Newsletter

Kali ini, Pertaruhan Masa Depan Perang Dagang Ada di Huawei

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
19 August 2019 07:01
Kali ini, Pertaruhan Masa Depan Perang Dagang Ada di Huawei
Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham Indonesia tercatat menguat pada perdagangan akhir pekan lalu di tengah ancaman resesi akibat perang dagang yang berlarut-larut. Hari ini, pelaku pasar bakal memantau sejauh mana api perang dagang akan berkobar setelah Huawei resmi dikenai sanksi.

Sepanjang pekan lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat menguat 0,07% dan ditutup di level 6.286,657. Meski hanya menguat tipis, IHSG merupakan satu dari dua indeks saham utama Benua Asia yang menguat di tengah terpaan sejumlah sentimen negatif terkait perekonomian global.


Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat 0,1%. Seperti halnya IHSG, rupiah juga mampu bertahan di tengah tekanan bursa global sepekan yang lalu.

Untuk menyegarkan ingatan, IHSG sempat tertekan di awal-awal perdagangan pada Jumat (16/8/2019) pekan lalu, tetapi kemudian sukses berbalik menguat pada perdagangan sesi ke-2 menyambut pidato nota keuangan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Pemerintah pada tahun 2020 menyusun asumsi makro ekonomi yang lebih realistis dengan target pertumbuhan ekonomi 5,3% alias tidak berubah dari target yang dipatok pada R-APBN 2019. Konsumsi dan investasi akan digenjot sehingga membuat saham sektor konstruksi, farmasi, dan konsumer menguat.

Bersamaan dengan itu, sentimen positif dari Amerika Serikat (AS) juga menyeruak di mana inversi yield pada obligasi pemerintah AS bertenor 2 dan 10 tahun sudah tidak terjadi lagi. Yield obligasi jangka pendek kembali terkendali dan tidak lagi melampaui yield jangka panjang sehingga membentuk kurva inversi (inverted yield curve).

Kali terakhir yield obligasi tenor dua tahun lebih tinggi dibandingkan yang 10 tahun yakni pada 2007, meletus krisis keuangan global. Oleh karena itu, wajar jika investor khawatir dengan pola yang terbentuk ini.

Namun dengan menghilangnya inversi seperti timbul tenggelamnya air pasang di laut, pelaku pasar pun mencerna bahwa yang terjadi saat ini adalah kekhawatiran terkait yang dipicu oleh ketidakpastian yang bersifat sementara atau politisi. Pemicunya apalagi jika bukan perang dagang.

Betul bahwa ada sinyal pertumbuhan ekonomi di China melambat ke titik terendahnya dalam 27 tahun, yakni 6,2% per kuartal II-2019. Demikian juga output industri Jepang pada Juni yang turun 3,8% YoY, lebih dalam ketimbang bulan sebelumnya yaitu minus 2,1% YoY.

Namun, hal itu terjadi karena kebijakan politik Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang mengobarkan perang tarif terhadap mitra dagang utamanya, terutama China, yang diikuti negara lain seperti Jepang, Korea Selatan (Korsel), dan India.

Hingga kini, Washington dan Beijing masih mengupayakan negosiasi, sehingga tombol untuk "membatalkan" risiko resesi sejatinya ada di tangan politisi-politisi tersebut. Tiap kali ada kabar dan sinyal positif terkait damai dagang, maka kurva inversi obligasi pemerintah AS pun lenyap bagai debu tertiup angin.

Ini yang membedakan situasi kurva inversi yang terjadi pada 2007, tatkala pemodal memburu obligasi jangka panjang setelah secara fundamental terjadi problem likuiditas di pasar subprime mortgage loan AS dalam skala yang besar.

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Pada perdagangan Jumat waktu setempat di New York pekan lalu, bursa saham AS ditutup dengan posisi rebound (berbalik menguat) dan berada di zona hijau menyambut akhir pekan. 

Dow Jones Industrial Average naik 306,62 poin atau 1,2% menjadi 25.886,01, sementara S&P 500 naik 1,4%, atau 41,08 poin, menjadi 2.888,68 dan Nasdaq Composite sekitar 1,7% lebih tinggi pada 7.895,99. 

Saham-saham teknologi ditutup menguat, seperti misalnya Apple dan Nvidia yang memimpin kenaikan tersebut. Namun secara mingguan, indeks Dow Jones masih kehilangan 1,5% pada akhir pekan lalu.


Perang dagang antara AS dan China masih merupakan pendorong besar pergerakan pasar. Presiden AS Donald Trump sebelumnya telah memutuskan untuk menunda beberapa tarif China terbaru hingga Desember. 
Trump juga menegaskan kedua pihak akan mengadakan pembicaraan bulan depan.

"September, pertemuan masih berjalan seperti yang saya pahami, tapi saya pikir lebih penting daripada September, kami berbicara melalui telepon, dan kami melakukan pembicaraan yang sangat produktif," kata Trump kepada wartawan, Kamis.

Komentarnya muncul setelah China berjanji akan melawan tarif terbaru atas barang-barang China senilai US$ 300 miliar, tetapi mendesak AS untuk bertemu setengah jalan untuk mengamankan perjanjian.

Hanya saja, sikap Trump seperti biasa masih mendua, alias tidak tertebak mana yang sebenarnya. Dalam jumpa pers pada Minggu waktu setempat, dia menyatakan kurang optimistis dengan prospek capaian kesepakatan dagang dengan China.

"Aku belum ingin meneken kesepakatan," tutur Trump sebagaimana dilaporkan Reuters. Dia bahkan mulai menyeret isu perang dagang ke ranah politik dalam negeri China, terkait dengan penanganan aksi protes di Hong Kong.

Bagi Beijing, tiap upaya negara asing mencampuri urusan dalam negeri mereka merupakan sesuatu yang tidak bisa ditolerir, alias garis yang tak boleh dilanggar. 

(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen, terutama yang masih terkait dengan perkembangan perang dagang. Ada harapan bahwa perang dagang tidak terlampau berkecamuk kembali, meski Trump memberi tenggat Senin (19/8/2019) alias hari ini bagi seluruh instansi AS menghentikan pasokan update terhadap Huawei.

Perlu diketahui, ada peluang bahwa Trump kembali melunak terkait dengan sanksi yang akan dikenakannya pada pabrikan ponsel dan perangkat teknologi terbesar Negeri Panda tersebut.

Dua sumber di pemerintahan AS menyebutkan Departemen Perdagangan AS akan memberikan kelonggaran, mengizinkan Huawei membeli suplai dari perusahaan AS. "Izin yang berlaku umum dan sementara" bagi Huawei akan diperpanjang selama 90 hari, tutur sumber tersebut, sebagaimana dilaporkan CNBC International.

Perpanjangan tersebut memberikan nafas baru bagi Huawei dan terutama konsumennya untuk menikmati update piranti lunak (software) dari perusahaan penyedia aplikasi dan android AS.


Pelaku pasar bisa berharap bahwa perkembangan di AS yang sudah jauh lebih tenang bisa menjadi dasar bagi bursa Asia untuk kembali melaju di jalur hijau, sehingga memungkinkan IHSG menikmati gain pada perdagangan awal pekan ini.

Terlebih, dalam konferensi pers di Gedung Putih, Trump dan para stafnya dengan tegas menyatakan tidak ada sinyal resesi yang sedang mengintai negara dengan perekonomian terbesar dunia tersebut.

"Ekonomi kita bergerak dengan sangat baik, masyarakat konsumen kita kaya-kaya, aku sudah memberikan pemangkasan pajak besar-besaran sehingga mempersenjatai mereka dengan uang belanja yang banyak," ujar Trump.

Kurva inversi memang cenderung memudar, tetapi sewaktu-waktu kembali bisa muncul jika sentimen terkait perang dagang memburuk. Pada akhirnya, ini menjadi alasan bagi investor untuk mengamankan asetnya terlebih dahulu dari bursa saham global.

Perhatikan juga update perang dagang yang mulai menyeruak di Semenanjung Korea. Korsel menyatakan bakal mengeluarkan Jepang dari daftar putih berisikan mitra dagang Korsel "terpercaya" dan menikmati fasilitas dagang. Jepang bereaksi serupa dengan berencana memberlakukan hal yang sama mulai 28 Agustus.

Neraca perdagangan Korea Selatan (Korsel) per Juli telah tertekan. Menurut data Revinitif, Negeri Ginseng tersebut mencatat penurunan ekspor sebesar 11% dan koreksi impor 2,7%, sehingga neraca perdagangan berada di level US$2,4 miliar.

Dari dalam negeri, pelaku pasar layak mencermati data rilis penjualan mobil dan motor dari Gaikindo (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia) per Juli. Sebelumnya per Juni, penjualan mobil di Indonesia masih tumbuh 1,2% sedangkan penjualan motor turun 4,7%.

Penurunan penjualan terjadi hampir di seluruh merek kendaraan, sehingga mengindikasikan bahwa konsumsi rumah tangga maupun swasta terhadap produk otomotif belum sepenuhnya membaik. Penjualan PT Astra International Tbk (ASII) turun 5,5% pada semester I 2019.
 


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)

Berikut adalah data dan agenda yang terjadwal untuk hari ini:
  • Rilis data neraca transaksi berjalan (current account) dan inflasi Zona Euro (dimulai pukul 15:00 WIB).
  • Rilis data revisi neraca perdagangan Korea Selatan (tentatif).
  • Rilis data penjualan motor dan mobil Indonesia (tentatif). 

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional: 

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q II-2019 YoY)5,05%
Inflasi (Juli 2019 YoY)3,32%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Juli 2019)5,75%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (Q II-2019)-3,04% PDB
Neraca pembayaran (Q II-2019)-US$ 1,98 miliar
Cadangan devisa (Juli 2019)US$ 125,9 miliar
 
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular