
Polling CNBC Indonesia
Pasar Ramal Bunga Acuan Turun Lagi, Apakah BI Berani?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
18 September 2019 07:00

Transaksi berjalan adalah prioritas utama BI tahun lalu. Tekanan yang dialami salah satu pos di neraca pembayaran ini membuat BI menaikkan suku bunga acuan sampai 175 bps agar investasi dan konsumsi melambat sehingga impor ikut berkurang.
Bukan apa-apa, defisit transaksi berjalan yang tahun lalu mencapai nyaris 3% PDB menjadi salah satu penyebab rupiah melemah lumayan dalam. Bahkan mata uang Tanah Air sempat menyentuh posisi terlemah sejak 1998.
Baca: Rupiah Masih Terlemah di Asia, Masih Terlemah Sejak Krismon
Namun tahun ini situasinya berbeda. Aura perlambatan ekonomi menyebar ke penjuru dunia, gara-gara perang dagang Amerika Serikat (AS) vs China. Tekanan inflasi juga rendah, karena permintaan yang melambat. Perang dagang tidak cuma melukai ekspor, tetapi juga investasi dan konsumsi.
Akibatnya, pelonggaran moneter menjadi kenormalan baru (the new normal). Bank sentral di AS, Eropa, India, Australia, dan berbagai negara lainnya menurunkan suku bunga acuan demi merangsang aktivitas ekonomi.
Sebagai dampak tren pelonggaran kebijakan moneter global, arus modal tidak lagi terpusat ke AS seperti tahun lalu. Investor mencari tempat yang lebih menawarkan keuntungan karena suku bunga di Negeri Paman Sam bergerak turun.
Baca: Kala Suku Bunga Tak Lagi ke Utara
Indonesia adalah satu tujuannya. Oleh karena itu, rupiah masih mampu menguat 1,98% sejak awal tahun karena walau transaksi berjalan masih defisit tetapi ada 'darah' dari saluran lain yaitu investasi portofolio.
Jadi, kekhawatiran soal transaksi berjalan bisa dikesampingkan untuk sementara waktu (tetapi jangan terlalu terlena). Sebab rupiah masih berpotensi menguat selama Indonesia menawarkan imbalan investasi yang menarik.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(aji/aji)
Bukan apa-apa, defisit transaksi berjalan yang tahun lalu mencapai nyaris 3% PDB menjadi salah satu penyebab rupiah melemah lumayan dalam. Bahkan mata uang Tanah Air sempat menyentuh posisi terlemah sejak 1998.
Baca: Rupiah Masih Terlemah di Asia, Masih Terlemah Sejak Krismon
Namun tahun ini situasinya berbeda. Aura perlambatan ekonomi menyebar ke penjuru dunia, gara-gara perang dagang Amerika Serikat (AS) vs China. Tekanan inflasi juga rendah, karena permintaan yang melambat. Perang dagang tidak cuma melukai ekspor, tetapi juga investasi dan konsumsi.
Akibatnya, pelonggaran moneter menjadi kenormalan baru (the new normal). Bank sentral di AS, Eropa, India, Australia, dan berbagai negara lainnya menurunkan suku bunga acuan demi merangsang aktivitas ekonomi.
Sebagai dampak tren pelonggaran kebijakan moneter global, arus modal tidak lagi terpusat ke AS seperti tahun lalu. Investor mencari tempat yang lebih menawarkan keuntungan karena suku bunga di Negeri Paman Sam bergerak turun.
Baca: Kala Suku Bunga Tak Lagi ke Utara
Indonesia adalah satu tujuannya. Oleh karena itu, rupiah masih mampu menguat 1,98% sejak awal tahun karena walau transaksi berjalan masih defisit tetapi ada 'darah' dari saluran lain yaitu investasi portofolio.
Jadi, kekhawatiran soal transaksi berjalan bisa dikesampingkan untuk sementara waktu (tetapi jangan terlalu terlena). Sebab rupiah masih berpotensi menguat selama Indonesia menawarkan imbalan investasi yang menarik.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(aji/aji)
Next Page
BI Bisa Nyaman Ganti Peran
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular