Ingat! Currency War Bisa Picu Great Depression Seperti 1930

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
07 August 2019 14:59
Ingat! Currency War Bisa Picu Great Depression Seperti 1930
Foto: mata Uang (Reuters)
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Sentral China (People's Bank of China/PBoC) menyentak pasar finansial global setelah mendepresiasi yuan hingga ke level terlemah 11 tahun. Saat itu PBoC mematok nilai kurs yuan 6,9225/US$ atau yang terlemah sejak Desember 2018, setelahnya mekanisme pasar membuat yuan terus melemah diperdagangkan di level 7,0470/US$.

Sebagai informasi, PBoC setiap hari menetapkan nilai tengah yuan, dan membiarkannya bergerak entah itu menguat atau melemah maksimal 2% dari nilai tengah tersebut.

Kurs 1 dolar AS sama dengan 7 yuan dianggap sebagai level kritis, sejak krisis finansial 2008, PBoC selalu menjaga nilai tukarnya di bawah level tersebut.

PBoC hari ini Rabu (7/8/19) menetapkan kurs yuan di level 6,9996/US$ sedikit di bawah level 7/US$, tetapi sekali lagi mekanisme pasar membuat kurs yuan kembali ke atas 7/US$.



Pelemahan nilai tukar mata uang akan memberikan keunggulan kompetitif dari sisi perdagangan internasional bagi China. Produk-produk dari Negeri Tirai Bambu akan menjadi lebih murah, sehingga permintaan dapat meningkat, dan tentunya berdampak pada peningkatan ekspor.

Akibat kebijakan dari PBoC tersebut, Departemen Keuangan AS menetapkan China sebagai manipulator mata uang. Penetapan negara sebagai manipulator mata uang sebelumnya tidak pernah ada sejak pemerintahan Bill Clinton.



"Menteri Mnuchin, di bawah pemerintahan Presiden Trump hari ini telah menetapkan China sebagai Manipulator Mata Uang" pernyataan dari rilis Departemen Keuangan AS, sebagaimana dikutip CNBC International. "Dengan demikian, Menteri Mnuchin akan bekerjasama dengan Dana Moneter International (IMF) untuk menghilangkan keunggulan kompetitif yang tidak adil yang diciptakan oleh China melalui kebijakan terbarunya"

"Sebagai konsekuensi dari tindakan ini, Menteri Keuangan Steven Mnuchin akan meminta Dana Moneter Internasional (IMF) untuk menindak kompetisi tidak adil yang dilakukan oleh China," demikian bunyi pernyataan resmi Kementerian Keuangan AS.

Depresiasi nilai tukar mata uang hanya bisa dilakukan oleh bank sentral sebagai pemangku kebijakan moneter, dan jika bank sentral lainnya dengan sengaja membuat nilai tukarnya melemah untuk mendapat keunggulan kompetitif, hal inilah yang disebut terjadi perang mata uang.

Selain PBoC, Bank of Japan (BOJ) dan European Central Bank (ECB) berpotensi terlibat dalam perang mata uang. Dua bank sentral ini berencana menggelontorkan stimulus moneter guna memacu perekonomian. Stimulus tersebut secara langsung akan melemahkan nilai tukar yen dan euro.

Halaman Selanjutnya >>>

Seperti disebutkan sebelumnya, depresiasi nilai tukar mata uang bertujuan untuk meraih keunggulan kompetitif di perdagangan internasional. Tetapi, langkah China tentunya juga menimbulkan risiko yang cukup besar yang membuat cemas pelaku pasar finansial. 

Pelambatan Ekspor
Keunggulan kompetitif yang didapat oleh China dari depresiasi yuan akan "mematikan" negara lain, sehingga mau tidak mau juga negara tersebut juga menurunkan nilai tukar mata uangnya. 

Jerman dan Jepang dua negara yang perekonomiannya mengandalkan ekspor ini bisa menjadi "korban" dari kebijakan PBoC. Depresiasi kurs yuan tentunya membuat produk-produk mereka kalah bersaing, dan akan mengalami pelambatan ekspor. 

Jika kondisi tersebut benar terjadi, mau tidak mau kurs euro dan yen juga harus didepresiasi, dan perang mata uang antara negara maju akan resmi terjadi. 

European Central Bank (ECB) diprediksi kuat akan memangkas suku bunga di bulan September. Melansir laporan Reuters yang mengutip dari beberapa sumber, ECB dikatakan pasti akan memangkas suku bunga dan juga kemungkinan akan ada program pembelian aset (obligasi dan surat berharga) atau yang dikenal dengan istilah quantitative easing (QE). 

Di sisi lain, kurs yen Jepang sedang perkasa di level terkuat 7 bulan atau tepatnya ketika terjadi flash crash 3 Januari lalu. Jika mengabaikan flash crash tersebut, yen bahkan saat ini berada di level terkuat sejak April 2018. 

Penguatan yen tersebut membuat Kementerian Keuangan Jepang, BOJ, serta Otoritas Jasa Keuangan (FSA) Jepang mengadakan pertemuan dadakan pada hari ini untuk membahas pergerakan yen yang dikatakan membuat gugup pasar finansial. 

Pertemuan ini menghasilkan pernyataan "siap bertindak jika yen terus menguat" yang menjadi sinyal akan adanya pelonggaran moneter dari Bank of Japan (BOJ) untuk meredam penguatan yen. 

Inflasi Tinggi

Depresiasi mata uang suatu negara tentunya bisa membuat ekspor meningkat, tapi disisi lain beban impor juga mengalami peningkatan. Kenaikan harga-harga barang impor tentunya akan mendorong inflasi lebih tinggi. 

Belum lagi jika terjadi banjir likuiditas akibat pelonggaran moneter secara global, inflasi dipastikan akan meningkat tajam. Kenaikan inflasi bisa menjadi kabar bagus bagi bank sentral negara maju ini yang terus menghadapi masalah inflasi yang lemah, namun tidak bagi negara-negara emerging market bahkan untuk China sendiri. 

Bank sentral negara maju seperti The Fed, ECB dan BOJ (yang akan melakukan pelonggaran moneter) menetapkan target inflasi sebesar 2%. Jika inflasi lebih tinggi dari target, tentunya akan memberikan masalah baru bagi perekonomian. 

Tingginya inflasi, tanpa diikuti dengan kenaikan rata-rata upah tentunya akan memukul daya beli masyarakat, yang berdampak pada penurunan tingkat konsumsi  

Perang Mata Uang, Dolar versus Yuan
[Gambas:Video CNBC]

Resesi
Perang dagang dikhawatirkan membawa beberapa negara ke dalam jurang resesi. Ditambah dengan perang mata uang, peluang terjadi resesi semakin besar. 

Contoh nyata sudah ada sebelumnya, yakni ketika terjadi Depresi Besar (Great Depression) di AS pada tahun 1930an. Kenaikan tarif impor serta depresiasi mata uang dianggap menjadi salah satu penyebab Great Depression

Profesor ekonomi di Cornell University, Stephen Charles Kyle, mengatakan potensi kenaikan tarif impor dan depresiasi mata uang mempercepat langkah ekonomi memasuki Great Depression pada tahun 1930an. 

"Kita bahkan tidak ingin berada pada langkah awal di jalur ini. Inilah yang persis terjadi saat Great Depression 1930: setiap negara menaikkan tarif impor, dan bersaing dengan mitra dagangnya dengan mendepresiasi nilai tukar mata uangnya. Beberapa tahun setelahnya, berdagangan global hampir berhenti total" kata Kyle sebagaimana dikutip Washington Post


TIM RISET CNBC INDONESIA 
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular