OECD: Trump dan Kebijakannya Picu Ekonomi Global Melambat

Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
14 November 2019 06:18
Tingkat pertumbuhan perdagangan [dunia] sudah turun dari 5,5% pada tahun 2017 menjadi flat.
Foto: Donald Trump (REUTERS/Carlo Allegri)
Jakarta, CNBC Indonesia - Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan Investasi (Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD) menilai pertumbuhan investasi dan perdagangan dunia saat ini bergantung pada kesepakatan antara Amerika Serikat (AS) dengan China.

Jika kedua belah pihak dapat menyetujui fase pertama dari kesepakatan perdagangan, maka hal itu dapat membuat kedua negara menghapuskan sebagian tarif yang telah diterapkan pada barang impor masing-masing negara adidaya ini.

Jika tidak, maka hal sebaliknya akan terjadi.

"Tingkat pertumbuhan perdagangan [dunia] sudah turun dari 5,5% pada tahun 2017 menjadi flat. Faktanya, mungkin saat kita bicara, perdagangan akan negatif, berkontraksi. Investasi, sebagai konsekuensi akibat ketidakpastian, berubah dari pertumbuhan 5% [turun] menjadi sekitar 1% sekarang dan semakin melambat," kata Sekjen OECD Angel Gurria kepada CNBC International, Rabu (13/11/2019).


"Karena itu pertumbuhan [investasi dan perdagangan dunia] sudah turun drastis dalam waktu singkat," tambahnya.

Pada September, OECD memangkas perkiraan pertumbuhan globalnya. Lembaga yang berdiri pada 16 April 1948 dan berbasis di Paris ini memprediksikan bahwa ekonomi global akan mencatatkan pertumbuhan terlemahnya pada tahun 2019 sejak krisis keuangan tahun 2008-2009.

OECD memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2019 sebesar 2,9% dan 3% pada tahun 2020.

Pertumbuhan itu direvisi turun dari prediksi sebelumnya pada Mei lalu di mana ekonomi global diperkirakan tumbuh 3,2% tahun ini dan 3,4% pada tahun 2020.


Lebih lanjut, Gurria mengatakan jika ada lebih banyak tindakan proteksionisme atau lebih banyak masalah dalam hal perdagangan, serta ada lebih banyak ketegangan, maka konsekuensinya bisa lebih buruk.

Dalam laporan Interim Economic Outlook Ekonomi, lembaga itu juga memperingatkan bahwa ekonomi global menjadi semakin lemah dan tidak pasti, dengan pertumbuhan melambat dan risiko penurunan terus meningkat.

"Prospek ekonomi melemah untuk negara maju dan berkembang, dan pertumbuhan global bisa terjebak pada level rendah yang terus-menerus tanpa tindakan kebijakan yang tegas dari pemerintah," katanya.

Namun sayangnya, kepastian mengenai penandatangan perjanjian fase satu yang dilahirkan kedua negara pada pembicaraan bulan lalu di Washington itu belum jelas. Apalagi setelah Presiden AS Donald Trump kembali menyerang China pada saat berpidato di Klub Ekonomi New York, Selasa.

Trump menyebut China curang. Trump juga mengatakan bahwa fase pertama dari perjanjian perdagangan dapat dicapai segera, tetapi tetap mengancam akan menaikkan tarif pada barang-barang China jika kesepakatan tidak terjadi, sebagaimana dilaporkan Reuters.

Sejalan dengan Gurria, mantan kepala bank sentral India Raghuram Rajan juga memperingatkan bahwa ekonomi dunia, khususnya AS bergantung pada kebijakan perdagangan yang akan diambil Trump.

Dalam sebuah opini yang berjudul "Apakah Musim Dingin Ekonomi akan Datang?" yang diterbitkan di situs Project Syndicate, Selasa, Rajan mengatakan aturan lama yang mengatur siklus ekonomi makro tampaknya tidak lagi berlaku. Ia juga mengatakan bahwa kekhawatiran yang bisa menyebabkan ekonomi AS masuk dalam jurang resesi masih harus diperhatikan.

"Tetapi jika sejarah baru-baru ini [AS-China] menjadi panduan kami, ancaman terbesar bukan berasal dari Federal Reserve AS [bank sentral AS] atau sektor ekonomi mana pun, melainkan dari Gedung Putih," kata Rajan, yang saat menjadi profesor keuangan di University of Chicago Booth School of Business.

Ketika Trump geram pada The Fed

[Gambas:Video CNBC]


(tas/tas) Next Article Kemarin Pesta Pora, Hari Ini Wall Street Rehat Dulu

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular