Update Polling CNBC Indonesia

Neraca Perdagangan Januari Diramal Tekor US$ 152 Juta

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
14 February 2020 09:46
Neraca Perdagangan Januari Diramal Tekor US$ 152 Juta
Ilustrasi Aktivitas di Pelabuhan (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
  • Menambah proyeksi Bank Danamon.

Jakarta, CNBC Indonesia - 
Neraca perdagangan Indonesia diperkirakan masih membukukan defisit pada Januari 2020. Bahkan defisitnya lebih dalam ketimbang bulan sebelumnya.

Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data perdagangan internasional Indonesia pada awal pekan depan. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia menghasilkan nilai median pertumbuhan ekspor di 1,37% year-on-year (YoY).

Sementara impor masih menunjukkan kontraksi (pertumbuhan negatif) sebesar 6,24% YoY. Lalu neraca perdagangan diperkirakan tekor US$ 152 juta.

Institusi

Pertumbuhan Ekspor (%YoY)

Pertumbuhan Impor (%YoY)

Neraca Perdagangan (US$ Juta)

CIMB Niaga

4.1

-0.6

-400

BCA

1.4

-4.9

-127

BNI Sekuritas

-2.36

-8.1

-177

Maybank Indonesia

1.64

-6.24

101

ING

-3.4

-5.1

-389

Bank Permata

-0.7

-8.19

66.64

Citi

3

-4.3

7.5

Danareksa Research Institute

-2.8

-8.1

-240.4

Moody's Analytics

-

-

-900

Bank Danamon

1.37

-6.72

134

MEDIAN

1.37

-6.24

-152



Jika realisasinya sesuai ekspektasi pasar, maka terjadi penurunan ketimbang Desember 2019. Kala itu, neraca perdagangan defisit US$ 28,2 juta.



Perkembangan harga komoditas sepertinya memberi pengaruh besar terhadap kinerja perdagangan. Dua komoditas ekspor andalan Indonesia mengalami penurunan harga yang cukup signifikan.

Harga batu bara sepanjang Januari turun hampir 4% secara point-to-point. Sementara harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) turun sampai nyaris 15%.

Refinitiv
 

Sepanjang 2019, ekspor bahan bakar mineral (yang didominasi batu bara) tercatat US$ 22,22 miliar, ini menyumbang 14,35% dari total ekspor non-migas. Kemudian ekspor lemak dan minyak hewan/nabati (sebagian besar CPO) adalah US$ 17,61 miliar atau 11,37% dari total ekspor non-migas.

Jadi kalau harga dua komoditas ini turun, maka sudah pasti ekspor Indonesia akan terpukul. Ditambah lagi permintaan belum pulih, karena risiko perlambatan ekonomi terutama di China.



Negeri Tirai Bambu memang telah mencapai damai dagang Fase I dengan Amerika Serikat (AS). Namun tahun ini ada risiko besar bernama penyebaran (outbreak) virus Corona.

Mengutip data satelit pemetaan ArcGis pukul 09:23 WIB, jumlah kasus virus Corona di seluruh dunia mencapai 64.422. Dari jumlah tersebut 63.841 terjadi di China. Sementara korban jiwa tercatat sebanyak 1.491 orang. Hanya tiga orang yang berasal dari luar China.


Aktivitas masyarakat yang terganggu akibat penyebaran virus Corona membuat perekonomian China hampir pasti melambat. Reuters melakukan jajak pendapat terhadap 40 ekonom yang hasilnya pertumbuhan ekonomi China kuartal I-2019 diperkirakan sebesar 4,5%. Jauh melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 6%.

Untuk pertumbuhan ekonomi sepanjang 2020, proyeksinya adalah 5,5%. Juga jauh melambat dibandingkan realisasi 2019 yang sebesar 6,1%.



"Kami tidak memperkirakan ada pemulihan yang cepat, meski penyebaran virus berkurang bahkan hilang. Setelah serangan Corona, mungkin ekonomi China butuh waktu sekitar empat kuartal untuk bangkit," kata Iris Pang, Ekonom ING, seperti diwartakan Reuters.


Perlambatan ekonomi di China berarti ada penurunan permintaan barang-barang dari negara lain, termasuk Indonesia. Padahal China adalah negara tujuan ekspor utama Tanah Air.

Badan Pusat Statistik

Jadi walau AS-China sudah menyelesaikan perang dagang, ada risiko baru yang bisa membuat ekspor Indonesia tetap lesu. Apabila sentimen virus Corona bertahan lama, maka sepertinya ekspor masih sulit diharapkan menjadi mesin pendorong pertumbuhan ekonomi.



TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular