- Menambah proyeksi dari ANZ.
Jakarta, CNBC Indonesia - Laju inflasi domestik pada Agustus diperkirakan melambat dibandingkan bulan sebelumnya. Kondisi yang masih mendukung bagi bank Indonesia (BI) untuk melanjutkan pelonggaran kebijakan moneter.
Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data inflasi Agustus pada awal pekan depan. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi bulanan (
month-on-month/MoM) berada di 0,16%. Sementara inflasi tahunan (
year-on-year/YoY) diperkirakan sebesar 3,54% dan inflasi inti tahunan adalah 3,18%.
Institusi | Inflasi MoM (%) | Inflasi YoY (%) | Inflasi Inti YoY (%) |
BCA | 0.17 | 3.54 | 3.1 |
Maybank Indonesia | 0.21 | 3.59 | 3.17 |
CIMB Niaga | 0 | 3.37 | - |
Barclays | - | 3.58 | 3.42 |
Bank Danamon | 0.21 | 3.59 | 3.12 |
ING | - | 3.48 | - |
Citi | 0.03 | 3.4 | 3.21 |
Bank Permata | 0.16 | 3.54 | 3.2 |
BTN | 0.15 | 3.53 | 3.28 |
ANZ | 0.17 | 3.55 | 3.17 |
MEDIAN | 0.165 | 3.54 | 3.185 |
Jika realisasi Agustus nanti sesuai ekspektasi, maka ada perlambatan laju inflasi dibandingkan bulan sebelumnya. Pada Juli, inflasi MoM berada di 0,31%, kemudian inflasi YoY adalah 3,32% dan inflasi inti YoY sebesar 3,18%.
Perlambatan laju inflasi sepertinya bukan pertanda ada masalah di sisi konsumsi. Terlihat dari inflasi inti yang masih stabil di kisaran 3%.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Perlu diperhatikan bahwa boleh saja konsumsi tidak melambat. Namun terlihat ada stagnasi. Dalam tiga bulan terakhir, inflasi inti sulit beranjak dari sekitar 3,2%.
Stagnasi permintaan domestik bisa dilihat dari setidaknya dua indikator. Pertama adalah impor barang konsumsi.
Dengan situasi Indonesia yang sekarang, industri dalam negeri belum bisa memenuhi seluruh permintaan konsumen sehingga harus ada impor. Kala impor barang konsumsi melambat, maka bisa menjadi salah satu pertanda masyarakat menahan atau mengurangi konsumsi.
Sejak awal tahun, impor barang konsumsi hampir selalu terkontraksi alias turun secara YoY. Hanya sekali impor barang konsumsi tumbuh positif yaitu pada Juni. Itu pun tipis saja, hanya naik sekitar 2%.
Indikator kedua adalah pertumbuhan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Setiap transaksi dipungut PPN 10%, sehingga PPN menggambarkan konsumsi masyarakat.
Pada Januari-Juli 2019, penerimaan PPN terkontraksi 4,55% YoY. Padahal pada periode yang sama tahun sebelumnya masih bisa tumbuh 14.26%.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Inflasi inti stagnan, impor barang konsumsi terus turun, dan penerimaan PPN terkontraksi. Sepertinya kita semua perlu sepakat bahwa permintaan domestik perlu didorong untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Di sisi moneter, BI sudah menurunkan suku bunga acuan dua kali sejak awal tahun. Alasannya adalah untuk mendorong momentum pertumbuhan ekonomi.
Melihat ekonomi masih belum melaju kencang, mungkin BI bisa mempertimbangkan untuk kembali menurunkan suku bunga acuan. Selain inflasi yang sudah aman, sepertinya dari sisi Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) juga belum ada tekanan yang berarti.
Arus devisa dari pos transaksi berjalan (
current account) di NPI mungkin masih sulit dibalik dari defisit menjadi surplus. Selama industri dalam negeri masih tergantung kepada impor, ya susah...
Namun di kamar sebelah, yaitu transaksi modal dan finansial, masih ada potensi arus devisa yang menjanjikan. Pasalnya, pasar keuangan Indonesia tetap atraktif meski BI 7 Day Reverse Repo Rate kembali diturunkan.
Misalnya di obligasi pemerintah. Imbal hasil (
yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun memang dalam tren turun seiring penurunan suku bunga acuan. Namun masih jauh lebih tinggi ketimbang instrumen serupa di negara-negara tetangga.
Oleh karena itu, jika BI memang sudah mengubah posisi (
stance) dari menjaga stabilitas menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi, maka pelonggaran kebijakan moneter lebih lanjut adalah langkah yang tepat. Apalagi dengan faktor eksternal seperti ekspor yang sulit diandalkan di tengah gejolak perang dagang dan proteksionisme. Konsumsi domestik adalah kunci.
TIM RISET CNBC INDONESIA