
Selow Mister Trump, The Fed Sepertinya Dengar Suara Anda Kok
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
22 August 2019 06:19

Well, dengan latar belakang sebagai seorang pengusaha (apalagi di sektor properti), wajar jika Trump meradang kala The Fed dinilainya terlalu konservatif dan tidak mau agresif dalam melonggarkan kebijakan moneter. Penurunan suku bunga acuan 25 basis poin (bps) ke 2-2,25% bulan lalu sepertinya belum cukup buat Trump.
Maklum, suku bunga adalah salah satu 'musuh' besar dunia usaha. Kala suku bunga tinggi, ekspansi akan lebih mahal sehingga niat dan niat untuk menggemukkan laba menjadi terhalang. Ada biaya bernama pembayaran bunga.
Jadi tidak heran Trump sering mengkritik The Fed yang menaikkan suku bunga acuan sampai empat kali tahun lalu. Trump memandang The Fed tidak sejalan dengannya yang sedang menggenjot pertumbuhan ekonomi.
Baca: Trump Minta Fed Turunkan Suku Bunga 100 Bps
Namun, mungkin Trump lupa bahwa mandat utama The Fed dari Kongres (yang merupakan representasi rakyat AS) ada tiga. Memaksimalkan penciptaan lapangan kerja, menjaga kestabilan harga yang tercermin dari inflasi, dan menetapkan suku bunga moderat dalam jangka panjang.
Menggenjot pertumbuhan ekonomi? Tidak ada.
Jadi kalau Trump meminta The Fed untuk ikut mendorong pertumbuhan ekonomi, mohon maaf, sepertinya salah alamat. Fungsi dasar dan klasik dari bank sentral adalah menjaga stabilitas. Kalau bank sentral mau mendorong pertumbuhan ekonomi, itu adalah bonus jika stabilitas benar-benar dirasa sudah aman.
Bank sentral ibarat seorang istri yang bolak-balik menelepon suaminya untuk segera pulang dari acara minum-minum selepas jam kerja. Sang istri tentu tidak mau suami tercinta jadi korban begal atau terlibat dalam kecelakaan lalu lintas akibat kebanyakan menenggak alkohol.
Begitu juga dengan bank sentral, tidak terkecuali The Fed. Ada alasan kuat mengapa Powell dan sejawat sampai menaikkan Federal Funds Rate 100 bps tahun lalu.
Selepas Trump mengesahkan aturan pemangkasan tarif Pajak Penghasilan (PPh) pada akhir 2017, ekonomi AS melesat. Puncaknya adalah pada kuartal II-2018, di mana ekonomi Negeri Adidaya tumbuh 4,2%, terbaik sejak kuartal III-2014.
Laju inflasi pun terakselerasi seiring dengan pertumbuhan ekonomi. The Fed mengukur inflasi dengan menggunakan Personal Consumption Expenditure (PCE) inti dan memasang target 2%. Pada 2018, PCE inti beberapa kali melampaui target itu.
Tidak hanya itu, angka pengangguran juga turun drastis. Bahkan sampai ke 3,7%, terendah sejak 1969.
Kalau seperti ini terus, ekonomi AS bisa seperti suami yang mabuk berat di pesta dan pulangnya menyetir sendiri. Bisa kebablasan, risiko kecelakaan begitu besar.
Dalam konteks ekonomi, laju pertumbuhan yang pesat dan tanpa kontrol bisa menyebabkan ekonomi terserang overheating. Akan tercipta inflasi yang tidak perlu karena ekonomi tumbuh terlalu kencang, yang bisa menjadi bumerang bagi konsumen.
Oleh karena itu, bank sentral pun bertindak sebagai istri yang mencoba mengingatkan suaminya. Jangan terlalu terbuai suasana, harus tetap menginjak bumi. Jangan sampai kebablasan.
Caranya adalah dengan menaikkan suku bunga acuan. Dengan begitu, ada 'rem' di perekonomian. Ada pembatas agar laju ekonomi tetap terkendali, tidak kebablasan.
Baca: Donald Trump vs The Fed, Siapa yang Salah?
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(aji/sef)
Maklum, suku bunga adalah salah satu 'musuh' besar dunia usaha. Kala suku bunga tinggi, ekspansi akan lebih mahal sehingga niat dan niat untuk menggemukkan laba menjadi terhalang. Ada biaya bernama pembayaran bunga.
Jadi tidak heran Trump sering mengkritik The Fed yang menaikkan suku bunga acuan sampai empat kali tahun lalu. Trump memandang The Fed tidak sejalan dengannya yang sedang menggenjot pertumbuhan ekonomi.
Namun, mungkin Trump lupa bahwa mandat utama The Fed dari Kongres (yang merupakan representasi rakyat AS) ada tiga. Memaksimalkan penciptaan lapangan kerja, menjaga kestabilan harga yang tercermin dari inflasi, dan menetapkan suku bunga moderat dalam jangka panjang.
Menggenjot pertumbuhan ekonomi? Tidak ada.
Jadi kalau Trump meminta The Fed untuk ikut mendorong pertumbuhan ekonomi, mohon maaf, sepertinya salah alamat. Fungsi dasar dan klasik dari bank sentral adalah menjaga stabilitas. Kalau bank sentral mau mendorong pertumbuhan ekonomi, itu adalah bonus jika stabilitas benar-benar dirasa sudah aman.
Bank sentral ibarat seorang istri yang bolak-balik menelepon suaminya untuk segera pulang dari acara minum-minum selepas jam kerja. Sang istri tentu tidak mau suami tercinta jadi korban begal atau terlibat dalam kecelakaan lalu lintas akibat kebanyakan menenggak alkohol.
Begitu juga dengan bank sentral, tidak terkecuali The Fed. Ada alasan kuat mengapa Powell dan sejawat sampai menaikkan Federal Funds Rate 100 bps tahun lalu.
Selepas Trump mengesahkan aturan pemangkasan tarif Pajak Penghasilan (PPh) pada akhir 2017, ekonomi AS melesat. Puncaknya adalah pada kuartal II-2018, di mana ekonomi Negeri Adidaya tumbuh 4,2%, terbaik sejak kuartal III-2014.
Laju inflasi pun terakselerasi seiring dengan pertumbuhan ekonomi. The Fed mengukur inflasi dengan menggunakan Personal Consumption Expenditure (PCE) inti dan memasang target 2%. Pada 2018, PCE inti beberapa kali melampaui target itu.
Tidak hanya itu, angka pengangguran juga turun drastis. Bahkan sampai ke 3,7%, terendah sejak 1969.
Kalau seperti ini terus, ekonomi AS bisa seperti suami yang mabuk berat di pesta dan pulangnya menyetir sendiri. Bisa kebablasan, risiko kecelakaan begitu besar.
Dalam konteks ekonomi, laju pertumbuhan yang pesat dan tanpa kontrol bisa menyebabkan ekonomi terserang overheating. Akan tercipta inflasi yang tidak perlu karena ekonomi tumbuh terlalu kencang, yang bisa menjadi bumerang bagi konsumen.
Oleh karena itu, bank sentral pun bertindak sebagai istri yang mencoba mengingatkan suaminya. Jangan terlalu terbuai suasana, harus tetap menginjak bumi. Jangan sampai kebablasan.
Caranya adalah dengan menaikkan suku bunga acuan. Dengan begitu, ada 'rem' di perekonomian. Ada pembatas agar laju ekonomi tetap terkendali, tidak kebablasan.
Baca: Donald Trump vs The Fed, Siapa yang Salah?
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(aji/sef)
Next Page
Trump Tidak Salah
Pages
Most Popular