Jakarta, CNBC Indonesia - Neraca perdagangan Indonesia diperkirakan mencatat surplus pada Agustus. Jika terjadi, maka tekanan eksternal akan semakin mereda sehingga membuka ruang bagi Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga acuan lebih lanjut.
Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan mengumumkan data perdagangan internasional Indonesia pada awal pekan depan. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor pada Agustus terkontraksi atau turun 5,7% year-on-year (YoY).
Sementara impor diperkirakan mengalami kontraksi yang lebih dalam yaitu turun 11,295%. Ini membuat neraca perdagangan masih bisa surplus meski tidak terlalu 'wah' yaitu US$ 146 juta.
Institusi | Pertumbuhan Ekspor (%YoY) | Pertumbuhan Impor (%YoY) | Neraca Perdagangan (US$ Juta) |
CIMB Niaga | -8 | -15 | 308 |
Barclays | -2 | -10 | 414 |
ING | -6 | -8.2 | -527.8 |
Citi | -14 | -18.5 | 144 |
Standard Chartered | -8.4 | -12.7 | -129 |
BTN | -9.6 | -17.7 | -334 |
Moody's Analytics | - | - | -900 |
Bank Danamon | -5.4 | -11.3 | 89 |
Maybank Indonesia | -7.52 | -13.58 | 146 |
Trimegah Sekuritas | -1.5 | -8 | 163 |
Bank Permata | -4.11 | -10.55 | 177 |
Danareksa Research Institute | - | - | 315.8 |
Samuel Sekuritas | - | - | 200 |
Bank Mandiri | -4.62 | -10.53 | 93.7 |
Bahana Sekuritas Indonesia | -4.81 | -11.29 | 190 |
MEDIAN | -5.7 | -11.295 | 146 |
Apabila ekspektasi ini terwujud, maka akan ada perbaikan dibandingkan Juli. Pada Juli, neraca perdagangan defisit tipis US$ 60 juta.
"Kami memperkirakan ekspor terkontraksi pada Agustus. Meski harga CPO (minyak sawit mentah) naik 7,38% dibandingkan Juli, tetapi harga batu bara turun 5,33%. Sementara impor China dari Indonesia turun 0,72% menjadi US$ 3,03 miliar, yang menandakan ekspor Indonesia akan sedikit berkurang," papar Andry Asmoro, Ekonom Bank Mandiri.
Sementara di sisi impor, lanjut Andry, lagi-lagi kontraksi bisa dilihat di data dari China. Pada Agustus, ekspor China ke Indonesia turun 9,53% menjadi US$ 3,75 miliar.
Baca: Perang Dagang dengan AS, Ekspor China Turun Tajam
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Dengan surplus perdagangan yang diperkirakan terjadi pada Agustus, transaksi berjalan (
current account) Indonesia diperkirakan semakin membaik. Untuk keseluruhan 2019, Andry memperkirakan transaksi berjalan membukukan defisit sekitar 2,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Meski masih defisit, tetapi lebih sedikit ketimbang 2018 yang mencapai 3,59% PDB.
"Ini disebabkan oleh
stance The Fed (The Federal Reserve, bank sentral Amerika Serikat/AS) yang lebih kalem, ditambah dengan berbagai langkah pemerintah untuk menekan impor. Namun, masih ada risiko yaitu permintaan global yang melandai akibat perang dagang sehingga ekspor sulit diandalkan," sebut Andry.
Sejak tahun lalu, transaksi berjalan jadi indikator utama yang dipantau oleh BI dalam penentuan kebijakan moneter. Bukan inflasi, tetapi defisit transaksi berjalan yang membuat bank sentral menaikkan BI 7 Day Reverse Repo Rate sampai lima kali pada 2018.
Ketika suku bunga acuan naik, maka aktivitas investasi akan melambat sehingga impor ikut berkurang. Dengan begitu, defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan bisa ditekan.
Transaksi berjalan memang fenomena sektor riil, tetapi dampaknya mempengaruhi sektor moneter sehingga BI mau tidak mau harus ikut campur. Defisit transaksi berjalan menandakan arus devisa dari ekspor-impor barang dan jasa seret. Padahal sumbangan devisa dari pos ini lebih jangka panjang sehingga bisa menopang nilai tukar mata uang secara berkelanjutan.
Baca:
Bank Dunia Ingatkan Jokowi, Obati Penyakit Kronis CAD(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Akibat defisit di transaksi berjalan, fondasi rupiah menjadi rapuh. Rupiah menggantungkan diri kepada arus modal portofolio di sektor keuangan (
hot money) yang begitu fluktuatif, bisa datang dan pergi sesuka hati. Ini yang membuat rupiah cenderung melemah, karena memang pijakannya lemah.
Demi menyelamatkan rupiah, BI terpaksa menaikkan suku bunga acuan secara agresif. Tujuannya adalah memancing hot money agar terus datang sehingga bisa menutup 'lubang' menganga yang ditinggalkan oleh transaksi berjalan. Namun kebijakan ini mengorbankan pertumbuhan ekonomi karena investasi melambat.
Tahun ini situasinya berubah. Defisit transaksi berjalan lebih 'jinak' dan bisa diarahkan menuju target BI di kisaran 2,5-3% PDB. Hot money juga berdatangan, karena tren kebijakan moneter longgar di berbagai negara.
Baca: Simak! BI Tak Ragu Pangkas (Lagi) Bunga AcuanSaat ini merupakan momentum yang tepat bagi BI untuk semakin mengukuhkan perannya sebagai agen pendorong pertumbuhan ekonomi. Suku bunga acuan sudah diturunkan dua kali, tetapi kalau memang masih ada peluang mengapa tidak melakukannya lagi?
Jadi, apakah data perdagangan yang diumumkan awal pekan depan akan meringankan langkah MH Thamrin untuk kembali menurunkan suku bunga acuan?
TIM RISET CNBC INDONESIA