Newsletter

Habis Kesepakatan Dagang, Terbitlah Pemakzulan

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
16 January 2020 06:51
Habis Kesepakatan Dagang, Terbitlah Pemakzulan
Foto: Edward Ricardo
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar saham dan obligasi kompak terkoreksi di tengah sentimen negatif yang menerpa pasar dunia jelang penandatanganan kesepakatan dagang fase satu antara Amerika Serikat (AS) dan China. Meski "ringkih", pasar menilai kesepakatan itu sebagai awal yang lumayan bagus daripada tidak ada kesepakatan sama sekali.

Seluruh bursa saham utama kawasan Asia nongkrong bareng di zona merah. Indeks Nikkei turun 0,29%, Shanghai Index terkoreksi 0,26%, Hang Seng terpangkas 0,12%, Straits Times melemah 0,03%, dan Kospi berkurang 0,19%.


Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup dengan pelemahan 0,66% ke level 6.283 pada Rabu (15/1/2020). Investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 16,46 miliar di pasar reguler.

Perdagangan di bursa berlangsung meriah dengan Rp 7,76 triliun transaksi, lebih besar dari transaksi Selasa kemarin. Namun rentang fluktuasinya lumayan lebar hingga 123 poin, dengan level tertinggi 6.348 dan terendah 6.255.


Secara teknikal, IHSG memiliki kecenderungan melemah, mengacu pada terbentuknya pola bearish engulfing yang menjadi ciri penurunan pada grafik candlestick. Indeks juga mulai bergerak di bawah rata-rata nilainya (moving average) selama lima hari terakhir (MA5).

Namun, potensi IHSG untuk menguat ke level psikologis 6.300 juga terbuka mengingat IHSG belum menyentuh titik jenuh beli (overbought) berdasarkan indikator teknikal Relative Strength Index (RSI).

Koreksi serupa juga terjadi di pasar obligasi, di mana Surat Utang Negara (SUN) terkoreksi menyusul pemberitaan bahwa damai dagang fase I Amerika Serikat (AS)-China tidak akan sebaik harapan dari pelaku pasar.

Seri acuan yang paling melemah adalah FR0081 yang bertenor 5 tahun dengan kenaikan imbal hasil (yield) sebesar 4,4 basis poin (bps) menjadi 6,24%. Besaran 100 bps setara dengan 1%. Kenaikan yield mengindikasikan bahwa harga surat utang tersebut sedang tertekan akibat aksi jual investor.

Namun, cerita berbeda terjadi di pasar uang, dengan rupiah yang masih bandel bertahan di area penguatan. Sempat melemah 0,04% di awal sesi ke Rp 13.670/US$, rupiah terus tertekan hingga menyentuh level Rp 13.725/US$, atau drop 0,51% sebelum tengah hari.

Perlahan rupiah berhasil memangkas pelemahan hingga mengakhiri perdagangan di level Rp 13.660/US$, atau menguat 0,04% di pasar spot. Performa hari ini membuat rupiah mempertahankan posisinya di level terkuat sejak Februari 2018.

[Gambas:Video CNBC]





Bursa saham Amerika Serikat (AS) menguat pada perdagangan Rabu (15/1/2020) dan untuk pertama kali ditutup di atas level psikologi 29.000. Kesepakatan dagang antara AS dan China dinilai sebagai kemajuan positif, meski tidak sesuai dengan harapan pasar mengenai pemangkasan tarif secara radikal dan masih sumir di aspek implementasi.

Indeks Dow Jones Industrial Average menguat 90,55 poin (0,3%) ke 29.030,22. Indeks Nasdaq menguat tipis sebesar 6,14 poin ke 9.258,7 dan S&P 500 tumbuh 8 poin (0,2%) ke 3.289,29.

AS dan China meneken pakta kesepakatan dagang fase pertama pada pukul 11:30 waktu setempat. China disebutkan sepakat untuk membeli produk AS setidaknya senilai US$ 200 miliar dalam jangka waktu 2 tahun, meliputi produk pertanian, energi, manufaktur, dan jasa.

Tidak hanya itu, kedua negara sepakat untuk menyasar isu mengenai pencurian hak atas kekayaan intelektual (HaKI) dan juga kebijakan di China yang mewajibkan adanya transfer teknologi untuk investor asing di Negeri Panda tersebut.

Disebutkan dalam naskah kesepakatan, bahwa kedua belah pihak sepakat warga negara mereka akan "bisa beroperasi secara terbuka dan bebas di wilayah yurisdiksi pihak lain tanpa ada paksaan atau tekanan dari pihak lain untuk mentransfer teknologi mereka ke individu di pihak yang lain." Artinya, transfer teknologi atau lisensi akan bersifat sukarela.

Namun, kesepakatan itu menimbulkan tanda tanya besar bagaimana pelaksanaannya secara detil di lapangan mengenai isu Haki dan transfer teknologi. Bahkan, beberapa kalangan menilai kesepakatan itu ringkih karena tak melarang AS mengenakan tarif baru, tidak ada pencabutan kenaikan tarif yang sebelumnya diberlakukan AS atas produk impor asal China.

"Akan ada tensi lanjutan mengenai China--terkait isu siber, keamanan nasional, dan hak azasi manusia. Isu tersebut tidak akan hilang, tetapi tidak akan terlalu berpengaruh pada laba bersih perusahaan di indeks S&P 500 sebagaimana pengaruh eskalasi tarif," tutur Daniel Clifton, Kepala Riset Kebijakan Strategis, sebagaimana dikutip CNBC International.

Pelaku pasar juga mencermati kinerja emiten AS kuartal IV-2019. Bank of America melaporkan kinerja di atas ekspektasi analis. Demikian juga dengan Goldman Sachs dan BlackRock. Sejauh ini baru 30 emiten konstituen indeks S&P 500 yang telah merilis kinerja keuangannya.

Dari situ, FactSet mencatat 82% di antaranya mencatatkan laba bersih di atas ekspektasi pasar. Pelaku pasar tidak terlalu berharap banyak dari kinerja keuangan emiten karena FactSet memperkirakan laba bersih konstituen indeks S&P 500 bakal anjlok 2% secara tahunan.

Isu kesepakatan dagang AS dan China masih menjadi perhatian utama pasar. Meski beberapa kalangan menilai bahwa kesepakatan tersebut masih menimbulkan banyak pertanyaan di aspek pelaksanaan, tetapi setidaknya ada harapan bahwa eskalasi kedua negara tidak berlanjut dan memperburuk keadaan di tahun 2020.

Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengatakan bahwa penurunan tarif AS ke level normal baru akan diatur dalam kesepakatan dagang fase dua, sekalipun nantinya akan berujung pada beberapa ronde negosiasi. Sejauh ini, AS baru mendiskon kenaikan tarif yang diberlakukan atas produk China sebesar separuhnya, dari 15% menjadi 7,5%.

"Sama seperti dalam kesepakatan ini bahwa ada pengurangan tarif, dalam fase kedua akan ada tambahan pengurangan," tuturnya kepada CNBC International. "Ini hanyalah pertanyaan mengenai--sebagaimana kami sebutkan sebelumnya--fase dua yang bisa menjadi 2A, 2B, 2C. Kita lihat saja."

Meski demikian, nasib perusahaan teknologi AS masih tidak jelas karena tak ada disinggung sama sekali mengenai resolusi terkait kerja-sama bisnis dengan Huawei sehingga perusahaan AS yang menjadi pemasoknya masih diliputi ketakpastian bisnis.

"Kami menilai tensi masih akan ada pada 2020," tutur Ekonom Citigroup Cesar Rojas. AS, menurut dia, memakai mekanisme tarif untuk mendongkrak posisinya di meja negosiasi dalam kesepakatan dagang fase satu, dan kemudian bakal memakai hal lain yang lebih besar seperti kajian regulasi investasi untuk menekan China.

Tepat setelah kesepakatan dagang itu ditandatangani, Trump kini menghadapi masalah politik di dalam negeri. Pasal pemakzulan terhadap Presiden AS Donald Trump resmi diajukan di Senat AS, sehingga pengadilan terhadap mantan taipan tersebut akan berlangsung secepatnya pada pekan depan.

"Harus diperjelas di sini, bahwa presiden ini akan dimintai pertanggung-jawaban," tutur Juru Bicara DPR AS Nancy Pelosi dalam dokumen pemakzulan tersebut, sebagaimana dikutip CNBC International.

Resolusi pemakzulan tersebut diajukan untuk mengadili Trump atas dugaan penyalahgunaan kekuasaan, dengan menekan Presiden Ukraina menyelidiki aktivitas bisnis rival politiknya yakni Joe Biden dan anaknya di negara tersebut.

Trump menjadi presiden AS ketiga yang akan terkena proses pemakzulan. Sepanjang sejarah Negeri Sam, kedua presiden sebelumnya yang dimakzulkan yakni Andrew Johnson (1868) dan Bill Clinton (1998), tak berujung pada pelengseran. Richard Nixon mengundurkan diri sebelum resolusi pemakzulan diajukan ke Senat.

Di tengah dinamika pasar global tersebut, ada baiknya pemodal mencermati saham-saham perbankan menyusul rilis hasil survei perbankan oleh Bank Indonesia (BI) kuartal IV-2019. Jika rilis tersebut menunjukkan masih ada sinyal pertumbuhan penyaluran kredit dan terjaganya kualitas kredit, maka saham perbankan berpotensi menguat.

Berikut adalah rilis data yang akan terjadi hari ini:

  • Pembicaraan Dagang AS & China
  • Laporan survei perbankan triwulan IV-2019 (12:00 WIB)
  • Kredit bank China November (17:00 WIB)
  • Penjualan ritel AS Desember (20:30 WIB)
  • Klaim pengangguran baru Desember (20:30 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (Kuartal III-2019)

5,02% YoY

Inflasi (Desember 2019)

2,72% YoY

BI 7-Day Reverse Repo Rate (Desember 2019)

5%

Defisit anggaran (APBN 2019)

-1,84% PDB

Transaksi berjalan (Kuartal III-2019)

-2,66% PDB

Neraca pembayaran (Kuartal III-2019)

-US$ 46 juta

Cadangan devisa (Desember 2019)

US$ 129,2 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular