

Mirae Asset

4.25

MEDIAN

4.5


Sumber : CNBC Indonesia Polling

Dipangkas atau tidak dipangkas, pada dasarnya pasar masih berpotensi besar mengalami tekanan dan bergerak dengan volatilitas tinggi. Kalau ingin pasar mulai normal lagi, ya musuh utamanya disingkirkan dulu (COVID-19). (twg)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular