Selow Mister Trump, The Fed Sepertinya Dengar Suara Anda Kok

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
22 August 2019 06:19
Selow Mister Trump, The Fed Sepertinya Dengar Suara Anda Kok
Presiden AS Donald Trump (REUTERS/Kevin Lamarque)
Jakarta,  CNBC Indonesia - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump adalah sosok yang penuh kontroversi. Di panggung politik, Trump kerap kali 'mencari lawan' dengan melancarkan kritik bahkan ancaman kepada orang-orang yang tidak disukainya. 

Pemimpin Korea Utara Kim Jong-Un pernah menjadi korban bullying Trump. Saat hubungan Washington-Pyongyang memanas, Trump bahkan menjuluki Kim sebagai pria roket kecil (little rocket man). Namun sekarang hubungan keduanya sudah jauh membaik, meski kadang masih panas-dingin. 

Tidak cuma di luar, Trump juga sering melancarkan serangan kepada pihak-pihak di dalam negeri. Hillary Clinton dan para petinggi Partai Demokrat sering menjadi sasaran sindiran bahkan hujatan dari sang presiden ke-46. 

Namun yang unik adalah Trump menjadi satu dari sedikit penghuni Gedung Putih yang berani terang-terangan menyerang Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed). Sudah sulit dihitung berapa kali Trump menyasar institusi tersebut. 

Teranyar, Trump kembali melontarkan sindiran kepada Ketua Jerome 'Jay' Powell dan kolega. Dalam utas (thread) di Twitter, dia menegaskan kebijakan moneter AS seakan salah arah sehingga perekonomian Negeri Paman Sam sulit berkompetisi dengan negara-negara lain. 

"Jerman saat ini menerapkan suku bunga nol, dan bahkan mungkin orang diberi uang saat meminjam uang. Sementara AS, yang kondisinya lebih kuat, masih membayar bunga. Hentikan pengetatan (moneter). Dolar AS menjadi sangat kuat, sulit untuk mengekspor. Padahal tidak ada inflasi! 

"KE MANA FEDERAL RESERVE?" demikian cuitan Trump. 


Kalau perbankan Jerman menerapkan suku bunga sangat rendah, bahkan mungkin 0%, itu karena suku bunga acuan di sana juga sangat rendah. Sejak Maret 2016 sampai sekarang, suku bunga acuan Bank Sentral Uni Eropa (European Central Bank) adalah -0,4%.  

 

Ya, minus. Sudah lebih dari tiga tahun pula. Menjadi wajar ketika transmisinya ke suku bunga perbankan sudah matang. 

Namun kalau melihat data, mungkin Trump kurang cermat. Sebab data Deutsche Bundesbank (Bank Sentral Jerman) menyebutkan rata-rata suku bunga kredit di Jerman masih di kisaran 2%. 





(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Well, dengan latar belakang sebagai seorang pengusaha (apalagi di sektor properti), wajar jika Trump meradang kala The Fed dinilainya terlalu konservatif dan tidak mau agresif dalam melonggarkan kebijakan moneter. Penurunan suku bunga acuan 25 basis poin (bps) ke 2-2,25% bulan lalu sepertinya belum cukup buat Trump. 

Maklum, suku bunga adalah salah satu 'musuh' besar dunia usaha. Kala suku bunga tinggi, ekspansi akan lebih mahal sehingga niat dan niat untuk menggemukkan laba menjadi terhalang. Ada biaya bernama pembayaran bunga. 

Jadi tidak heran Trump sering mengkritik The Fed yang menaikkan suku bunga acuan sampai empat kali tahun lalu. Trump memandang The Fed tidak sejalan dengannya yang sedang menggenjot pertumbuhan ekonomi. 

Baca: Trump Minta Fed Turunkan Suku Bunga 100 Bps

Namun, mungkin Trump lupa bahwa mandat utama The Fed dari Kongres (yang merupakan representasi rakyat AS) ada tiga. Memaksimalkan penciptaan lapangan kerja, menjaga kestabilan harga yang tercermin dari inflasi, dan menetapkan suku bunga moderat dalam jangka panjang. 

Menggenjot pertumbuhan ekonomi? Tidak ada.  

Jadi kalau Trump meminta The Fed untuk ikut mendorong pertumbuhan ekonomi, mohon maaf, sepertinya salah alamat. Fungsi dasar dan klasik dari bank sentral adalah menjaga stabilitas. Kalau bank sentral mau mendorong pertumbuhan ekonomi, itu adalah bonus jika stabilitas benar-benar dirasa sudah aman. 

Bank sentral ibarat seorang istri yang bolak-balik menelepon suaminya untuk segera pulang dari acara minum-minum selepas jam kerja. Sang istri tentu tidak mau suami tercinta jadi korban begal atau terlibat dalam kecelakaan lalu lintas akibat kebanyakan menenggak alkohol. 

Begitu juga dengan bank sentral, tidak terkecuali The Fed. Ada alasan kuat mengapa Powell dan sejawat sampai menaikkan Federal Funds Rate 100 bps tahun lalu. 

Selepas Trump mengesahkan aturan pemangkasan tarif Pajak Penghasilan (PPh) pada akhir 2017, ekonomi AS melesat. Puncaknya adalah pada kuartal II-2018, di mana ekonomi Negeri Adidaya tumbuh 4,2%, terbaik sejak kuartal III-2014. 



Laju inflasi pun terakselerasi seiring dengan pertumbuhan ekonomi. The Fed mengukur inflasi dengan menggunakan Personal Consumption Expenditure (PCE) inti dan memasang target 2%. Pada 2018, PCE inti beberapa kali melampaui target itu. 

Tidak hanya itu, angka pengangguran juga turun drastis. Bahkan sampai ke 3,7%, terendah sejak 1969. 

Kalau seperti ini terus, ekonomi AS bisa seperti suami yang mabuk berat di pesta dan pulangnya menyetir sendiri. Bisa kebablasan, risiko kecelakaan begitu besar. 

Dalam konteks ekonomi, laju pertumbuhan yang pesat dan tanpa kontrol bisa menyebabkan ekonomi terserang overheating. Akan tercipta inflasi yang tidak perlu karena ekonomi tumbuh terlalu kencang, yang bisa menjadi bumerang bagi konsumen. 

Oleh karena itu, bank sentral pun bertindak sebagai istri yang mencoba mengingatkan suaminya. Jangan terlalu terbuai suasana, harus tetap menginjak bumi. Jangan sampai kebablasan. 

Caranya adalah dengan menaikkan suku bunga acuan. Dengan begitu, ada 'rem' di perekonomian. Ada pembatas agar laju ekonomi tetap terkendali, tidak kebablasan.  

Baca: Donald Trump vs The Fed, Siapa yang Salah?


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Akan tetapi, Trump tidak sepenuhnya salah. Ada benarnya suami Melania itu meminta The Fed lebih agresif, lebih menanggalkan peran sebagai penjaga stabilitas. 

Sebab, kondisi saat ini sudah berbeda. Tanda-tanda perlambatan ekonomi di AS sangat terasa. Pada kuartal I-2019, ekonomi AS masih tumbuh 3,1%. Namun pada kuartal II-2019 melambat lumayan signifikan menjadi 2,1% dan pada kuartal III-2019 The Fed memperkirakan sedikit membaik menjadi 2,2%. Lupakan pencapaian 4% seperti tahun lalu. 

Laju inflasi pun ikut melambat. PCE inti kini kian menjauh dari target 2%. 



Penciptaan lapangan kerja pun terancam. Tendensi ke arah sana sudah ada, karena produksi industri AS terus turun. 

Pada Juli, produksi industri AS hanya tumbuh 0,48% year-on-year (YoY). Ini adalah laju terlemah sejak Februari 2017. 



Baca: Resesi Hantui Amerika di 2020

Saat laju inflasi melambat dan penciptaan lapangan kerja berpotensi turun, maka The Fed memang tidak boleh diam. The Fed harus menciptakan kondisi yang mendukung bagi kestabilan harga dan pasar tenaga kerja. Caranya adalah melonggarkan kebijakan moneter. 

Setelah Federal Funds Rate turun bulan lalu, pasar meyakini itu bukan yang pertama. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas penurunan suku bunga acuan 25 bps ke 1,75-2% mencapai 98,1%. 

Kemudian Federal Funds Rate diperkirakan turun lagi 25 bps menjadi 1,5-1,75% pada Oktober, dengan peluang mencapai 69,2%. Kemudian pada Desember, ini yang agak tricky, peluang untuk suku bunga acuan tetap di 1,5-1,75% adalah 44,7%, tetapi peluang untuk kembali turun ke 1,25-1,5% juga lumayan tinggi yaitu 43,3%. 

Jadi jangan khawatir, Mister Trump. The Fed kemungkinan mendengar suara Anda dan akan kembali menurunkan suku bunga acuan setidaknya dua kali lagi kok. 

Kalau benar The Fed menurunkan suku bunga acuan minimal tiga kali tahun ini, maka akan menjadi semacam win-win solution. Trump akan senang (walau mungkin tidak sepenuhnya puas) dan The Fed tetap menjalankan mandatnya untuk menjaga inflasi serta meningkatkan penciptaan lapangan kerja. Semua senang lah, happy ending...


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular