Impor Turun Tapi Kita Harus Waspada, Kenapa?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
17 September 2019 06:29
Impor Turun Tapi Kita Harus Waspada, Kenapa?
Ilustrasi Aktivitas di Pelabuhan (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Dalam kondisi normal, penurunan impor adalah sebuah berkah. Saat impor turun, berarti perekonomian suatu negara lebih berdikari dan bisa menghemat pengeluaran devisa.

Namun saat situasi sedang tidak normal, penuh risiko, maka penurunan impor bisa berarti pertanda kurang baik. Penurunan impor bisa menjadi sinyal bahwa permintaan domestik sedang tertekan.

Sepertinya ini yang sedang terjadi di Indonesia. Kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa impor pada Agustus 2019 turun 15,6% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya atau year-on-year (YoY).


Sejak Oktober 2018, impor dalam tren melambat. Pada Januari-Mei 2019, impor bahkan selalu terkontraksi alias turun. Sempat tumbuh positif pada Juni, tetapi dalam dua bulan terakhir kembali ke zona kontraksi.



Pada Agustus, impor untuk seluruh penggunaan turun. Secara YoY, impor barang konsumsi turun 12,11%, bahan baku/penolong negatif 18,06%, dan barang modal minus 5,83%.

Dalam setahun terakhir, rata-rata pertumbuhan impor barang konsumsi adalah minus 0,05% YoY. Sementara impor bahan baku/penolong negatif 0,25% dan barang modal masih positif tetapi sangat tipis di 1,66%.



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Apakah penurunan impor menandakan kelesuan permintaan domestik? Bisa jadi. Ini bisa terlihat dari data Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur yang dalam dua bulan terakhir kurang oke.

Pada Juli dan Agustus, PMI manufaktur Indonesia tercatat masing-masing 49,6 dan 49. Angka Agustus menjadi yang terendah sejak Juli 2017.



PMI menggunakan angka 50 sebagai titik awal. Jika skor di atas 50 artinya dunia usaha sedang optimistis dan melakukan ekspansi. Sebaliknya apabila di bawah 50 maka industriawan kurang yakin dengan kondisi ekonomi dan memilih tidak berekspansi.


Dalam dua bulan terakhir, terlihat bahwa angka PMI berada di bawah 50. Keengganan dunia usaha melakukan ekspansi terkonfirmasi dari impor yang memble selama Juli-Agustus.

Pertanyaan berikutnya, apakah dunia usaha malas berekspansi karena konsumen juga merasakan hal yang sama? Cemas dengan kondisi perekonomian sehingga menahan belanja?

Ada kemungkinan begitu. Pasalnya data penjualan ritel teranyar yaitu Juli menunjukkan pertumbuhan yang hanya 2,4% YoY. Lebih baik dibandingkan bulan sebelumnya yang terkontraksi 1,8% tetapi melambat ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya yang mampu tumbuh 2,9%.



Ditambah lagi perkiraan pertumbuhan penjualan ritel pada Agustus adalah 3,7% YoY. Memang membaik dibandingkan Juli, tetapi lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yaitu 6,1%.

Baca: Penjualan Ritel Juli Naik, Agustus Lebih Baik Lagi


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Data ini dipertegas dengan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang pada Agustus berada di 123,1, terendah sejak November 2018. Angka IKK juga terus turun dalam tiga bulan terakhir.



IKK menggunakan angka 100 sebagai ambang batas. Kalau di atas 100 artinya konsumen masih percaya dengan prospek ekonomi terkini dan masa mendatang.


Memang IKK Indonesia masih di atas 100, menandakan konsumen tetap pede. Akan tetapi, optimisme itu semakin luntur.

Data impor Agustus kian memberi konfirmasi bahwa permintaan domestik masih lambat. Baik investasi maupun konsumsi rumah tangga sepertinya belum bisa berlari kencang. Data PMI, perjualan ritel, sampai IKK memberi penegasan.

Padahal kala ekspor tidak bisa diandalkan akibat penurunan harga komoditas dan perang dagang Amerika Serikat (AS) vs China, permintaan domestik adalah mesin utama penggerak pertumbuhan ekonomi. Namun mesin ini pun sulit diajak ngebut, lajunya masih selow bahkan mungkin melambat.


Oleh karena itu, sangat masuk akal ketika Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan proyeksi pertumbuhan ekonomi 2019 versi pemerintah adalah 5,08%. Asumsi pertumbuhan ekonomi 5,3% dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 tampaknya jauh panggang dari api.

Baca: Sri Mulyani Ramal Ekonomi RI Hanya Tumbuh 5,08%


T
IM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular