
Polling CNBC Indonesia
Pasar Ramal Bunga Acuan Turun Lagi, Apakah BI Berani?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
18 September 2019 07:00

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) diperkirakan kembali menurunkan suku bunga acuan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan ini. Negeri ini memang membutuhkan rangsangan untuk menggairahkan perekonomian yang bergerak lesu.
BI memulai RDG edisi September hari ini dan esok dijadwalkan akan mengumumkan suku bunga acuan. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan Gubernur Perry Warijyo dan sejawat akan kembali menurunkan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,25%.
Apabila kejadian, maka penurunan suku bunga acuan sudah terjadi selama tiga bulan beruntun. BI seakan 'balas dendam' setelah tahun lalu menaikkan suku bunga acuan sampai enam kali.
Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas, menyatakan ruang pelonggaran moneter lebih lanjut kian terbuka setelah pengumuman data perdagangan internasional. Awal pekan ini, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan Indonesia mencatat surplus US$ 85,1 juta pada Agustus.
"Data perdagangan mempertebal keyakinan kami bahwa pemulihan faktor eksternal Indonesia terus berlangsung. Pada Juli-Agustus 2019, neraca perdagangan mencatat surplus US$ 10 juta. Jauh membaik dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang defisit US$ 1,95 miliar," sebutnya.
Dengan asumsi tidak ada perubahan signifikan pada September, lanjut Satria, maka transaksi berjalan (current account) kuartal III-2019 akan membaik. Dia memperkirakan transaksi berjalan defisit 2,7-2,9% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), lebih baik ketimbang kuartal III-2018 yaitu 3,3% dan kuartal II-2019 yang sebesar 3,04%.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Transaksi berjalan adalah prioritas utama BI tahun lalu. Tekanan yang dialami salah satu pos di neraca pembayaran ini membuat BI menaikkan suku bunga acuan sampai 175 bps agar investasi dan konsumsi melambat sehingga impor ikut berkurang.
Bukan apa-apa, defisit transaksi berjalan yang tahun lalu mencapai nyaris 3% PDB menjadi salah satu penyebab rupiah melemah lumayan dalam. Bahkan mata uang Tanah Air sempat menyentuh posisi terlemah sejak 1998.
Baca: Rupiah Masih Terlemah di Asia, Masih Terlemah Sejak Krismon
Namun tahun ini situasinya berbeda. Aura perlambatan ekonomi menyebar ke penjuru dunia, gara-gara perang dagang Amerika Serikat (AS) vs China. Tekanan inflasi juga rendah, karena permintaan yang melambat. Perang dagang tidak cuma melukai ekspor, tetapi juga investasi dan konsumsi.
Akibatnya, pelonggaran moneter menjadi kenormalan baru (the new normal). Bank sentral di AS, Eropa, India, Australia, dan berbagai negara lainnya menurunkan suku bunga acuan demi merangsang aktivitas ekonomi.
Sebagai dampak tren pelonggaran kebijakan moneter global, arus modal tidak lagi terpusat ke AS seperti tahun lalu. Investor mencari tempat yang lebih menawarkan keuntungan karena suku bunga di Negeri Paman Sam bergerak turun.
Baca: Kala Suku Bunga Tak Lagi ke Utara
Indonesia adalah satu tujuannya. Oleh karena itu, rupiah masih mampu menguat 1,98% sejak awal tahun karena walau transaksi berjalan masih defisit tetapi ada 'darah' dari saluran lain yaitu investasi portofolio.
Jadi, kekhawatiran soal transaksi berjalan bisa dikesampingkan untuk sementara waktu (tetapi jangan terlalu terlena). Sebab rupiah masih berpotensi menguat selama Indonesia menawarkan imbalan investasi yang menarik.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Sekarang BI bisa berganti peran dari penjaga stabilitas menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi. Peran baru MH Thamrin memang sangat dinantikan karena sinyal perlambatan ekonomi domestik semakin kuat. Data-data ekonomi terbaru menjadi buktinya.
Pertama data perdagangan yang sudah disinggung sebelumnya. Pada Agustus, impor bahan baku/penolong turun 18,06% year-on-year (YoY) dan barang modal minus 5,83% YoY. Impor dua kelompok ini terkait dengan prospek investasi ke depan, jika turun berarti ada risiko investasi bakal melambat.
"Kami menilai data ini akan membuat BI agak cemas. Dengan surplus perdagangan mencapai lima kali sejak awal tahun, kami menilai fokus BI bisa dialihkan secara bertahap dari menjaga stabilitas rupiah menjadi mendorong pertumbuhan ekonomi," kata Satria.
Baca: Impor Turun Tapi Kita Harus Waspada, Kenapa?
Data kedua adalah Purchasing Managers' Index (PMI) yang menggambarkan 'suasana kebatinan' dunia usaha. PMI menggunakan angka 50 sebagai titik awal. Jika skor di atas 50 artinya dunia usaha sedang optimistis dan melakukan ekspansi. Sebaliknya apabila di bawah 50 maka industriawan kurang yakin dengan kondisi ekonomi dan memilih tidak berekspansi.
Pada Juli dan Agustus, PMI manufaktur Indonesia tercatat masing-masing 49,6 dan 49. Angka Agustus menjadi yang terendah sejak Juli 2017. Angkanya di bawah 50, berarti dunia usaha sudah enggan berekspansi.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Data ketiga adalah penjualan ritel. Pada Juli, penjualan ritel tumbuh 2,4% YoY. Lebih baik dibandingkan bulan sebelumnya yang terkontraksi 1,8% tetapi melambat ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya yang mampu tumbuh 2,9%.
Ditambah lagi perkiraan pertumbuhan penjualan ritel pada Agustus adalah 3,7% YoY. Memang membaik dibandingkan Juli, tetapi lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yaitu 6,1%.
Data keempat adalah Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang pada Agustus berada di 123,1, terendah sejak November 2018. Angka IKK juga terus turun dalam tiga bulan terakhir.
IKK menggunakan angka 100 sebagai ambang batas. Kalau di atas 100 artinya konsumen masih percaya dengan prospek ekonomi terkini dan masa mendatang.
Memang IKK Indonesia masih di atas 100, menandakan konsumen tetap pede. Akan tetapi, optimisme itu semakin luntur.
Baca: Keyakinan Konsumen RI Terendah Sejak November 2018
Baik investasi maupun konsumsi rumah tangga sepertinya belum bisa berlari kencang. Padahal kala ekspor tidak bisa diandalkan akibat penurunan harga komoditas dan perang dagang AS-China, permintaan domestik adalah mesin utama penggerak pertumbuhan ekonomi.
Oleh karena itu, BI harus masuk. Bank sentral perlu ikut serta dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi. Caranya adalah dengan menurunkan suku bunga acuan agar dunia usaha dan rumah tangga punya ruang untuk ekspansi.
Pasar sudah berkehendak. Apakah BI akan mewujudkannya?
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article BI Sudah Kasih 'Umpan Silang', Bank 'Sundul' Dong!
BI memulai RDG edisi September hari ini dan esok dijadwalkan akan mengumumkan suku bunga acuan. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan Gubernur Perry Warijyo dan sejawat akan kembali menurunkan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,25%.
Institusi | BI 7 Day Reverse Repo Rate (%) |
CIMB Niaga | 5.5 |
Barclays | 5.5 |
ING | 5.5 |
Citi | 5.25 |
Standard Chartered | 5.25 |
BTN | 5.25 |
Bank Danamon | 5.25 |
Maybank Indonesia | 5.25 |
Trimegah Sekuritas | 5.5 |
Danareksa Research Institute | 5.25 |
Bahana Sekuritas | 5.25 |
MEDIAN | 5.25 |
Apabila kejadian, maka penurunan suku bunga acuan sudah terjadi selama tiga bulan beruntun. BI seakan 'balas dendam' setelah tahun lalu menaikkan suku bunga acuan sampai enam kali.
Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas, menyatakan ruang pelonggaran moneter lebih lanjut kian terbuka setelah pengumuman data perdagangan internasional. Awal pekan ini, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan Indonesia mencatat surplus US$ 85,1 juta pada Agustus.
"Data perdagangan mempertebal keyakinan kami bahwa pemulihan faktor eksternal Indonesia terus berlangsung. Pada Juli-Agustus 2019, neraca perdagangan mencatat surplus US$ 10 juta. Jauh membaik dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang defisit US$ 1,95 miliar," sebutnya.
Dengan asumsi tidak ada perubahan signifikan pada September, lanjut Satria, maka transaksi berjalan (current account) kuartal III-2019 akan membaik. Dia memperkirakan transaksi berjalan defisit 2,7-2,9% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), lebih baik ketimbang kuartal III-2018 yaitu 3,3% dan kuartal II-2019 yang sebesar 3,04%.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Transaksi berjalan adalah prioritas utama BI tahun lalu. Tekanan yang dialami salah satu pos di neraca pembayaran ini membuat BI menaikkan suku bunga acuan sampai 175 bps agar investasi dan konsumsi melambat sehingga impor ikut berkurang.
Bukan apa-apa, defisit transaksi berjalan yang tahun lalu mencapai nyaris 3% PDB menjadi salah satu penyebab rupiah melemah lumayan dalam. Bahkan mata uang Tanah Air sempat menyentuh posisi terlemah sejak 1998.
Baca: Rupiah Masih Terlemah di Asia, Masih Terlemah Sejak Krismon
Namun tahun ini situasinya berbeda. Aura perlambatan ekonomi menyebar ke penjuru dunia, gara-gara perang dagang Amerika Serikat (AS) vs China. Tekanan inflasi juga rendah, karena permintaan yang melambat. Perang dagang tidak cuma melukai ekspor, tetapi juga investasi dan konsumsi.
Akibatnya, pelonggaran moneter menjadi kenormalan baru (the new normal). Bank sentral di AS, Eropa, India, Australia, dan berbagai negara lainnya menurunkan suku bunga acuan demi merangsang aktivitas ekonomi.
Sebagai dampak tren pelonggaran kebijakan moneter global, arus modal tidak lagi terpusat ke AS seperti tahun lalu. Investor mencari tempat yang lebih menawarkan keuntungan karena suku bunga di Negeri Paman Sam bergerak turun.
Baca: Kala Suku Bunga Tak Lagi ke Utara
Indonesia adalah satu tujuannya. Oleh karena itu, rupiah masih mampu menguat 1,98% sejak awal tahun karena walau transaksi berjalan masih defisit tetapi ada 'darah' dari saluran lain yaitu investasi portofolio.
Jadi, kekhawatiran soal transaksi berjalan bisa dikesampingkan untuk sementara waktu (tetapi jangan terlalu terlena). Sebab rupiah masih berpotensi menguat selama Indonesia menawarkan imbalan investasi yang menarik.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Sekarang BI bisa berganti peran dari penjaga stabilitas menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi. Peran baru MH Thamrin memang sangat dinantikan karena sinyal perlambatan ekonomi domestik semakin kuat. Data-data ekonomi terbaru menjadi buktinya.
Pertama data perdagangan yang sudah disinggung sebelumnya. Pada Agustus, impor bahan baku/penolong turun 18,06% year-on-year (YoY) dan barang modal minus 5,83% YoY. Impor dua kelompok ini terkait dengan prospek investasi ke depan, jika turun berarti ada risiko investasi bakal melambat.
"Kami menilai data ini akan membuat BI agak cemas. Dengan surplus perdagangan mencapai lima kali sejak awal tahun, kami menilai fokus BI bisa dialihkan secara bertahap dari menjaga stabilitas rupiah menjadi mendorong pertumbuhan ekonomi," kata Satria.
Baca: Impor Turun Tapi Kita Harus Waspada, Kenapa?
Data kedua adalah Purchasing Managers' Index (PMI) yang menggambarkan 'suasana kebatinan' dunia usaha. PMI menggunakan angka 50 sebagai titik awal. Jika skor di atas 50 artinya dunia usaha sedang optimistis dan melakukan ekspansi. Sebaliknya apabila di bawah 50 maka industriawan kurang yakin dengan kondisi ekonomi dan memilih tidak berekspansi.
Pada Juli dan Agustus, PMI manufaktur Indonesia tercatat masing-masing 49,6 dan 49. Angka Agustus menjadi yang terendah sejak Juli 2017. Angkanya di bawah 50, berarti dunia usaha sudah enggan berekspansi.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Data ketiga adalah penjualan ritel. Pada Juli, penjualan ritel tumbuh 2,4% YoY. Lebih baik dibandingkan bulan sebelumnya yang terkontraksi 1,8% tetapi melambat ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya yang mampu tumbuh 2,9%.
Ditambah lagi perkiraan pertumbuhan penjualan ritel pada Agustus adalah 3,7% YoY. Memang membaik dibandingkan Juli, tetapi lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yaitu 6,1%.
Data keempat adalah Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang pada Agustus berada di 123,1, terendah sejak November 2018. Angka IKK juga terus turun dalam tiga bulan terakhir.
IKK menggunakan angka 100 sebagai ambang batas. Kalau di atas 100 artinya konsumen masih percaya dengan prospek ekonomi terkini dan masa mendatang.
Memang IKK Indonesia masih di atas 100, menandakan konsumen tetap pede. Akan tetapi, optimisme itu semakin luntur.
Baca: Keyakinan Konsumen RI Terendah Sejak November 2018
Baik investasi maupun konsumsi rumah tangga sepertinya belum bisa berlari kencang. Padahal kala ekspor tidak bisa diandalkan akibat penurunan harga komoditas dan perang dagang AS-China, permintaan domestik adalah mesin utama penggerak pertumbuhan ekonomi.
Oleh karena itu, BI harus masuk. Bank sentral perlu ikut serta dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi. Caranya adalah dengan menurunkan suku bunga acuan agar dunia usaha dan rumah tangga punya ruang untuk ekspansi.
Pasar sudah berkehendak. Apakah BI akan mewujudkannya?
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article BI Sudah Kasih 'Umpan Silang', Bank 'Sundul' Dong!
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular