Newsletter

Dow Sempat Sentuh 29.000: Awal Bubble atau Masih Sustainable?

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
13 January 2020 06:08
Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Luthfi Rahman
Sepekan ini, pelaku bursa AS akan mencermati rilis laporan keuangan (earning session) emiten-emiten kelas kakap di Negeri Adidaya tersebut. Ada peluang cukup besar bagi kita melihat reli saham-saham unggulan yang tercatat di bursa New York tersebut.

Terlebih, sentimen pasar saat ini sedang bagus-bagusnya dengan pertemuan antara delegasi AS dan China yang akan dimulai pada Senin waktu setempat (Selasa malam di Indonesia), untuk menyiapkan pernak-pernik dan detil penandatanganan kesepakatan dagang kedua negara berperekonomian terbesar dunia tersebut.

Kesepakatan fase pertama ini bakal menjadi milestone dalam drama perang dagang yang sudah berlangsung lebih dari dua tahun terakhir. Meski belum menyelesaikan persoalan inti yang disengketakan kedua belah pihak, setidaknya kesepakatan awal ini bakal memuluskan pembicaraan untuk mengarah ke sana.

Hanya saja, dengan melihat fakta bahwa bursa AS telah meroket hingga sempat menyentuh level psikologis baru 29.000, analis pun kini diliputi pertanyaan besar yang muncul: apakah kenaikan tersebut sejalan dengan kondisi fundamental (perekonomian AS dan dunia), atau justru mengawali babak pembentukan gelembung (bubble) aset di pasar modal?

Data International Brokers Estimate System (IBES) yang dikompilasi Refinitiv menunjukkan bahwa earning season kali ini bakal tidak terlalu menyenangkan. Para analis broker kelas kakap tersebut memperkirakan laba bersih emiten konstituen indeks S&P 500 bakal melemah rata-rata 0,6%.

Catatan tambahan, pelemahan di sektor riil bisa lebih buruk dari catatan koreksi di bursa. Diane Swonk, Ekonom Kepala Grant Thornton, menilai bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) perlu benar-benar memperhatikan apakah pergerakan pasar saat ini seirama dengan kondisi ekonomi.

"Pada era 1970-an, 100 perusahaan menyumbang 50% laba bersih di era 1970-an. Kini hanya 30 perusahaan besar dengan catatan laba bersih teratas yang menyumbang 50% laba bersih di pasar saham sehingga kurang mencerminkan pergerakan ekonomi, tak seperti dulu," ujarnya sebagaimana dikutip CNBC International pada Minggu (11/01/2020).

Kepala Ekonom Gluskin Sheff David Rosenberg mengingatkan bahwa industri barang konsumsi saat ini sedang berada di zona berbahaya. Pasalnya, sektor yang menopang 70% perekonomian AS dan menentukan nasib emiten-emiten unggulan di Wall Street itu mayoritas didanai dari kartu kredit.

"Saya sebenarnya bertanya-tanya sejauh mana konsumen akan bisa bertahan dan menjaga ekonomi tak pecah ketika pendapatan riil mereka mulai tertekan," tuturnya kepada CNBC International.

Laporan The Fed New York berjudul "Household Debt and Credit" (September 2019) mencatat nilai utang berbasis kartu kredit di AS mencapai US$1 triliun, melampaui level tertingginya pada tahun 2008. Perlu dicatat, pada 2007-2008 AS mengalami krisis keuangan akibat subprime mortgage loan.

Secara bersamaan, tunggakan kartu kredit mencapai level tertinggi 4 tahun, yakni US$ 667 miliar, atau 4,8% dari total kredit rumah tangga di AS. Sebanyak 63,6% (US$ 424 miliar) berstatus bahaya (menunggak hingga 90 bulan).

Sementara itu, suku bunga kartu kredit menyentuh level tertinggi sepanjang masa, sehingga memperberat beban pengangsur. Belum lagi jika kita memfaktorkan perlambatan kenaikan rata-rata upah di AS ke dalam perhitungan sebagaimana dikhawatirkan Rosenberg.

Karena itu, pertanyaanSwonk pun menjadi relevan untuk diajukan, di tengah situasi sekarang. "Apakah kita sedang menciptakan risiko menjejalkan bubble pasar saham dan aset tatkala inflasi naik sementara The Fed memangkas suku bunga dan sejauh ini kita melihat hampir semua stimulus The Fed menyasar harga aset," ujarnya.

Apalagi, konflik Timteng belum mereda yang bisa mendongkrak harga minyak mentah dunia, dan memukul daya beli masyarakat AS karena lonjakan harga BBM. Jika perang benar terjadi, Trump ibarat menggali kubur sendiri karena berisiko memperburuk kredit konsumer yang pada titik tertentu bisa memicu krisis.

Meski Iran, menurut Trump, cenderung mundur dan tak melakukan serangan lanjutan, tetapi jangan lupa bahwa milisi syiah di Irak tetap bersikukuh menuntut tentara AS meninggalkan negeri mereka. Terbaru, delapan misil mendarat di pangkalan militer AS Al-Balad di kawasan Slaahuddin, Utara Baghdad.

Dari dalam negeri, sejauh ini tidak ada sentimen negatif yang menggelayuti pasar. Pemodal kemungkinan akan melihat peluang beli atas saham-saham unggulan di tengah kondusifnya bursa AS dan global.

Saham PT Unilever Indonesia Tbk, misalnya, berpeluang diburu setelah pelaksanaan pemecahan nilai nominal saham (stock split), hingga harganya semakin terjangkau bagi pemodal.

(ags)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular