Jakarta, CNBC Indonesia - Neraca perdagangan Indonesia diperkirakan kembali mencatat defisit pada Oktober 2019. Bahkan bisa saja bakal lebih dalam ketimbang September.
Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data perdagangan internasional periode Oktober pada 15 November. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor mengalami kontraksi alias turun 9,03% year-on-year (YoY).
Sementara impor juga diramal terkontraksi 16,02% YoY. Kemudian neraca perdagangan mengalami defisit US$ 300 juta.
Institusi | Pertumbuhan Ekspor (%YoY) | Pertumbuhan Impor (%YoY) | Neraca Perdagangan (US$ Juta) |
ING | -2.1 | -9.2 | -496 |
Citi | -10.5 | -18.1 | -250 |
Moody's Analytics | - | - | -300 |
Maybank Indonesia | -9.42 | -17.15 | -242 |
CIMB Niaga | -8.8 | -15.7 | -400 |
Danareksa Research Institute | -5.2 | -12.9 | -321 |
Standard Chartered | -11.7 | -21.4 | 152 |
Bank Danamon | -9.26 | -16.34 | -358 |
BNI Sekuritas | -7.28 | -15.1 | -249 |
ANZ | -6 | -9 | -1130 |
BCA | -10.8 | -18.9 | -156 |
MEDIAN | -9.03 | -16.02 | -300 |
Pada bulan sebelumnya, BPS melaporkan ekspor turun 5,74% YoY sedangkan impor turun 2,41%. Ini membuat neraca perdagangan tekor US$ 160 juta.
Baca: Duh, Neraca Dagang September 2019 Defisit Lagi US$ 160 Juta!
Kinerja ekspor yang memble pada Oktober kemungkinan dipengaruhi oleh harga komoditas, utamanya batu bara. Bahan bakar mineral (yang didominasi batu bara) menyumbang 14,66% dari total ekspor non-migas, menduduki peringkat teratas.
Sepanjang Oktober, harga batu bara turun lumayan dalam yaitu 6,48% point-to-point. Dengan porsinya yang signifikan, penurunan harga komoditas ini tentu akan mempengaruhi performa ekspor Indonesia secara keseluruhan.
Apa yang terjadi di Indonesia adalah cerminan dari sebuah fenomena global. Ya, perdagangan dunia memang sedang lesu.
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dalam proyeksi edisi Oktober memperkirakan laju pertumbuhan perdagangan global pada 2019 hanya 1,2%. Jauh melambat dibandingkan proyeksi yang dibuat pada April yaitu 2,6%.
"Perkiraan yang lebih suram ini memang mengkhawatirkan, tetapi bukan sebuah kejutan. Konflik perdagangan yang melibatkan beberapa negara membuat segalanya menjadi tidak pasti, bahkan sudah membuat dunia usaha menunda investasi. Dampaknya adalah pukulan terhadap penciptaan lapangan kerja. Oleh karena itu, perang dagang harus segera diselesaikan," tegas Roberto Azevedo, Direktur Jenderal WTO, dalam laporan bulanan.
Aktivitas perdagangan yang lesu tentu pada akhirnya menyebabkan pertumbuhan ekonomi melambat. Pada 2019, WTO memperkirakan ekonomi global tumbuh 2,3%. Melambat dibandingkan perkiraan April yaitu 2,6%.
Sepertinya situasi yang belum kondusif ini masih akan terjadi sampai tahun depan. WTO memperkirakan perdagangan dunia pada 2020 tumbuh 2,7%, melambat dibandingkan perkiraan sebelumnya yaitu 3%.
Oleh karena itu, sulit untuk berharap ekspor bisa berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Sumber pertumbuhan ekonomi dari domestik harus dijaga, kalau bisa ditingkatkan.
Dari sisi penawaran, Bank Indonesia (BI) sudah melonggarkan kebijakan moneter dengan penurunan suku bunga acuan sampai empat kali sejak awal 2019. Plus pelonggaran Giro Wajib Minimum (GWM).
Harapannya adalah suku bunga kredit perbankan bisa ikut turun sehingga menumbuhkan minat korporasi dan rumah tangga untuk mengakses pembiayaan. Mengutip Statistik Perbankan Indonesia, suku bunga kredit memang dalam tren turun.
Jadi kalau dari sisi penawaran sudah dilakukan upaya perbaikan, tinggal di sisi permintaan. Di sini menjadi tugas pemerintah untuk memastikan bahwa iklim investasi sudah kondusif sehingga dunia usaha mau menanamkan modal dan pada saat yang sama menggunakan anggaran negara untuk menjaga daya beli rumah tangga.
Bagaimana caranya? Bisa dengan insentif fiskal. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjanjikan akan menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan dari 25% menjadi 20%
Namun ini bukan langkah yang mudah, karena harus melalui amandemen UU PPh yang melibatkan DPR. Pemerintah harus menyusun naskah akademik, dan kemudian DPR membuat Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) serta mengundang masukan dari para pemangku kepentingan.
Setelah proses itu kelar, baru bisa masuk masa pembahasan di komisi terkait. Proses pembahasan ini tentu memakan waktu.
Sementara untuk menjaga daya beli, pemerintah bisa menggunakan skema subsidi. Sekarang sudah tidak ada lagi skema subsidi langsung melalui Bantuan Langsung Tunai (BLT) seperti kala pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun kalau pemerintah ingin menjaga konsumsi rumah tangga dengan cara instan (dan efektif), maka BLT boleh dipertimbangkan.
Jadi, sekarang bola ada di pemerintah. Kira-kira apakah berbagai 'pemanis' untuk menarik investasi dan menggenjot konsumsi itu bisa dipercepat atau tidak?
TIM RISET CNBC INDONESIA