Newsletter

Dow Sempat Sentuh 29.000: Awal Bubble atau Masih Sustainable?

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
13 January 2020 06:08
Dow Sempat Sentuh 29.000: Awal Bubble atau Masih Sustainable?
Jakarta, CNBC Indonesia - Lagi-lagi Donald Trump. Ulah Presiden Amerika Serikat (AS) membunuh Jenderal Iran Qasem Soleimani sukses membuat pasar berfluktuasi pekan lalu. Wall Street menyaksikan indeks Dow Jones menyentuh rekor level psikologis tertinggi baru Jumat kemarin.

Namun apa daya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi 0,76% menjadi 6.274. Indeks bursa nasional itu menempati peringkat ke-5 dari 6 indeks utama di kawasan Asia Tenggara, hanya lebih baik dari bursa saham Malaysia yang melemah 1,24%.


Nilai kapitalisasi pasar pun surut 0,74% menjadi Rp 7.238,82 triliun, atau berkurang Rp 54 triliun. Rata-rata volume transaksi harian pun berkurang 18,36% ke 7.736 miliar unit saham, dari posisi pekan sebelumnya 9.476 miliar unit. Rata-rata nilai transaksi harian ikut surut hingga 13,5% menjadi Rp 6.141 triliun, dari sebelumnya Rp 7.100 triliun.

Hanya saja, investor asing masih mencatatkan nilai beli bersih (net buy) sebesar Rp 95,2 miliar. Sepanjang tahun 2020, nilai beli bersih asing tercatat sebesar Rp 1,95 triliun. Ini mengindikasikan bahwa investor asing masih memiliki optimisme terhadap ekonomi Indonesia, sehingga masuk ke bursa saham nasional.

Menipisnya nilai transaksi dan volume perdagangan di bursa saham ini disinyalir merupakan imbas dari pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada penutupan bursa 2019 yang meminta aksi goreng-menggoreng saham dihentikan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun tengah beres-beres industri reksa dana yang asetnya diduga rugi akibat aksi tersebut.

Kinerja sebaliknya terjadi di pasar uang. Rupiah di pasar spot pada Jumat (10/1/2020) menguat 0,65% ke Rp 13.755/US$, yang merupakan level terkuat sejak April 2018. Secara akumulatif, penguatan rupiah dalam sepekan mencapai 1,2%. Kinerja tersebut sekaligus menempatkan rupiah sebagai "Raja" mata uang di Asia Tenggara dalam sepekan.


Bank Indonesia (BI) menilai penguatan itu terjadi karena pasokan valas lebih tinggi dari permintaan dan aliran modal masuk yang berlimpah, terutama ke pasar obligasi. 

Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun pada penutupan Jumat (10/1) berada di level 6,93%, turun 8 basis poin (bps) dibandingkan posisi kemarin dari posisi 7,01% dan menjadi yang terendah sejak 30 April 2018. Turunnya yield mencerminkan harga obligasi sedang naik karena tingginya permintaan.

[Gambas:Video CNBC]



Nasib pasar modal Negeri Sam berkebalikan dari IHSG yang tertekan sepekan lalu akibat krisis Iran-AS. Terkoreksi hebat di awal-awal pekan, Wall Street justru berbalik menguat dan menyentuh level psikologis tertingginya yang baru. Semuanya berkat ulah Trump.

Setelah melakukan aksi cowboy di Irak dengan mengebom Jenderal Iran Qassem Soleimani di Irak, Trump menciptakan kepanikan pasar dengan menyatakan akan menyerang Iran secara "tak setimpal" jika Negeri Persia itu membalas dengan menyerang personil ataupun fasilitas AS.

Kekhawatiran akan perang besar di kawasan tersebut pun mengemuka. Indeks Dow Jones sempat anjlok 200 poin setelah pernyataan mantan taipan properti itu. Namun pada Rabu (pekan lalu), Dow Jones berbalik menguat (rebound) dengan kenaikan sebesar 161,4 poin ke 28,745.

Trump balik arah. Merespons hujan rudal dari Iran terhadap pangkalan militer pada Rabu, Trump justru kalem dan koar-koar yang diutarakan sebelumnya tak berbukti. Sosok politisi yang pernah tampil di ajang gulat akal-akalan (reality show) WWE ini menyatakan tak akan membalas Iran.

Akibatnya, indeks Dow Jones terus menguat dan sempat menembus level psikologis tertinggi barunya 29.000, menjadi yang pertama sepanjang sejarah. Saham-saham teknologi dan layanan kesehatan menjadi penopangnya, sebelum kemudian terkoreksi dan berakhir di 28.823,77.

Pemodal menepis kekhawatiran seputar eskalasi konflik AS-Iran, tetapi sulit mengabaikan data tenaga kerja Desember yang dirilis pada Jumat dan kurang memuaskan: hanya naik 145.000 (di bawah ekspektasi ekonom dalam polling Reuters yang mengekspektasikan angka 164.000).

Rata-rata upah per jam juga mengecewakan, hanya naik 0,1% month-on-month (MoM), lebih rendah dari kenaikan bulan sebelumnya 0,3%. Secara tahunan, kenaikan hanya setara 2,9%, di bawah ekspektasi sebesar 3,1%. Rendahnya kenaikan rerata upah bakal menekan daya beli masyarakat, dan mengancam sektor konsumer di sana.

Kenaikan tersebut dicatatkan meski di atas kertas risiko konflik Timur Tengah masih tinggi, pasar untuk sesaat sedang mengalihkan perhatiannya pada hal yang lain, yakni laporan keuangan emiten di AS. Sepekan ini, pelaku bursa AS akan mencermati rilis laporan keuangan (earning session) emiten-emiten kelas kakap di Negeri Adidaya tersebut. Ada peluang cukup besar bagi kita melihat reli saham-saham unggulan yang tercatat di bursa New York tersebut.

Terlebih, sentimen pasar saat ini sedang bagus-bagusnya dengan pertemuan antara delegasi AS dan China yang akan dimulai pada Senin waktu setempat (Selasa malam di Indonesia), untuk menyiapkan pernak-pernik dan detil penandatanganan kesepakatan dagang kedua negara berperekonomian terbesar dunia tersebut.

Kesepakatan fase pertama ini bakal menjadi milestone dalam drama perang dagang yang sudah berlangsung lebih dari dua tahun terakhir. Meski belum menyelesaikan persoalan inti yang disengketakan kedua belah pihak, setidaknya kesepakatan awal ini bakal memuluskan pembicaraan untuk mengarah ke sana.

Hanya saja, dengan melihat fakta bahwa bursa AS telah meroket hingga sempat menyentuh level psikologis baru 29.000, analis pun kini diliputi pertanyaan besar yang muncul: apakah kenaikan tersebut sejalan dengan kondisi fundamental (perekonomian AS dan dunia), atau justru mengawali babak pembentukan gelembung (bubble) aset di pasar modal?

Data International Brokers Estimate System (IBES) yang dikompilasi Refinitiv menunjukkan bahwa earning season kali ini bakal tidak terlalu menyenangkan. Para analis broker kelas kakap tersebut memperkirakan laba bersih emiten konstituen indeks S&P 500 bakal melemah rata-rata 0,6%.

Catatan tambahan, pelemahan di sektor riil bisa lebih buruk dari catatan koreksi di bursa. Diane Swonk, Ekonom Kepala Grant Thornton, menilai bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) perlu benar-benar memperhatikan apakah pergerakan pasar saat ini seirama dengan kondisi ekonomi.

"Pada era 1970-an, 100 perusahaan menyumbang 50% laba bersih di era 1970-an. Kini hanya 30 perusahaan besar dengan catatan laba bersih teratas yang menyumbang 50% laba bersih di pasar saham sehingga kurang mencerminkan pergerakan ekonomi, tak seperti dulu," ujarnya sebagaimana dikutip CNBC International pada Minggu (11/01/2020).

Kepala Ekonom Gluskin Sheff David Rosenberg mengingatkan bahwa industri barang konsumsi saat ini sedang berada di zona berbahaya. Pasalnya, sektor yang menopang 70% perekonomian AS dan menentukan nasib emiten-emiten unggulan di Wall Street itu mayoritas didanai dari kartu kredit.

"Saya sebenarnya bertanya-tanya sejauh mana konsumen akan bisa bertahan dan menjaga ekonomi tak pecah ketika pendapatan riil mereka mulai tertekan," tuturnya kepada CNBC International.

Laporan The Fed New York berjudul "Household Debt and Credit" (September 2019) mencatat nilai utang berbasis kartu kredit di AS mencapai US$1 triliun, melampaui level tertingginya pada tahun 2008. Perlu dicatat, pada 2007-2008 AS mengalami krisis keuangan akibat subprime mortgage loan.

Secara bersamaan, tunggakan kartu kredit mencapai level tertinggi 4 tahun, yakni US$ 667 miliar, atau 4,8% dari total kredit rumah tangga di AS. Sebanyak 63,6% (US$ 424 miliar) berstatus bahaya (menunggak hingga 90 bulan).

Sementara itu, suku bunga kartu kredit menyentuh level tertinggi sepanjang masa, sehingga memperberat beban pengangsur. Belum lagi jika kita memfaktorkan perlambatan kenaikan rata-rata upah di AS ke dalam perhitungan sebagaimana dikhawatirkan Rosenberg.

Karena itu, pertanyaanSwonk pun menjadi relevan untuk diajukan, di tengah situasi sekarang. "Apakah kita sedang menciptakan risiko menjejalkan bubble pasar saham dan aset tatkala inflasi naik sementara The Fed memangkas suku bunga dan sejauh ini kita melihat hampir semua stimulus The Fed menyasar harga aset," ujarnya.

Apalagi, konflik Timteng belum mereda yang bisa mendongkrak harga minyak mentah dunia, dan memukul daya beli masyarakat AS karena lonjakan harga BBM. Jika perang benar terjadi, Trump ibarat menggali kubur sendiri karena berisiko memperburuk kredit konsumer yang pada titik tertentu bisa memicu krisis.

Meski Iran, menurut Trump, cenderung mundur dan tak melakukan serangan lanjutan, tetapi jangan lupa bahwa milisi syiah di Irak tetap bersikukuh menuntut tentara AS meninggalkan negeri mereka. Terbaru, delapan misil mendarat di pangkalan militer AS Al-Balad di kawasan Slaahuddin, Utara Baghdad.

Dari dalam negeri, sejauh ini tidak ada sentimen negatif yang menggelayuti pasar. Pemodal kemungkinan akan melihat peluang beli atas saham-saham unggulan di tengah kondusifnya bursa AS dan global.

Saham PT Unilever Indonesia Tbk, misalnya, berpeluang diburu setelah pelaksanaan pemecahan nilai nominal saham (stock split), hingga harganya semakin terjangkau bagi pemodal.

Berikut adalah rilis data yang akan terjadi hari ini:

  • Pembicaraan Dagang AS & China (tentatif)
  • Pertumbuhan PDB Inggris (04:30 WIB)
  • Produksi manufaktur Inggris (04:30 WIB)
  • Ekspektasi inflasi AS (23:00 WIB);

Berikut ini agenda emiten yang patur dicermati:

  • RUPSLB PT Citra Tubindo Tbk (10:00 WIB)
  • RUPSLB PT Maha Properti Indonesia Tbk (10:00 WIB)
  • RUPSLB PT Dewata Freight International Tbk (10:00 WIB)
  • RUPSLB PT Merdeka Copper Gold Tbk (10:00 WIB)
  • RUPSLB PT Marga Abhinaya Abadi Tbk (10:00)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (Kuartal III-2019)

5,02% YoY

Inflasi (Desember 2019)

2,72% YoY

BI 7-Day Reverse Repo Rate (Desember 2019)

5%

Defisit anggaran (APBN 2019)

-1,84% PDB

Transaksi berjalan (Kuartal III-2019)

-2,66% PDB

Neraca pembayaran (Kuartal III-2019)

-US$ 46 juta

Cadangan devisa (Desember 2019)

US$ 129,2 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular