Newsletter

Sentimen Global Mulai Tenang, Perhatian Kini Tertuju pada BI

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
22 August 2019 07:00
Sentimen Global Mulai Tenang, Perhatian Kini Tertuju pada BI
Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham Indonesia menutup perdagangan Rabu (21/8/2019) dengan koreksi 0,68% ke 6.252,97, berbanding terbalik dengan mayoritas indeks utama bursa Asia yang menghijau. Pelaku pasar menanti arah kebijakan moneter Bank Indonesia (BI)

Meski sempat berupaya menguat di sesi pertama, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akhirnya tunduk di zona merah, sementara indeks Shanghai naik tipis 0,01%, indeks Hang Seng menguat 0,15%, dan indeks Kospi terapresiasi 0,22%.

Secara teknikal, pola pergerakan IHSG ini berpeluang berlanjut pada perdagangan hari ini, karena belum menyentuh area jenuh jual (oversold).



Pelaku pasar masih memilih menjaga jarak dari bursa saham, sembari menanti arah angin kebijakan moneter di Indonesia. The Federal Reserve (The Fed) telah merilis risalah rapatnya pada Kamis hari ini pukul 02:00 WIB yang berisikan sinyal bahwa otoritas moneter AS ini tidak bakal agresif memangkas suku bunga acuannya.

Sementara itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup menguat di perdagangan pasar spot kemarin, meski belum cukup untuk menggulingkan dolar AS dari level psikologis Rp 14.200. US$ 1 dibanderol Rp 14.235 di penutupan pasar spot. Rupiah menguat 0,14% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.

Harga obligasi rupiah pemerintah juga ditutup menguat tipis, atau melawan tren yang terjadi di pasar surat utang pemerintah negara lain, baik negara berkembang maupun negara maju yang justru sedang tertekan.

Data Refinitiv menunjukkan menguatnya harga SUN itu tercermin dari empat seri acuan (benchmark) yang sekaligus menurunkan tingkat imbal hasilnya (yield). Seri acuan yang paling menguat adalah FR0078 yang bertenor 10 tahun dengan penurunan yield 3,5 basis poin (bps) menjadi 7,31%.

Penguatan rupiah dan surat berharga negara (SBN) ini mengindikasikan bahwa investor memang mengantisipasi imbal hasil (yield) investasi Indonesia masih bakal lebih menarik, dengan tingkat suku bunga acuan yang belum akan diturunkan.

BI hari ini memasuki hari kedua Rapat Dewan Gubernur (RDG). Konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia memperkirakan BI menahan BI 7-Day Reverse Repo Rate di level 5,75%. Dari 12 ekonomi yang disurvei, hanya empat yang memperkirakan akan ada pemangkasan, yakni sebesar 25 basis poin (bps).

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Bursa saham AS menguat pada penutupan Rabu, menyambut kinclongnya kinerja dua peritel besar Negara Adidaya tersebut, yang menenggelamkan kekhawatiran bahwa negara dengan perekonomian terbesar dunia itu berada di bibir jurang resesi.

Indeks Dow Jones Industrial Average ditutup naik 240,29 (0,9%) ke 26.202,73 sedangkan indeks S&P 500 tumbuh 0,8% ke 2.924,43. Di sisi lain, indeks Nasdaq lompat 0,9% ke 8.020,21. Ketiganya bertahan di zona hijau bahkan ketika rilis risalah rapat The Fed menunjukkan bahwa otoritas moneter itu tidak menyiapkan pemangkasan suku bunga agresif.




Saham emiten peritel AS, Target, melambung 20% ke level tertingginya sepanjang masa setelah Penjualan peritel AS Target di toko yang sama (same-store sales) menguat 3,4% atau melampaui ekspektasi analis yang memperkirakan pertumbuhan sebesar 2,9%. Sementara itu, saham Lowe's melonjak 10,4% setelah melaporkan kenaikan laba bersih sebesar 12%.

Kinerja fantastis tersebut dibukukan di tengah kekhawatiran perlambatan ekonomi AS, sehingga sempat memicu mereka memborong aset minim risiko (safe haven) seperti obligasi pemerintah AS (US Treasury) dan emas. Seperti kita tahu, konsumsi menyumbang 67% produk domestik bruto (PDB) Negara Sam tersebut.

Mengaburnya kekhawtiran resesi itu membuat pasar tidak terlalu berekspektasi akan ada penurunan suku bunga yang agresif. Dalam risalah rapat yang berlangsung bulan lalu, The Fed sepakat bahwa pemangkasan suku bunga sebesar 25 basis poin pada Juli itu bukamlah indikasi awal dari era pemangkasan suku bunga.

Padahal, sebelumnya pelaku pasar bertaruh bahwa The Fed akan melakukan serangkaian pemangkasan suku bunga. Piranti FedWatch milik CME Group menunjukkan pelaku pasar bertaruh Jerome Powell dkk memangkas suku bunga pada September, dengan tingkat probabilitas 98,1% untuk pemangkasan sebesar 25 basis poin (bp) ke 1,75%-2%.

Bahkan jika melihat suku bunga untuk bulan Desember dalam piranti FedWatch, probabilitas suku bunga The Fed berada di level 1,25%-1,5% adalah sebesar 49%. Ini merupakan tngkat yang tertinggi dibandingkan dengan probabliitas untuk level lainnya, mengindikasikan pelaku pasar melihat The Fed akan memangkas suku bunga tiga kali lagi tahun ini, masing-masing sebesar 25 bps.


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)  


Perhatian pelaku pasar bakal kembali mengarah ke dalam negeri, menyusul RDG Bank Indonesia yang bakal berakhir pada siang hari ini. Untuk sementara, mayoritas pelaku pasar sebagaimana tercermin dari konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia, bertaruh suku bunga acuan Indonesia akan tetap di level 5,75%.

BI saat ini berada dalam pilihan antara menjaga stabilitas kurs mata uang, atau memberikan bantuan bagi perekonomian dengan memangkas suku bunga lagi untuk memberikan stimulus guna mendongkrak ekonomi yang saat ini cenderung stagnan di angka 5%.

Di tengah tingkat inflasi yang terjaga dalam kepungan ketidakpastian eksternal dalam jangka menengah, menjaga suku bunga acuan di level sekarang menjadi pilihan yang aman bulan ini. Sebaliknya, pemangkasan sebesar 25 bps bakal terlihat "agresif" di tengah problem defisit transaksi berjalan (current aaccount deficit/CAD) yang masih bengkak.

Sentimen dari bursa global sejauh ini terbilang positif, dengan penjualan ritel AS yang begitu kuat hingga mengaburkan kekhawatiran akan resesi dalam waktu dekat. Situasi psikologi pasar yang kian tenang ini terkonfirmasi dari menguatnya Wall Street meski risalah rapat The Fed pada Juli jelas mengindikasikan tidak bakal ada pelonggaran moneter yang agresif. 

Dalam rilis tersebut, Fed menyatakan bahwa pemangkasan suku bunga sebesar 25 basis poin pada Juli lalu hanyalah "rekalibrasi". Setelah risalah rapat itu dirilis, kurva antara obligasi pemerintah AS betenor 2 tahun dan tenor 10 tahun menjadi flat sama-sama di level 1,58%.


Namun di balik ketenangan tersebut, pelaku pasar harus mencermati potensi riak di perekonomian AS. Betul bahwa penjualan ritel meningkat, tetapi sebagaimana diingatkan oleh 
Chief Investment Officer Gluskin Sheff, David Rosenberg, pertumbuhan itu belum tentu berkesinambungan dan bahkan bisa memicu bubble ekonomi.

Pangkal persoalannya terletak pada kenyataan bahwa mayoritas penjualan ritel di AS--yang tumbuh 0,7% (per Juli), melanjutkan kenaikan 0,3% pada Juni--dilakukan dengan kredit. Sementara, pendapatan bulanan rata-rata pekerja AS menurun sebesar 0,3% secara bulanan pada Juli.

Karena itu, pelaku pasar harus memperhatikan data pengangguran dan tenaga kerja di AS yang bakal dirilis pada malam hari ini.  

(BERLANJUT KE HALAMAN 4)

Berikut adalah data dan agenda yang terjadwal untuk hari ini:
  • Rilis Hasil RDG BI Hari Kedua (14:00 WIB)
  • Rilis PMI Markit Manufaktur Uni Eropa (15.00 WIB)
  • Rilis angka pengangguran AS per 17 Agustus (19:30 WIB)
  • Simposium Jackson Hole (22:30 WIB).

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional: 

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q II-2019 YoY)5,05%
Inflasi (Juli 2019 YoY)3,32%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Juli 2019)5,75%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (Q II-2019)-3,04% PDB
Neraca pembayaran (Q II-2019)-US$ 1,98 miliar
Cadangan devisa (Juli 2019)US$ 125,9 miliar
 
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular