
Waspada, Peluang Terjadinya Resesi Global Naik!
Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
09 August 2019 19:13

Jakarta, CNBC Indonesia - Peluang terjadinya resesi global selama 12 hingga 18 bulan ke depan telah meningkat dari 40% menjadi 50%. Hal ini karena adanya perang dagang antara Amerika Serikat (AS)-China yang ternyata semakin parah.
Analis Moody's Analytics, Steven G. Cocrane dan Katrina Ell menyampaikan laporan tersebut seperti dilansir dari The Star, Jumat (9/8/2019).
"Perang dagang telah meningkat melampaui perkiraan dan kemungkinannya tinggi untuk ekonomi global. Peluang resesi global kami untuk 12 hingga 18 bulan mendatang telah meningkat menjadi 50%," kata mereka.
Perang dagang yang sebelumnya dikabarkan hampir mencapai kesepakatan kembali memanas pada Kamis (1/8/19), saat Presiden AS Donald Trump mengatakan akan menerapkan 10% tarif impor pada barang China senilai US$ 300 miliar. Bea masuk ini akan berlaku mulai 1 September.
"Ini akan membawa nilai total barang yang dikenai tarif menjadi sekitar US$ 550 miliar, secara luas setara dengan total impor dari China ke AS. Tarif tambahan di China akan menjadikan total tarif AS berada pada tingkat 5,4%, naik dibandingkan dengan 4,4% hari ini dan 1,5% yang tercatat pada akhir 2017," kata Steven G. Cocrane dan Katrina Ell.
Mereka juga mengatakan langkah menerapkan tarif impor baru ini lebih membuat perang dagang merugikan AS ketimbang China.
Untuk US$ 250 miliar barang yang baru dikenai tarif 25%, sekitar setengahnya merupakan barang setengah jadi dengan sisanya didistribusikan hampir sama untuk barang modal dan barang konsumen.
Dalam beberapa kasus, produsen barang setengah jadi masih bisa mengurangi dampak tarif impor ke pelanggan, dengan cara memangkas margin keuntungan mereka. Bahkan importir barang modal bisa melakukan hal yang sama.
Sementara sekitar setengah dari barang yang akan dikenai tarif 10% adalah barang konsumen, yang sebagian besar mencapai konsumen melalui ritel. Hal inilah yang membuat tarif tambahan lebih merugikan ekonomi AS daripada China.
Tarif impor menyebabkan harga naik pada serangkaian barang-barang konsumen di AS, menghasilkan inflasi yang lebih tinggi dan melemahkan kepercayaan konsumen. Saat ini, belanja konsumen adalah pendorong utama pertumbuhan di AS.
Jika pengeluaran konsumen terhambat, risiko resesi pun naik. Oleh karenanya, tarif baru ini membuat risiko resesi dalam 12 hingga 18 bulan mendatang naik secara signifikan.
Hal ini juga akan membuat ekonomi Asia terganggu rantai pasokannya. Saat ini, ekspor turun di wilayah Asia-Pasifik (APAC) karena permintaan produsen China untuk input melalui perantara (intermediate inputs) telah turun.
Namun, tarif tambahan akan kurang mengganggu bagi ekonomi APAC karena rantai pasokan untuk barang-barang konsumen kurang kompleks.
"Dengan demikian, babak tarif baru akan memiliki dampak yang lebih ringan di wilayah APAC. Pada kenyataannya, beberapa produk elektronik seperti telepon seluler merupakan bagian dari babak tarif baru ini, tetapi barang elektronik merupakan bagian yang jauh lebih besar dari barang-barang sebelumnya yang senilai US$ 250 juta yang sudah dikenakan tarif," kata mereka.
Mereka juga menyebut tarif baru 10% akan memberi keuntungan bagi negara-negara berbiaya terendah di Asia Tenggara dan di wilayah lain. Ini akan mempercepat pergeseran produksi barang-barang murah dari China.
Namun, mereka menekankan bahwa tanggapan China akan tarif terbaru sangatlah penting, karena China telah menerapkan tarif sekitar 92% dari impor barang AS. Sehingga, langkah-langkah non-tarif adalah langkah balasan logis untuk dilakukan.
"China telah menunjukkan bahwa pembalasan nontarifnya membawa keganasan, dan kami berharap putaran ini tidak akan berbeda," kata mereka.
Mereka juga menyebut China memiliki segudang senjata untuk melawan tarif impor AS. Salah satunya adalah merilis "Daftar Entitas yang Tidak Dapat Diandalkan' yang akan menghalangi bisnis AS untuk terlibat dengan perusahaan China.
Opsi ini pertama kali diluncurkan pada 31 Mei oleh Kementerian Perdagangan China. Selanjutnya pada 26 Juli mereka merilis daftar yang akan dikenai aturan ini, yang disebut sengaja disiapkan untuk melawan AS.
Pilihan lain yang mungkin dilakukan China adalah menghentikan atau membatasi ekspor tanah jarang (rare earth) ke AS. China adalah sumber terbesar impor mineral tanah jarang ke AS, terhitung hampir 60% pada tahun 2018, menurut Komisi Perdagangan Internasional AS.
Pemerintahan Trump sebelumnya mengancam akan mengenakan tarif pada rare earth China tetapi itu tidak pernah dilakukan karena rare earth memiliki peran penting dalam produksi di seluruh ekonomi AS.
China juga bisa meningkatkan dominasinya di ruang teknologi tinggi, dan membatasi akses asing ke are earth akan memfasilitasi ambisi itu.
China telah memposisikan dirinya sebagai pemain yang kuat dalam perang dagang, sehingga mengambil tindakan terkait are earth dapat dipandang sebagai pembalasan atas agresi terbaru AS, dibandingkan memainkan strategi jangka panjangnya untuk meningkatkan rantai nilai teknologi tinggi.
China juga telah melakukan devaluasi mata uang. Namun, negara itu mengatakan tidak mungkin membiarkan devaluasi yuan melampaui 7 per US$, karena dapat memicu arus keluar modal dan ketidakstabilan luas di China.
Langkah-langkah non-tarif lain yang tidak mungkin dilakukan dalam waktu dekat termasuk menjual Treasury AS atau memilih untuk tidak menjual obligasi jatuh tempo dalam portofolionya.
Ada juga opsi untuk memperkenalkan pembatasan ekspor pada jasa AS, seperti pendidikan dan pariwisata.
Ini adalah area pertumbuhan penting bagi AS dengan peluang signifikan karena kelas menengah China yang sedang berkembang semakin menuntut jasa dibandingkan barang.
(dru) Next Article Ramalan Moodys Soal Ekonomi & Kekhawatiran Utang RI!
Analis Moody's Analytics, Steven G. Cocrane dan Katrina Ell menyampaikan laporan tersebut seperti dilansir dari The Star, Jumat (9/8/2019).
"Perang dagang telah meningkat melampaui perkiraan dan kemungkinannya tinggi untuk ekonomi global. Peluang resesi global kami untuk 12 hingga 18 bulan mendatang telah meningkat menjadi 50%," kata mereka.
"Ini akan membawa nilai total barang yang dikenai tarif menjadi sekitar US$ 550 miliar, secara luas setara dengan total impor dari China ke AS. Tarif tambahan di China akan menjadikan total tarif AS berada pada tingkat 5,4%, naik dibandingkan dengan 4,4% hari ini dan 1,5% yang tercatat pada akhir 2017," kata Steven G. Cocrane dan Katrina Ell.
![]() |
Mereka juga mengatakan langkah menerapkan tarif impor baru ini lebih membuat perang dagang merugikan AS ketimbang China.
Untuk US$ 250 miliar barang yang baru dikenai tarif 25%, sekitar setengahnya merupakan barang setengah jadi dengan sisanya didistribusikan hampir sama untuk barang modal dan barang konsumen.
Dalam beberapa kasus, produsen barang setengah jadi masih bisa mengurangi dampak tarif impor ke pelanggan, dengan cara memangkas margin keuntungan mereka. Bahkan importir barang modal bisa melakukan hal yang sama.
Sementara sekitar setengah dari barang yang akan dikenai tarif 10% adalah barang konsumen, yang sebagian besar mencapai konsumen melalui ritel. Hal inilah yang membuat tarif tambahan lebih merugikan ekonomi AS daripada China.
Tarif impor menyebabkan harga naik pada serangkaian barang-barang konsumen di AS, menghasilkan inflasi yang lebih tinggi dan melemahkan kepercayaan konsumen. Saat ini, belanja konsumen adalah pendorong utama pertumbuhan di AS.
Jika pengeluaran konsumen terhambat, risiko resesi pun naik. Oleh karenanya, tarif baru ini membuat risiko resesi dalam 12 hingga 18 bulan mendatang naik secara signifikan.
Hal ini juga akan membuat ekonomi Asia terganggu rantai pasokannya. Saat ini, ekspor turun di wilayah Asia-Pasifik (APAC) karena permintaan produsen China untuk input melalui perantara (intermediate inputs) telah turun.
Namun, tarif tambahan akan kurang mengganggu bagi ekonomi APAC karena rantai pasokan untuk barang-barang konsumen kurang kompleks.
"Dengan demikian, babak tarif baru akan memiliki dampak yang lebih ringan di wilayah APAC. Pada kenyataannya, beberapa produk elektronik seperti telepon seluler merupakan bagian dari babak tarif baru ini, tetapi barang elektronik merupakan bagian yang jauh lebih besar dari barang-barang sebelumnya yang senilai US$ 250 juta yang sudah dikenakan tarif," kata mereka.
Mereka juga menyebut tarif baru 10% akan memberi keuntungan bagi negara-negara berbiaya terendah di Asia Tenggara dan di wilayah lain. Ini akan mempercepat pergeseran produksi barang-barang murah dari China.
Namun, mereka menekankan bahwa tanggapan China akan tarif terbaru sangatlah penting, karena China telah menerapkan tarif sekitar 92% dari impor barang AS. Sehingga, langkah-langkah non-tarif adalah langkah balasan logis untuk dilakukan.
"China telah menunjukkan bahwa pembalasan nontarifnya membawa keganasan, dan kami berharap putaran ini tidak akan berbeda," kata mereka.
Mereka juga menyebut China memiliki segudang senjata untuk melawan tarif impor AS. Salah satunya adalah merilis "Daftar Entitas yang Tidak Dapat Diandalkan' yang akan menghalangi bisnis AS untuk terlibat dengan perusahaan China.
Opsi ini pertama kali diluncurkan pada 31 Mei oleh Kementerian Perdagangan China. Selanjutnya pada 26 Juli mereka merilis daftar yang akan dikenai aturan ini, yang disebut sengaja disiapkan untuk melawan AS.
Pilihan lain yang mungkin dilakukan China adalah menghentikan atau membatasi ekspor tanah jarang (rare earth) ke AS. China adalah sumber terbesar impor mineral tanah jarang ke AS, terhitung hampir 60% pada tahun 2018, menurut Komisi Perdagangan Internasional AS.
Pemerintahan Trump sebelumnya mengancam akan mengenakan tarif pada rare earth China tetapi itu tidak pernah dilakukan karena rare earth memiliki peran penting dalam produksi di seluruh ekonomi AS.
China juga bisa meningkatkan dominasinya di ruang teknologi tinggi, dan membatasi akses asing ke are earth akan memfasilitasi ambisi itu.
China telah memposisikan dirinya sebagai pemain yang kuat dalam perang dagang, sehingga mengambil tindakan terkait are earth dapat dipandang sebagai pembalasan atas agresi terbaru AS, dibandingkan memainkan strategi jangka panjangnya untuk meningkatkan rantai nilai teknologi tinggi.
China juga telah melakukan devaluasi mata uang. Namun, negara itu mengatakan tidak mungkin membiarkan devaluasi yuan melampaui 7 per US$, karena dapat memicu arus keluar modal dan ketidakstabilan luas di China.
Langkah-langkah non-tarif lain yang tidak mungkin dilakukan dalam waktu dekat termasuk menjual Treasury AS atau memilih untuk tidak menjual obligasi jatuh tempo dalam portofolionya.
Ada juga opsi untuk memperkenalkan pembatasan ekspor pada jasa AS, seperti pendidikan dan pariwisata.
Ini adalah area pertumbuhan penting bagi AS dengan peluang signifikan karena kelas menengah China yang sedang berkembang semakin menuntut jasa dibandingkan barang.
(dru) Next Article Ramalan Moodys Soal Ekonomi & Kekhawatiran Utang RI!
Most Popular