
Newsletter
Hati-hati, Mata Uang Negeri Lionel Messi Anjlok Lagi!
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
13 August 2019 05:39

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia mengalami koreksi pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah, sampai harga obligasi pemerintah melemah.
Kemarin, IHSG menutup hari dengan pelemahan 0,5%. Sementara rupiah melemah 0,42% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik 3,5 basis poin (bps). Kenaikan yield adalah pertanda harga obligasi sedang turun karena terpapar aksi jual.
Pasar keuangan Indonesia bergerak searah dengan para tetangganya di Asia. Di pasar saham, indeks Hang Seng melemah 0,44%, PSEI (Filipina) minus 0,76%, Straits Times berkurang 0,49%, dan SETI (Thailand) terkoreksi 0,87%.
Di pasar valas, kejadiannya lebih ekstrem lagi. Hampir seluruh mata uang utama Benua Kuning melemah di hadapan greenback, hanya tersisa yen Jepang yang masih mampu menguat.
Sentimen yang menghantui pasar keuangan global sejak pekan lalu belum berubah. Perang dagang AS vs China masih menjadi kekhawatiran utama pelaku pasar.
Presiden AS Donald Trump memang masih terbuka untuk melanjutkan perundingan dengan China, yang dijadwalkan berlangsung di Washington pada awal September. Namun bukan tidak mungkin dialog itu batal.
"Mungkin (dialog di Washington batal), tetapi kita lihat nanti. Perundingan masih terjadwal," ujar Trump akhir pekan lalu, seperti diberitakan Reuters.
Menurut Trump, China masih berhasrat untuk mencapai kesepakatan damai dagang. Namun Trump menyatakan dirinya belum siap untuk itu.
Perang dagang AS-China pun cenderung berlanjut ke perang mata uang. Setelah pekan lalu melemah, yuan China kembali melanjutkan depresiasi terhadap dolar AS Ada tendensi China sengaja melemahkan nilai tukar yuan untuk menggenjot kinerja ekspor.
Kekhawatiran terhadap perang dagang AS-China yang masih memanas membuat investor masih emoh bermain-main di instrumen berisiko di negara berkembang. Akibatnya, arus modal enggan masuk ke pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia.
Namun ada pula sentimen domestik yang membebani IHSG dkk. Sebelumnya, baik IHSG, rupiah, maupun obligasi pemerintah sama-sama sudah menguat tiga hari beruntun. Dalam tiga hari tersebut, IHSG sudah melesat 2,66%, rupiah menguat 0,53%, dan yield obligasi pemerintah 10 tahun turun 35,8 bps.
Jadi, koreksi teknikal memang selalu membayangi. Investor yang sudah merasa mendapat cuan gede bakal tergoda untuk mencairkannya. Ketika itu terjadi, tekanan jual menyebabkan pasar keuangan Indonesia terkoreksi.
Kemudian, akhir pekan lalu Bank Indonesia (BI) melaporkan data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal II-2019 yang membukukan defisit US$ 1,98 miliar. Padahal pada kuartal sebelumnya terjadi surplus US$ 2,42 miliar.
Sementara di pos yang menjadi sorotan utama, yaitu transaksi berjalan (current account), terjadi defisit US$ 8,44 miliar atau 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya yaitu minus US$ 6,97 miliar (2,6% PDB).
Defisit NPI menandakan arus devisa di perekonomian nasional seret, lebih banyak yang keluar ketimbang yang masuk. Apalagi kemudian devisa jangka panjang dari ekspor barang dan jasa, yang dicerminkan dari transaksi berjalan, mengalami defisit yang lebih parah.
Semestinya ini menjadi sentimen negatif yang tidak main-main bagi rupiah. Tanpa bantalan devisa yang memadai, rupiah sulit untuk stabil. Akibatnya, rupiah dan aset-aset berbasis mata uang ini bisa cenderung melemah.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Kemarin, IHSG menutup hari dengan pelemahan 0,5%. Sementara rupiah melemah 0,42% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik 3,5 basis poin (bps). Kenaikan yield adalah pertanda harga obligasi sedang turun karena terpapar aksi jual.
Pasar keuangan Indonesia bergerak searah dengan para tetangganya di Asia. Di pasar saham, indeks Hang Seng melemah 0,44%, PSEI (Filipina) minus 0,76%, Straits Times berkurang 0,49%, dan SETI (Thailand) terkoreksi 0,87%.
Di pasar valas, kejadiannya lebih ekstrem lagi. Hampir seluruh mata uang utama Benua Kuning melemah di hadapan greenback, hanya tersisa yen Jepang yang masih mampu menguat.
Sentimen yang menghantui pasar keuangan global sejak pekan lalu belum berubah. Perang dagang AS vs China masih menjadi kekhawatiran utama pelaku pasar.
Presiden AS Donald Trump memang masih terbuka untuk melanjutkan perundingan dengan China, yang dijadwalkan berlangsung di Washington pada awal September. Namun bukan tidak mungkin dialog itu batal.
"Mungkin (dialog di Washington batal), tetapi kita lihat nanti. Perundingan masih terjadwal," ujar Trump akhir pekan lalu, seperti diberitakan Reuters.
Menurut Trump, China masih berhasrat untuk mencapai kesepakatan damai dagang. Namun Trump menyatakan dirinya belum siap untuk itu.
Perang dagang AS-China pun cenderung berlanjut ke perang mata uang. Setelah pekan lalu melemah, yuan China kembali melanjutkan depresiasi terhadap dolar AS Ada tendensi China sengaja melemahkan nilai tukar yuan untuk menggenjot kinerja ekspor.
Kekhawatiran terhadap perang dagang AS-China yang masih memanas membuat investor masih emoh bermain-main di instrumen berisiko di negara berkembang. Akibatnya, arus modal enggan masuk ke pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia.
Namun ada pula sentimen domestik yang membebani IHSG dkk. Sebelumnya, baik IHSG, rupiah, maupun obligasi pemerintah sama-sama sudah menguat tiga hari beruntun. Dalam tiga hari tersebut, IHSG sudah melesat 2,66%, rupiah menguat 0,53%, dan yield obligasi pemerintah 10 tahun turun 35,8 bps.
Jadi, koreksi teknikal memang selalu membayangi. Investor yang sudah merasa mendapat cuan gede bakal tergoda untuk mencairkannya. Ketika itu terjadi, tekanan jual menyebabkan pasar keuangan Indonesia terkoreksi.
Kemudian, akhir pekan lalu Bank Indonesia (BI) melaporkan data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal II-2019 yang membukukan defisit US$ 1,98 miliar. Padahal pada kuartal sebelumnya terjadi surplus US$ 2,42 miliar.
Sementara di pos yang menjadi sorotan utama, yaitu transaksi berjalan (current account), terjadi defisit US$ 8,44 miliar atau 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya yaitu minus US$ 6,97 miliar (2,6% PDB).
Defisit NPI menandakan arus devisa di perekonomian nasional seret, lebih banyak yang keluar ketimbang yang masuk. Apalagi kemudian devisa jangka panjang dari ekspor barang dan jasa, yang dicerminkan dari transaksi berjalan, mengalami defisit yang lebih parah.
Semestinya ini menjadi sentimen negatif yang tidak main-main bagi rupiah. Tanpa bantalan devisa yang memadai, rupiah sulit untuk stabil. Akibatnya, rupiah dan aset-aset berbasis mata uang ini bisa cenderung melemah.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Next Page
Wall Street Anjlok 1% Lebih!
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular